Keadaan sekitar benar-benar hening, hanya tersisa tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di tanah desa. Darah menghitam, mencemari tanah dan udara. Hanya enam orang yang masih berdiri—terengah, luka, dan terguncang oleh apa yang baru saja mereka alami.
"Sepertinya tinggal kita berenam yang bertahan hidup," ucap Pak Adit lirih, matanya menyapu pemandangan penuh duka.
“Warga lainnya… mereka saling membunuh. Sampai akhirnya mereka pun tewas dalam permainan itu,” lanjutnya, suara berat dan penuh kesedihan.
Pak Budi menoleh ke arah Ethan, matanya berkaca-kaca. “Kalau bukan karena kau, Ethan… Kami semua pasti akan saling bunuh.”
Ethan berdiri diam, matanya kosong menatap ke tanah, seolah pikirannya berada di tempat lain. Semua orang menyadari perubahan sikapnya.
“Ethan... kau baik-baik saja?” tanya Pak Budi sambil menepuk pundaknya.
Ethan tersentak, seperti baru terbangun dari lamunan.
“Y-ya… Aku baik. Hanya sedikit kelelahan,” jawabnya pelan.
Tiba-tiba, Bunga memeluk Ethan erat, air matanya tak terbendung.
“Dasar kau ini! Nekat sekali!” serunya sambil menangis di pelukan Ethan.
Ethan hanya tersenyum kecil. “Tapi aku tidak mati, kan?”
Pak Budi ikut menimpali. “Kami semua berutang nyawa padamu, Ethan. Kalau kau tak muncul tepat waktu, kami pasti...”
“Kau tetap berpikir jernih di tengah kekacauan itu. Itu luar biasa, Nak,” lanjutnya, penuh rasa syukur.
Namun Ethan hanya menatap lurus ke depan, tatapannya mengarah ke sosok tinggi besar—iblis Ambus—yang kini tengah berdiri di atas reruntuhan patung, matanya menatap tajam ke arahnya.
“Jangan berterima kasih dulu, Pak. Kita belum selesai. Kita masih harus bertahan dari iblis sialan itu,” ucap Ethan, nadanya serius.
Lalu, ia berbisik, “Sial… Para iblis tingkat atas mulai memperhatikanku.”
Ambus menatap Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya mengeras menahan amarah.
“Enam orang... Bertahan hidup di permainan kedua? Ini benar-benar di luar rencana,” gumam Ambus penuh emosi.
Ia lalu menunjuk ke arah Ethan. “Kau! Kenapa kau masih hidup di permainan pertama?! Dan kenapa kau bisa memikirkan strategi di permainan kedua?! Ini mencurigakan!”
Ethan mendongak, menatap Ambus dengan tatapan dingin. “Kau tak perlu tahu. Lanjutkan saja permainan terakhirmu, iblis sialan.”
Ambus mendesis marah. Tanah di sekitarnya mulai retak karena tekanan aura iblisnya. Patung tempat ia berdiri ikut retak dan nyaris roboh.
“Seharusnya permainan kedua sudah menghabisi kalian! Tidak akan ada permainan ketiga!” seru Ethan dalam hati, menahan senyum tipis.
“Ethan! Jangan memprovokasinya! Itu bisa membunuh kita semua!” teriak Pak Budi, panik.
Aura iblis Ambus semakin menguat, membuat semua orang merasa sesak. Hanya Ethan yang tetap tenang.
“Kalau begitu, kita mulai permainan terakhir!” teriak Ambus, suaranya menggema di seluruh penjuru desa.
Ethan bergumam, “Di buku itu... Tak ada permainan ketiga. Aku penasaran apa yang sebenarnya direncanakan.”
Ambus tersenyum kejam. “Sederhana. Pilih satu orang untuk dijadikan tumbal.”
Pak Budi dan Pak Adit saling berpandangan, mata mereka menunjukkan kegelisahan yang sama.
“Tentukan cepat! Siapa yang rela mati!” bentak Ambus, suaranya seperti petir.
