Istri kepala desa keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh. Dengan sopan, ia meletakkan teh di meja ruang tamu.
“Ayo diminum tehnya,” ucap istri kepala desa sambil tersenyum ramah.
“Baik, terima kasih, Bu,” jawab Pak Budi dan Bunga hampir bersamaan.
Ethan pun ikut mengambil cangkir tehnya dan menyeruput perlahan. Aroma melati langsung memenuhi inderanya, membuat matanya sedikit membelalak karena terkejut akan rasa yang begitu nikmat.
“Wah… rasa teh ini luar biasa. Jauh lebih enak dibanding teh sachet yang biasa aku beli,” ucap Ethan polos.
“Teh sachet? Teh jenis apa itu, Ethan?” tanya istri kepala desa dengan bingung.
Ethan langsung terdiam. Wajahnya panik. “Astaga… aku keceplosan,” bisiknya pelan.
Pak kepala desa, Pak Budi, istri kepala desa, dan Bunga memandang Ethan dengan tatapan penasaran.
“Ti-tidak... maksudku... di desaku, orang-orang menyebutnya begitu. Hehe, teh instan maksudnya,” ucap Ethan dengan canggung, mencoba menyelamatkan keadaan.
“Oh, begitu ya. Ngomong-ngomong, teh ini terbuat dari bunga melati,” jelas istri kepala desa, tetap ramah.
“Pantas… aromanya sangat harum dan rasanya lembut,” jawab Ethan sambil tertawa kecil, lega.
“Syukurlah kalau kamu menyukainya,” ucap istri kepala desa.
Sementara itu, Bunga masih memandang Ethan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Di sisi lain, Pak Budi dan kepala desa mulai membahas sesuatu yang terdengar serius—tentang ritual yang akan dilaksanakan malam ini.
“Pak Budi, bagaimana persiapan ritualnya?” tanya kepala desa.
“Sudah siap, Pak. Kami sudah menyiapkan seekor kambing dan tiga ekor ayam hitam. Semua perlengkapan dan bahan juga sudah tersedia,” jawab Pak Budi.
“Bagus. Semoga ritualnya berjalan lancar,” ucap kepala desa sambil mengangguk.
Semua tampak antusias menyambut malam itu, seolah-olah mereka menantikan momen penting. Hanya Ethan yang terlihat gelisah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan tangannya sedikit gemetar.
“Ethan, kamu baik-baik saja?” tanya Bunga lembut sambil menyentuh tangan Ethan.
“O-oh… aku baik-baik saja,” jawab Ethan cepat, berusaha tenang.
“Kamu terlihat pucat. Aku kira kamu sakit,” ucap Bunga khawatir.
“Kalau kamu merasa tidak enak badan, lebih baik pulang dan istirahat dulu. Nanti kami beri obat herbal agar cepat pulih,” ucap kepala desa dengan perhatian.
“Bunga, tolong antar Ethan ke rumahmu agar dia bisa beristirahat. Istriku, ambilkan tanaman obat untuk mereka ya,” tambahnya.
“Baik, Pak,” jawab istri kepala desa lalu pergi ke dapur.
Sementara menunggu, Ethan tenggelam dalam pikirannya. “Haruskah aku memberitahu mereka tentang apa yang akan terjadi malam ini? Tapi… apakah mereka akan percaya?”
Tak lama, istri kepala desa kembali sambil membawa tanaman obat lalu menyerahkannya kepada Bunga.
“Ini, Bunga. Nanti setelah sampai rumah, berikan ini ke Ethan ya,” ucapnya.
“Baik, Bu. Kami pamit dulu,” jawab Bunga sambil menunduk sopan.
“Ayo, Ethan,” ajaknya sambil memegang tangan Ethan.
Ethan dan Bunga berjalan meninggalkan rumah kepala desa. Langit sudah mulai berubah warna. Waktu berjalan cepat, malam segera tiba. Ethan semakin cemas. Ia tahu, malam ini adalah awal dari segalanya.
Setelah tiba di rumah, Bunga langsung menyuruh Ethan beristirahat di kamar.
“Kamu istirahat saja, nanti aku bawakan obatmu. Aku ambil air dulu,” ucap Bunga.
“Terima kasih, Bunga,” ucap Ethan tulus.
