permainan dimulai

Semua warga desa berlari menuju lingkaran pelindung demi bertahan hidup. Mereka saling berebut, menciptakan kekacauan yang luar biasa. Teriakan dan tangisan anak-anak semakin menambah ketegangan suasana.

Aku melihat Bunga masih terduduk di sampingku, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Dia benar-benar dalam keadaan syok.

“Bunga, ayo berdiri,” ucapku lembut, mencoba menyadarkannya.

Namun, dia tak merespons. Tatapannya kosong, seolah jiwanya menghilang dari tubuhnya.

“BUNGA!” Aku berteriak lebih keras.

Teriakanku akhirnya menyadarkannya. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca.

“Kita tak punya waktu! Ayo berdiri!” seruku tegas. “Bukan saatnya menghayal!”

“E-Ethan… kaki-ku... aku tidak bisa bergerak!” katanya panik, wajahnya penuh ketakutan.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendongnya dan berlari menuju salah satu lingkaran pelindung terdekat. Tapi tempat itu sudah dikerumuni warga. Mereka saling dorong, bahkan ada yang tega membunuh demi bisa masuk ke dalam.

“Sial... sesuai dugaanku, kita tak akan kebagian zona aman ini,” gumamku sambil terus mencari celah.

“Maaf, Ethan. Aku malah jadi beban,” isak Bunga di pelukanku.

Mataku menyapu sekitar, dan di balik patung, aku melihat sebuah lingkaran yang masih kosong.

“Syukurlah... Kepanikan ini membuat mereka lupa melihat ke belakang,” bisikku sambil mempercepat langkah.

Namun sesampainya di sana, ternyata lingkaran itu telah terisi oleh empat orang—Pak Budi, Pak Adit, dan istri mereka masing-masing.

“Sial... hanya satu orang yang bisa masuk,” gumamku.

Pak Budi dan Pak Adit menatapku dengan wajah penuh rasa bersalah.

“Maaf Ethan, kami hanya bisa menerima satu dari kalian,” ucap Pak Budi dengan suara berat.

“Ethan, masuklah. Tinggalkan aku di sini,” kata Bunga sambil tersenyum, mencoba terlihat kuat.

Tapi aku tahu senyuman itu palsu. Ia hanya berusaha menyembunyikan ketakutannya.

“Jangan bercanda. Aku sudah janji akan melindungimu,” ucapku, mencoba menenangkannya.

Tanpa membuang waktu, aku menyerahkan Bunga ke dalam lingkaran dan menatap Pak Budi.

“Tolong jaga Bunga, Pak,” ucapku.

“Baik, Ethan… Maafkan aku,” jawab Pak Budi, suara bergetar.

“Jangan pergi... Kumohon jangan pergi!” tangis Bunga sambil menggenggam tanganku erat.

“Kalau kau pergi, bawa aku juga! Lebih baik aku mati bersamamu!” tangisnya semakin pecah.

Aku menatapnya dalam-dalam. “Tenanglah, aku tidak akan mati.”

Setelah mengucapkan itu, aku langsung berlari meninggalkan lingkaran. Suara teriakan Bunga memanggil namaku terus terngiang di telinga, tapi aku harus tetap mencari lingkaran lain.

“Tinggal satu menit,” ucap iblis Ambus sambil menyeringai.

“Sial... harusnya ada lingkaran keenam di sekitar sini!” Aku terus berlari ke arah rumah kepala desa.

Dan benar saja, aku melihat satu lingkaran kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Aku berhasil masuk tepat waktu, napasku terengah-engah.

“Huff... aku masuk tepat waktu.”

Aku mengamati sekeliling. Dalam buku itu tertulis bahwa ada lingkaran bonus yang diberikan oleh iblis tingkat atas, dan tampaknya hanya sedikit yang tahu keberadaannya—bahkan Ambus sekalipun tidak tahu.

Tiba-tiba, hantu-hantu pocong mulai menyerang warga desa yang gagal masuk lingkaran. Mereka dimakan hidup-hidup, darah berceceran, dan teriakan histeris memenuhi udara. Pemandangan mengerikan itu membuat iblis Ambus tertawa puas.

“LIHATLAH! INILAH YANG KALIAN SEMBAH!” serunya lantang.

Warga desa yang selamat hanya bisa menangis dan menatap ketakutan. Mereka mulai menyadari kenyataan yang selama ini mereka abaikan.

“Sial... masih ada dua permainan lagi,” gumamku, mulai bersiap.

Iblis Ambus mengeluarkan sebuah botol, lalu menyerap arwah para korban ke dalamnya.

“Mantap!” ucapnya dengan senang. “Inilah makanan untuk tuanku.”

Sementara itu, Bunga tampak sangat terpukul. Ia mengira aku telah mati. Air matanya mengalir deras.

“Ethan… maafkan aku,” lirihnya.

“Bunga, sabarlah,” ucap istri Pak Budi mencoba menenangkannya.

Namun Bunga hanya bisa terduduk pasrah, tenggelam dalam kesedihannya.

“Baiklah, langsung kita mulai permainan kedua!” seru Ambus penuh semangat.

Tiba-tiba, lingkaran pelindung menghilang. Semua orang panik.

“Kalian hanya perlu membunuh satu makhluk hidup. Maka kalian akan selamat dari para pocong,” kata Ambus dengan senyum iblisnya.

“Waktu kalian lima menit. MULAI!”

Mereka saling pandang. Bunga, Pak Budi, Pak Adit, dan kedua istrinya saling menatap curiga. Suasana menjadi tegang.

“Maafkan aku, Pak Budi,” ucap Pak Adit sambil mengeluarkan pisau dari dalam celananya.

“T-tenang... Pak Adit, pasti ada cara lain. Kita tak perlu saling membunuh,” ucap Pak Budi mencoba meredakan ketegangan.

“Bagaimana caranya?! Ini satu-satunya jalan!” seru istri Pak Adit putus asa.

Di kejauhan, terdengar teriakan warga yang sudah mulai saling membunuh. Suasana makin kacau.

“Kita tak punya waktu lagi!” teriak Pak Adit bersiap menyerang.

Namun tiba-tiba...

“BERHENTI!” suara Ethan menggema di antara kerumunan. Aku berlari ke arah mereka, membawa sebuah kotak.

Semua mata tertuju padaku. Bunga menatapku tak percaya. Tangisannya pecah kembali.

“E-Ethan...”

“Sudah kubilang aku akan tetap hidup,” ucapku sambil tersenyum padanya.

Aku membuka kotak dan mengeluarkan seekor jangkrik.

“Cepat! Bunuh jangkrik ini!”

Tanpa ragu, mereka berlima segera membunuh jangkrik itu. Beberapa detik kemudian, pocong-pocong yang siap menyerang justru berhenti, lalu perlahan-lahan kembali ke dalam patung.

“Apa maksudnya ini?” tanya Pak Budi bingung.

“Kenapa mereka tidak menyerang kita?” tambah Pak Adit.

“Sederhana saja. Iblis sialan itu bilang, cukup membunuh satu makhluk hidup. Jangkrik juga makhluk hidup. Kita tidak harus saling membunuh,” jawabku.

Namun tiba-tiba, perasaan aneh menjalar. Seolah ada sesuatu yang mengamatiku.

[Para iblis tingkat atas memperhatikan Anda]