Matanya melirik ke arah Bunga. Aura gelap menekan tubuh gadis itu hingga ia terengah dan menggigil ketakutan.
“Jadi itu rencanamu... Kau pikir aku akan menyerahkan diri demi Bunga?” pikir Ethan, menatap ke arah gadis yang kini menggenggam tangannya erat.
“Siapa yang... siapa yang akan dijadikan tumbal?” tanya Pak Adit panik.
“Waktu kalian hanya satu menit! Jika tidak ada yang menyerahkan diri, kalian semua akan mati!” ancam Ambus.
Ketegangan makin memuncak. Istri Pak Adit menunjuk Ethan dengan wajah merah padam.
“Ini semua karena anak itu! Kalau dia tidak memprovokasi iblis itu, ini takkan terjadi!”
“Kalau begitu, dia yang harus jadi tumbal!” teriaknya penuh emosi.
Bunga tak tinggal diam. “Ibu bicara apa?! Kalau bukan karena Ethan, kita semua sudah mati di permainan sebelumnya!”
Ethan mengangkat bahu santai. “Yah, permainan ketiga tetap akan terjadi walau aku diam.”
Istri Pak Adit membalas, “Kalau saja kami tak menerima Bunga dalam lingkaran pertama, dia pasti sudah mati!”
Pertengkaran makin memanas. Waktu terus berjalan.
Dan tepat sebelum detik terakhir...
“Aku… Aku yang akan jadi tumbal,” ucap Ethan sambil mengangkat tangan. Suaranya tenang namun tegas.
Semua orang terpaku.
“Ini yang kau mau, ‘kan… iblis sialan?” bisik Ethan sambil melangkah maju dengan percaya diri.
Bunga mendekatinya dengan wajah hancur. “Ethan! Kenapa kau… lagi-lagi mengorbankan dirimu?!”
Ia memeluk Ethan erat, air matanya mengalir deras. “Kalau kau pergi… Bawa aku juga!”
Ethan membelai rambutnya pelan. “Tenang, Bunga. Aku tidak akan mati.”
Namun tak lama kemudian, tubuh Ethan terseret paksa ke hadapan Ambus. Ia terhempas keras ke patung, tubuhnya meringis menahan sakit.
“Iblis sialan…” desis Ethan.
Bunga berusaha mengejarnya, tapi penghalang tak terlihat memisahkan mereka. Ia mengetuk-ngetuk dinding tak kasat mata itu, menangis histeris.
Di dalam penghalang, Ethan kini terkurung bersama Ambus. Tidak ada tempat untuk melarikan diri.
“Penghalang, ya? Kau benar-benar serius kali ini,” gumam Ethan sambil berdiri perlahan.
Ambus turun dari patung dengan kecepatan mengerikan, langsung mencengkeram leher Ethan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Lihatlah! Yang sok kuat ini akhirnya tak berdaya,” ujar Ambus, tertawa puas.
Ethan berusaha menendang dan meronta, tapi cengkeraman Ambus sangat kuat. Oksigen semakin menipis, pandangannya mulai kabur.
“Sial… Di mana orang itu? Harusnya dia sudah datang!” pikir Ethan panik, hampir kehilangan kesadaran.
“Saat kau mati, yang lain akan menyusul. Nikmati detik-detik terakhirmu, hewan ternak!” seru Ambus.
Namun tepat saat Ambus hendak menghabisi Ethan, bagian atas penghalang bergetar... lalu retak... dan...
BRRAAK!
Seseorang menerobos masuk dari atas, melompat turun sambil mengayunkan pedang—langsung memotong tangan Ambus yang mencekik Ethan.
Tangan iblis itu terlepas, darah hitam memuncrat.
Ethan terjatuh lemas ke tanah, terengah, matanya menatap sosok yang berdiri gagah di hadapannya.
“Akhirnya... kau datang juga... pemeran utama…” lirih Ethan dengan napas hampir habis.