Bunga pun menceritakan semuanya kepada dua penjaga desa—Pak Adit dan Pak Budi—tentang bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Ethan, dan meminta agar mereka mengizinkan Ethan tinggal sementara di desa.
"Begitulah ceritanya, Pak Adit, Pak Budi," ucap Bunga dengan nada tenang.
Pak Adit mengangguk pelan. "Hmm… baiklah. Karena kau yang meminta, Bunga."
Namun Pak Budi melotot ke arah Ethan. "Dengar baik-baik, si jelek! Kau harus patuh pada aturan desa ini. Jangan macam-macam, apalagi bertindak bodoh!"
"Heii! Aku juga punya nama, tahu! Ethan! Panggil aku Ethan!" seru Ethan dengan kesal.
"Aku tahu!" balas Pak Budi, tapi tetap dengan nada mengejek.
Pak Adit ikut menimpali, "Terserah, pokoknya selama kau di desa ini, si jelek, kau akan terus kami awasi!"
Bunga segera menyela dan mengucapkan terima kasih kepada kedua penjaga karena telah memberi izin. Ia dan Ethan pun masuk ke dalam desa.
"Makasih ya, Bunga. Udah nolongin aku," ucap Ethan dengan tulus.
"Sama-sama. Lagipula, sesama manusia harus saling menolong… kecuali kalau kamu memang hantu tadi," kata Bunga, tertawa kecil.
"Heii… masa sih aku sejelek itu?" keluh Ethan sambil memegang wajahnya.
"Tidak-tidak, aku cuma bercanda kok," jawab Bunga cepat-cepat, masih tertawa geli.
Saat mereka melangkah ke dalam desa, Ethan memperhatikan sekeliling. Rumah-rumah warga tampak terbuat dari kayu, sederhana namun kokoh. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu. Tapi yang paling menarik perhatian adalah sebuah patung di tengah desa. Sayangnya, karena sudah gelap, ia tidak bisa melihatnya dengan jelas.
“Ethan, kamu tidur di rumahku aja ya,” kata Bunga.
“Baik, Bunga. Sekali lagi, makasih banyak.”
Namun Ethan sempat heran saat menyadari rumah Bunga berada cukup jauh dari rumah warga lainnya. Sepi dan tanpa tetangga.
"Ini rumahku, ayo masuk," ajak Bunga.
Mereka masuk ke dalam rumah. Penerangannya masih menggunakan obor yang dipasang di dinding, membuat suasana makin terasa seperti di masa lampau. Ethan duduk di ruang tamu, memperhatikan setiap sudut ruangan.
“Ethan, tunggu di sini dulu ya. Aku siapin tempat tidur buat kamu,” kata Bunga.
“Jangan repot-repot, Bunga. Aku tidur di sini juga nggak masalah kok,” jawab Ethan.
“Gak apa-apa, santai aja. Aku senang, sudah lama gak punya tamu,” ucap Bunga sambil tersenyum manis.
Ethan mengangguk. Saat Bunga pergi ke kamar, ia kembali termenung. Ada sesuatu yang mengganggunya. Nama Bunga… dan nama Desa Pocong—kenapa terdengar begitu familiar?
Ia segera membuka novel yang masih ia bawa—Kenyataan dalam Halaman. Saat membacanya kembali, matanya membelalak. Nama “Bunga” dan “Desa Pocong” tertulis di dalam buku itu.
“Astaga… jadi aku benar-benar masuk ke dalam dunia novel ini?” bisiknya ngeri.
"Ethan, kok kamu bengong?" suara Bunga mengejutkannya.
“Eh?! Gak kok, aku cuma mikir. Sudah selesai beres-beresnya?” jawab Ethan gugup.
“Iya, udah. Masuk aja ke kamar. Istirahat dulu. Aku juga mau ke kamar mandi sebentar,” kata Bunga.
“Baik, makasih ya, Bunga,” ucap Ethan sambil tersenyum canggung.
Bunga pergi ke kamar mandi, sementara Ethan masuk ke kamar yang sudah disiapkan. Ia kembali duduk, merenungi semua hal yang terjadi. Semuanya terasa seperti mimpi. Pelan-pelan, tubuhnya menyerah pada rasa lelah, dan ia pun tertidur.
Pagi pun tiba. Ethan terbangun dengan segar. Ini pertama kalinya ia merasa tidurnya sangat nyenyak. Aroma lezat ikan bakar langsung menyerbu hidungnya, menggugah rasa lapar.
“Aroma ini… luar biasa lezat!” gumamnya.
Tak lama, Bunga masuk ke kamar sambil tersenyum.
“Ethan, kamu sudah bangun? Ayo makan dulu,” ajaknya.
“Wah, kamu masak ikan bakar, ya? Harumnya luar biasa!” seru Ethan riang.
“Iya, ayo cepat. Nanti keburu dingin,” jawab Bunga.
Bunga kembali ke dapur menyiapkan makanan. Ethan berdiri, masih tersenyum.
“Mungkin begini rasanya punya istri yang perhatian…” bisiknya pelan.
Ia berjalan ke dapur, memandangi Bunga yang sibuk menyiapkan makanan. Wajahnya cantik, senyumannya menenangkan.
“Kamu cuci muka dulu sana,” kata Bunga tiba-tiba, menyadari Ethan sedang memperhatikannya.
“Baik-baik. Kamar mandinya di mana?” tanya Ethan.
“Di luar,” jawab Bunga.
Ethan pun keluar untuk cuci muka dan mandi. Setelah selesai, ia kembali ke dalam, namun tak melihat Bunga di dapur. Rupanya, makanan sudah rapi disajikan di ruang tamu. Bunga duduk di sana menunggunya.
Mereka pun makan bersama. Suasana hangat terasa di antara mereka. Setelah makan, Ethan membantu membersihkan semuanya.
Selesai, Ethan duduk di depan rumah. Ia memandangi desa dengan lebih jelas. Rumah-rumah warga tampak lebih nyata sekarang, tapi satu hal masih mengusik pikirannya.
“Kenapa ya rumah Bunga jauh dari rumah warga lainnya?” gumam Ethan.
Ia mencoba mengalihkan pikirannya. “Kalau benar aku masuk ke dalam novel Kenyataan dalam Halaman, maka…”
Namun lamunannya buyar saat Bunga tiba-tiba muncul dari belakangnya.
“Ethan! Lagi-lagi kamu melamun! Nanti kesurupan loh!” goda Bunga sambil tertawa.
“Duh! Bisa copot jantungku kaget terus!” balas Ethan, meringis.
“Daripada melamun terus, mending ikut aku.”
“Pergi ke mana?” tanya Ethan.
“Ke rumah kepala desa. Aku kan janji mau temani kamu tanya soal tempat tinggal.”
“Oh iya! Aku hampir lupa. Tunggu sebentar, aku ambil bukuku dulu.”
Ethan kembali ke kamarnya dan membuka buku novel itu lagi. Ia membaca dengan saksama bagian awal.
“Di malam ini… akan terjadi insiden besar. Pembantaian di Desa Pocong… oleh hantu yang mereka sembah…”
Wajah Ethan memucat. Tangannya gemetar saat membaca kalimat berikutnya.
“Salah satu korbannya adalah…”
Ia menatap ke luar kamar, ke arah Bunga yang sedang menunggunya sambil tersenyum di depan rumah.