kemunculan iblis

[Pukul 20:00 malam]

Dalam keheningan malam yang pekat, seluruh warga desa berlutut di depan patung pocong besar. Mereka berdoa dalam bisu, berharap pertolongan dari sosok yang selama ini mereka sembah. Namun, tanpa peringatan, sesuatu muncul di atas patung itu—sosok laki-laki dengan satu tanduk kecil di tengah dahinya, sayap hitam besar menjuntai dari punggungnya, dan hanya sehelai kain hitam menutupi seluruh tubuhnya.

"Akhirnya... dimulai juga permainan ini," ucapku—Ethan—pelan, dengan perasaan yang bercampur antara takut dan penasaran.

Semua warga mendongak. Mata mereka terpaku pada makhluk itu. Diam. Tak satu pun suara keluar, seakan waktu membeku. Mungkin itu rasa penasaran. Mungkin juga ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Sosok bertanduk itu memandang ke seluruh desa dengan mata merah menyala, lalu mulai berbicara.

“Halo semua... Namaku Ambus. Aku datang ke sini untuk mencari tumbal bagi para tuanku,” ucapnya datar. Tapi suaranya bergetar seperti dengung, menggema di kepala, menusuk gendang telinga dan membuat rasa takut menyebar cepat.

Ketika kata-kata itu terucap, semua warga tersadar—ini nyata. Ini bukan mimpi buruk. Ini neraka yang datang dalam wujud nyata. Kepanikan menyebar dalam bisikan dan isakan pelan. Tapi aku berbeda. Entah kenapa, aku bisa tetap tenang. Rasanya seperti ada yang melindungiku, dan aku yakin... buku itu penyebabnya. Buku misterius yang kubawa sejak dari perpustakaan.

Bunga yang duduk di sampingku gemetar hebat. Wajahnya pucat, dan tangannya mencengkram tanganku kuat-kuat.

“Tenang, Bunga. Semua akan baik-baik saja,” ucapku pelan, mencoba tersenyum untuk meyakinkannya.

Ia menatapku penuh takut. Dalam pikiranku, hanya ada satu hal: kami harus bertahan hidup... sampai karakter utama dari buku ini muncul dan mengalahkan iblis bernama Ambus ini.

“Apa maksudmu... mencari tumbal untuk tuanmu?” tanyaku, dengan suara tenang yang mengejutkan bahkan diriku sendiri.

Ambus menoleh, menatapku tajam.

“Hoo... kau cukup berani untuk bertatapan denganku, manusia,” ujarnya dengan senyum tipis.

“Awalnya aku juga takut... Tapi kalau bukan karena buku ini, mungkin aku sudah gemetaran kayak yang lain,” gumamku lirih.

“Seperti yang kukatakan tadi, para tuanku membutuhkan tumbal. Dan kalian semua... adalah tumbal-tumbal itu,” ucap Ambus datar, lalu menyeringai. “Tapi tenang saja... Kita akan bermain. Tiga permainan. Jika kalian selamat, kalian kubiarkan hidup.”

Senyumnya menjijikkan. Angkuh, penuh rasa puas. Aku mendesah pelan dan berbisik, “Sok sombong... padahal cuma iblis rendahan, pesuruh iblis tingkat atas.”

Tiba-tiba, Pak Kepala Desa maju perlahan, lalu bersujud.

“T-tuan Ambus... tolong... jangan sakiti kami. Kami bersedia melakukan apa saja...”

Tangis dan permohonan mulai terdengar dari warga lain. Mereka ikut bersujud, meratap dengan penuh ketakutan. Ambus hanya tersenyum puas.

“Kalian tak melakukan kesalahan apa-apa. Hanya saja... dari awal, kalian semua hanyalah ternak bagi kami,” ucapnya dingin.

Wajah para warga membeku. Mereka bingung, takut, tak paham maksudnya.