Begitu Bunga meninggalkan kamar, Ethan segera membuka buku novel misteriusnya. Ia membaca ulang bagian yang menjelaskan kejadian malam ini di Desa Pocong—awal dari perjalanan Liam, tokoh utama dalam novel itu. Di sana tertulis, tepat pukul 20:00 malam, insiden mengerikan akan dimulai.
“Berarti aku harus bertahan dari tiga permainan malam ini,” gumam Ethan pelan.
“Sial… permainan ini dibuat untuk menghibur para iblis itu,” tambahnya kesal.
Tiba-tiba, Bunga masuk membawa obat dan air minum.
“Permainan? Iblis? Apa maksudmu Ethan?” tanya Bunga bingung.
“Ah, enggak, ini cuma cerita di buku ini… tentang permainan horor,” jawab Ethan terbata-bata, menyembunyikan fakta sebenarnya.
Bunga melirik buku di tangan Ethan, lalu menggeleng pelan.
“Kamu lebih baik istirahat saja. Kayaknya kamu mulai kelelahan. Lagipula… bukumu itu kosong,” ucapnya sambil menunjukkan ekspresi khawatir.
“Apa… kosong?” Ethan kaget, matanya membelalak.
“Hei! Kenapa kaget gitu? Sudah, cepat tidur!” ucap Bunga sambil menepuk bahu Ethan ringan.
Bunga pun meninggalkan Ethan di kamar.
“Sepertinya… hanya aku yang bisa membaca isi buku ini,” gumam Ethan pelan.
Ia kembali menatap halaman-halaman buku dan berkata, “Baiklah. Mari kita susun rencana untuk malam ini.”
Malam pun tiba. Ethan sedang bersiap-siap di dalam kamar ketika suara Bunga memanggilnya dari ruang tamu.
“Ethan, ini sandal buat kamu. Bekas sandal Pak Budi. Aku mintakan karena aku kasihan lihat kamu jalan tanpa alas kaki,” ucap Bunga sambil menyodorkan sepasang sandal.
Ethan langsung mencobanya. Ternyata pas di kaki.
“Wah, ukurannya pas! Terima kasih banyak, Bunga,” ucapnya senang.
“Sama-sama. Kamu sudah sehat kan?” tanya Bunga dengan senyum hangat.
“Iya. Aku sudah baikan, berkat kamu,” jawab Ethan.
“Syukurlah. Ayo, kita ke acara ritual malam ini,” ucap Bunga.
“Tunggu sebentar. Aku ambil bukuku dulu,” kata Ethan.
“Buku kosong itu lagi?” sahut Bunga, setengah kesal.
Ethan hanya tersenyum dan masuk kembali ke kamar mengambil bukunya.
“Hei, setidaknya jawab pertanyaanku!” teriak Bunga dari luar.
“Ayo, aku sudah siap,” sahut Ethan sambil keluar dari kamar.
Mereka pun berangkat menuju tempat ritual, yakni di sekitar patung pocong yang berada di tengah-tengah desa. Sepanjang jalan, Ethan memperhatikan wajah Bunga dengan tatapan penuh tekad.
“Bunga, apapun yang terjadi… aku akan menyelamatkanmu,” ucap Ethan dalam hati.
Bunga menangkap tatapan itu dan membalasnya dengan senyum indah, tepat saat cahaya bulan menerangi wajahnya. Matanya yang biru terlihat sangat cantik di malam itu—beberapa menit sebelum tragedi dimulai.
“Hahaha, memang kita mau ke mana sih? Kita cuma ke acara sebentar kok, nggak akan kemana-mana,” ucap Bunga tertawa kecil.
“Iya juga, ya,” jawab Ethan sambil ikut tertawa.
Mereka pun tiba di lokasi ritual. Warga desa tampak sibuk mempersiapkan segalanya. Wajah mereka penuh suka cita. Kambing dan ayam hitam sudah siap. Ritual pun dimulai.
Satu per satu hewan dipotong. Darahnya ditampung dan dituangkan ke kaki patung pocong. Kepala kambing digantung. Semua warga mulai berdoa di depan patung. Bunga pun ikut berdoa.
Ethan hanya bisa menyaksikan dengan perasaan ngeri. Dadanya sesak. Jantungnya berdetak cepat. Lalu…
Tiba-tiba, sesuatu muncul di atas patung pocong.
[Waktu: 20:00 Malam]