patung yang disembah

Ethan pun keluar dari rumah sambil membawa buku novelnya. Bunga sudah menunggu di luar.

"Sudah siap?" tanya Bunga.

"Iya, ayo berangkat," jawab Ethan.

Mereka pun berjalan menuju rumah kepala desa. Sepanjang perjalanan, Ethan memperhatikan warga desa yang tengah beraktivitas. Anak-anak bermain riang, sementara orang dewasa tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa warga menyapa mereka dengan ramah. Desa ini terlihat damai, namun Ethan tahu semua itu hanya tampak luar saja.

Tiba-tiba, seseorang memanggil dari belakang.

"Selamat pagi, Bunga dan si jelek!" sapa Pak Budi sambil tersenyum.

"Pagi, Pak Budi," jawab Bunga.

"Pagi," sahut Ethan dengan datar.

"Pasti kalian mau ke rumah kepala desa, kan?" tanya Pak Budi.

"Iya, Pak. Kami mau ke sana," jawab Bunga.

"Ayo, bareng saja. Kebetulan saya juga ada urusan dengan kepala desa," kata Pak Budi.

Mereka bertiga pun berjalan bersama. Di tengah desa, mereka melewati sebuah patung yang sebelumnya sempat dilihat Ethan di malam hari, meski saat itu tidak terlalu jelas. Kini, patung itu terlihat nyata dan menyeramkan: wujudnya seperti pocong yang sedang bersujud, seolah menyembah seseorang.

“Dalam buku, patung ini memang dijelaskan secara detail. Tapi melihatnya langsung jauh lebih mengerikan,” gumam Ethan dalam hati.

Setiap warga yang melewati patung itu tampak menyempatkan diri untuk berdoa. Begitu pula dengan Bunga dan Pak Budi.

“Sial! Kalau saja mereka tahu bahwa yang mereka sembah itulah yang akan membunuh mereka malam ini,” pikir Ethan.

Setelah selesai berdoa, Bunga mengajak Ethan ikut berdoa.

"Ethan, ayo berdoa juga. Semoga kamu bisa cepat pulang dan diberi umur panjang," ajaknya.

"Ehh… maaf, Bunga. Mungkin lain kali," tolak Ethan.

"Ya sudah, lagipula kita memang sedang buru-buru ke rumah kepala desa," jawab Bunga.

Setelah Pak Budi selesai, mereka melanjutkan perjalanan. Ethan sempat menoleh ke belakang, menatap patung itu sambil bergumam dalam hati, “Malam ini akan jadi malam yang panjang…”

Tak lama, mereka tiba di rumah kepala desa. Rumah itu berupa rumah panggung yang cukup besar. Setelah mengetuk pintu, terdengar suara langkah kaki dari dalam. Seorang wanita tua membukakan pintu.

"Halo, Pak Budi. Sedang cari suami saya ya?" sapanya.

"Iya, Bu. Beliau memanggil saya, katanya ada urusan penting," jawab Pak Budi sopan.

"Oh, ternyata ada Bunga dan Ethan juga ya," sambung istri kepala desa.

"Iya, Bu. Permisi," ucap Bunga dengan sopan.

"Kok Ibu tahu nama saya?" tanya Ethan heran.

"Waktu malam itu, saya sempat dengar laporan dari Pak Budi soal kamu," jelas istri kepala desa.

"Oh begitu…" gumam Ethan.

"Heh, Ethan, jaga sopan santunmu!" bisik Bunga pelan.

"Haha, kamu lucu juga ya, Ethan. Mari masuk, aku siapkan teh," ucap istri kepala desa sambil tersenyum ramah.

Mereka masuk dan duduk di bangku kayu jati di ruang tamu. Sementara istri kepala desa pergi memanggil suaminya dan menyiapkan teh.

“Insiden malam ini pasti berhubungan dengan pertemuan Pak Budi dan kepala desa. Aku harus pikirkan cara agar bisa selamat malam ini,” batin Ethan sambil melirik Bunga.

Bunga pun tersenyum padanya, dan Ethan membalas senyum itu.

“Meskipun aku tahu apa yang akan terjadi malam ini, kejadian itu cukup besar. Semua warga desa akan mati… bahkan Bunga. Rencana terbaikku adalah mengulur waktu agar Liam, tokoh utama dalam novel ini, bisa tiba tepat waktu,” pikir Ethan.

“Dalam cerita, Liam datang ke desa ini, tapi terlambat. Dia hanya menemukan mayat-mayat warga yang sudah dibantai oleh makhluk-makhluk itu. Makhluk yang mereka sembah—pocong dalam patung itu. Liam memang berhasil menghancurkan patung tersebut, tapi semuanya sudah terlambat. Tak satu pun warga selamat. Termasuk Bunga…”

“Jadi aku harus melakukan sesuatu. Mengulur waktu… membuat mereka tetap hidup hingga Liam datang…”

Lamunan Ethan buyar ketika suara pria tua terdengar dari dalam rumah.

"Pak Budi, sudah datang ya?"

Ethan menoleh. Tampak pria tua berjenggot dengan rambut putih karena uban, berjalan perlahan sambil membawa tongkat. Ia duduk bersama mereka di ruang tamu.

"Maaf sudah menunggu lama," katanya.

"Tidak, Pak. Kami baru saja tiba," jawab Pak Budi sopan.

"Pagi, Pak," sapa Bunga sambil membungkuk hormat.

"Ada urusan apa, Bunga, sampai datang ke sini?" tanya kepala desa.

"Sebelumnya, perkenalkan, ini Ethan. Tadi malam saya temukan dia di pinggir sungai. Lalu saya bawa ke desa," jelas Bunga.

"Ya, aku sudah dengar ceritanya dari Pak Budi. Jadi, Ethan, ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" tanya kepala desa.

"Ethan di sini ingin menanyakan tentang desa Kendari. Mungkin Bapak pernah mendengarnya?" ucap Bunga.

(Sebenarnya itu kota, bukan desa. Dan pastinya tidak ada yang tahu soal itu karena aku berasal dari dunia lain. Tapi biarlah…) pikir Ethan.

"Hmm… aku belum pernah dengar desa bernama Kendari. Tapi kalau nanti ada informasi soal itu, akan aku kabari," kata kepala desa.

"Sayang sekali, ya…" gumam Bunga.

"Tapi, Ethan, kamu boleh tinggal di desa ini sementara sampai mendapatkan informasi soal desamu," lanjut kepala desa ramah.

"Terima kasih, Pak, atas kebaikannya," jawab Ethan sopan.

"Sebetulnya aku masih punya banyak pertanyaan soal kamu, Ethan. Kenapa bisa sampai ke desa ini, misalnya. Tapi nanti saja. Sekarang, aku dan Pak Budi ada urusan penting yang harus dibahas," kata kepala desa.

Tak lama, istri kepala desa datang membawa teh. Aromanya sangat wangi, sampai-sampai Ethan terpesona.