“Hahahaha! Bodoh! Kalian tidak sadar apa yang kalian sembah selama ini? Patung ini—yang kalian anggap suci—adalah bawahan kami. Para iblis!” teriak Ambus, lalu menginjak kepala patung itu. Suaranya menggema, seolah langit pun ikut murka.

“Lihat patung ini. Sedang sujud, bukan? Tapi bukan pada Tuhan kalian... Mereka bersujud pada kami, para iblis!” suaranya menggelegar. “Semakin kalian menyembah mereka, semakin lezat aura kalian. Kalian... makanan kami.”

Tangisan kembali terdengar. Ibu-ibu memeluk anak mereka, para lelaki hanya bisa menunduk tak percaya. Iblis Ambus mulai kehilangan kesabaran. Ia mengangkat tangan kanannya dan menunjuk ke arah kepala desa.

“Kau... pemimpin dari para ternak ini.”

Pak Kepala Desa menggigil. “T-tolong... ampunilah kami...” katanya sambil menangis, tubuhnya sudah kuyup oleh keringat dingin.

Kuku telunjuk Ambus tiba-tiba memanjang tajam, dan dalam sekejap—srak!—menusuk tepat ke jantung sang kepala desa. Tubuhnya jatuh tanpa nyawa, darah menyembur bagai air mancur.

“Jika kalian terus menangis dan meratap, aku akan membantai kalian semua,” ancam Ambus.

Keheningan langsung menyelimuti desa. Semua orang terdiam, mata tertuju padanya. Tiba-tiba, sebuah pisau melayang ke arah Ambus—ia menangkapnya dengan mudah.

“BERANINYA KAU MEMBUNUH SUAMIKU!” teriak istri kepala desa, wajahnya penuh darah dan amarah.

“Dasar ternak sialan!” maki Ambus, lalu mengayunkan kuku panjangnya. Serangannya begitu cepat dan brutal. Tubuh sang istri terkoyak, darah muncrat dari luka-luka terbuka. Ia tewas seketika, mengenaskan.

Bunga menutup mulutnya, tubuhnya gemetar hebat. Ia terduduk di sampingku, air mata mengalir deras.

“E-Ethan... aku takut...” katanya, suaranya nyaris tak terdengar.

“Aku di sini, Bunga. Aku akan lindungi kamu... apapun yang terjadi.”

Ambus, kini puas, mulai membersihkan kukunya dari darah.

“Baiklah... suasananya kini tenang. Seperti yang kukatakan—aku ke sini untuk memanen kalian... sebagai sajian bagi para tuan di neraka,” ucapnya dengan suara tenang, namun menakutkan.

“Tapi mungkin, dari kalian... ada yang selamat. Kita akan mulai tiga permainan. Jika kalian bertahan sampai akhir... kalian boleh hidup.”

Aku mengangguk pelan. “Ini hiburan bagi para iblis tingkat atas...” bisikku.

“Peraturan? Tak perlu. Hanya satu: bertahan hidup,” lanjut Ambus.

Warga saling menatap, saling bertanya dalam diam, permainan seperti apa yang menanti mereka.

“Langsung saja... kita mulai permainan pertama!” Ambus menjentikkan jari.

Lima lingkaran muncul di sekitar patung, bercahaya merah samar. Di atas masing-masing lingkaran, tertulis: SAFE ZONE - 5 ORANG

“Seperti yang kalian lihat, itu adalah zona aman. Jika kalian berada di dalamnya, aku tak bisa menyentuh kalian. Tapi kapasitasnya terbatas. Hanya lima orang per lingkaran. Total 25 orang. Kalian harus berebut,” jelas Ambus.

“Waktu kalian... lima menit. Lewat dari itu, kalian akan jadi santapan hantu-hantu pocong ini.”

Tiba-tiba, patung retak. Dari dalamnya, hantu-hantu pocong merangkak keluar. Mulut mereka menganga, mata mereka kosong... dan tawa mereka—mengerikan.

“AYO, MULAI PERMAINANNYA!” teriak Ambus dengan tawa puas.