Ethan terbangun dengan terengah. Matanya langsung membelalak saat melihat sekeliling. Bukan kamar, bukan rumah. Tapi hutan. Hutan lebat dengan pepohonan tinggi yang menutupi langit, menyisakan hanya cahaya bulan sebagai penerang.
“Astaga… kenapa aku tiba-tiba ada di hutan?” gumamnya panik.
Kepalanya terasa berat, berdenyut. Ia duduk sambil memegangi pelipis, mencoba memproses semua ini. Tak ada suara manusia, hanya desir angin dan suara burung malam. Lalu, di sampingnya, tergeletak buku itu—Kenyataan dalam Halaman.
“Kenapa buku ini juga ada di sini?” bisiknya, heran sekaligus takut. “Ini pasti ada hubungannya…”
Dengan waspada, ia berdiri, memeluk buku itu dan mulai berjalan menembus rimbunnya pepohonan. Langkahnya pelan, hanya diterangi sinar bulan.
“Aku harus cari pertolongan. Ini berbahaya…”
Setelah menempuh jalan cukup lama, Ethan menemukan aliran sungai. Ia segera meneguk airnya, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Suara langkah kaki terdengar dari balik semak.
“Siapa itu?” seru Ethan, jantungnya berdegup kencang.
Seseorang muncul dari balik pepohonan—seorang wanita muda, cantik, dengan rambut panjang hitam dan mata biru yang memikat. Ia membawa guci dari tanah liat, mengenakan pakaian seperti dari zaman dulu.
“Permisi, Mas. Kamu terlihat ketakutan,” ucapnya lembut.
Ethan tertegun, tapi juga lega. “Maaf, saya cuma… kaget. Tiba-tiba ada orang muncul di sini.”
Wanita itu tersenyum tipis. Ia mendekati sungai dan mulai mengisi gucinya dengan air.
“Mas bukan dari daerah sini, ya?” tanyanya, memperhatikan penampilan Ethan dari ujung kepala hingga kaki.
“Benar. Saya tersesat. Nama saya Ethan Pramata… panggil saja Ethan.”
“Aku Bunga,” jawabnya singkat.
Ethan merasa gadis ini agak waspada, tapi ia tak bisa menyalahkannya. Siapa yang tak curiga pada orang asing di tengah malam begini?
“Bunga, maaf kalau lancang. Tapi… ini sebenarnya di mana?”
“Kita di Sungai Desa Pocong. Desaku tak jauh dari sini.”
“Desa… Pocong?” Ethan menahan tawa. “Namanya menyeramkan sekali, seperti nama hantu.”
Ekspresi Bunga langsung berubah dingin.
“Mas Ethan, bercanda juga ada batasnya,” katanya tajam.
Ethan langsung gugup. “M-maaf, aku tak bermaksud menyinggung.”
Bunga menghela napas. “Ayo, aku antar ke desa. Bahaya kalau berkeliaran malam-malam begini.”
Mereka berjalan beriringan. Sunyi. Canggung.
“Bunga… kamu tahu Kota Kendari? Jauh tidak dari sini?” tanya Ethan, berharap jawaban melegakan.
“Kota Kendari?” Bunga mengerutkan dahi. “Itu… desa? Aku belum pernah dengar nama itu.”
Ethan menelan ludah. “Jangan-jangan… aku benar-benar masuk dunia lain,” bisiknya pada diri sendiri.
“Aku akan tanya kepala desa nanti. Mungkin dia tahu,” kata Bunga tanpa menoleh.
Tak lama, mereka tiba di gerbang desa—pagar kayu menjulang dengan dua penjaga membawa tombak.
“Bunga, hati-hati! Di belakangmu ada hantu!” teriak salah satu penjaga.
“Hei! Apa maksud kalian? Aku ini manusia!” seru Ethan kaget dan kesal.
Penjaga itu melotot. “Dia bisa bicara? Kakinya menyentuh tanah? Hantu kok nyata begini…”
“Astaga… jadi kalian kira aku hantu?” Ethan melongo, menatap Bunga yang juga tampak terkejut.
“Hah?! Jadi kamu bukan hantu?” Bunga teriak.
“Lah ya jelas bukan! Dari tadi kamu kira aku ini apa?!”
Semua terdiam, sebelum akhirnya salah satu penjaga tertawa keras. “Maaf bro, muka kamu jelek banget sih. Mirip arwah penasaran!”
“Pakaian serba hitam lagi!” sambung penjaga satunya, ikut tertawa.
Bunga tersipu. “Maaf ya Mas Ethan… aku juga sempat mengira kamu… bukan manusia.”
Ethan menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Ya ampun… sebegitu seramkah aku…”
“Sudah, jangan marah. Maaf ya,” ujar Bunga sambil tersenyum.
Melihat senyum itu, Ethan tak bisa marah. Senyum Bunga—manis, hangat, seperti secercah cahaya di tengah dunia yang belum ia pahami. Mungkin… Bunga adalah satu-satunya harapan di tempat asing ini.