kematian sang pembaca

Ethan tergeletak di tanah, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal. Cengkeraman tangan Iblis Ambus di lehernya tadi masih terasa menyiksa paru-parunya. Ia mencoba mengatur ulang napas, menggenggam tanah untuk menopang tubuhnya yang lemas.

Langkah kaki terdengar mendekat. Ethan mendongak, pandangannya bertemu dengan sosok pria berambut coklat, bermata tajam dengan warna senada. Di pinggulnya tergantung sarung pedang yang masih bergetar karena pertempuran barusan.

Orang itu menatapnya, dan Ethan seolah tak percaya.

"Akhirnya kau tiba juga… sang protagonis, Liam," gumamnya lemah, nyaris tak terdengar.

“Kau baik-baik saja?” tanya Liam, nada suaranya tenang namun waspada.

“Y-ya... aku baik-baik saja,” jawab Ethan seraya berusaha berdiri meski lututnya masih gemetar.

Tak jauh dari mereka, Iblis Ambus mengerang kesakitan. Tangannya yang terpotong tergeletak di tanah, darah hitam kental membasahi tubuhnya. Tatapan matanya memancarkan kebencian mendalam saat ia menatap Liam.

“Dasar bajingan! Berani kau memotong tanganku!” raungnya dengan amarah membara.

Dengan satu tangan, ia menahan pendarahan menggunakan kekuatan iblisnya. Udara di sekitar menjadi dingin, seperti menyambut kembalinya kematian.

“AKAN KUBUNUH KAU DENGAN SANGAT MENYAKITKAN, BAJINGAN SIALAN!!”

Iblis Ambus melesat ke arah Liam dengan kecepatan luar biasa, kuku tajam di tangan kirinya menjulur seperti cambuk. Liam menangkis serangan itu dengan pedangnya, percikan energi meledak tiap kali bilah logam bertemu dengan cakar iblis.

Pertarungan berlangsung sengit. Serangan demi serangan saling bertukar, bahkan tanah di sekitar mereka mulai retak akibat intensitas pertarungan. Sayap besar Iblis Ambus membentang, membuatnya bisa menghindar dari tebasan Liam sambil menyerang dari udara.

“Sial, ini merepotkan... susah menyerangnya kalau dia terus terbang!” gerutu Liam sambil memutar pedangnya untuk bertahan.

“Heh! Kau tidak akan bisa menyentuhku, manusia busuk!” ejek Ambus sambil tertawa kejam.

Melihat Liam mulai terdesak, Ethan menggertakkan gigi. Ia harus berbuat sesuatu.

Matanya menangkap tangan iblis yang terpotong. Ia mendekatinya, lalu mengangkat potongan itu tinggi-tinggi.

“Hei, iblis sialan! Lihat tangan kotormu ini!” teriak Ethan dengan nada mengejek. “Kurasa tangan ini cocok jadi makanan babi di desa!”

Tatapan Iblis Ambus berubah. Ia mengalihkan fokusnya, matanya membelalak marah.

“Berani kau menyentuh tanganku, dasar hewan ternak!”

Dengan marah, ia terbang rendah, menyerang Ethan yang langsung panik dan berlari.

“Sial, kalau kena serangan itu aku bisa langsung mati!” teriak Ethan panik.

Ambus terus mengejarnya. Tapi di saat itulah, Liam muncul dari belakang iblis itu dan—SRETT!—dengan satu tebasan cepat, memotong kedua sayap iblis Ambus. Iblis itu mengerang dan jatuh menghantam tanah, tepat di depan sebuah patung pocong besar.

“ARGH!!” Iblis Ambus menggeliat, mencoba bangkit. “Kalian… kalian akan kubinasakan!”

Ia meraung dalam amarah, mencoba bangkit meski darah mengucur deras dari punggungnya.

“Aku adalah iblis! Makhluk terkuat!” raungnya lagi.

Namun, takdir menertawakannya. Patung pocong di belakangnya yang retak sejak pertarungan tadi, tiba-tiba roboh. BRUGGG!!!—Patung itu jatuh menghantam tubuh Iblis Ambus dengan keras, menghancurkan tulangnya dan membuat tubuhnya terkapar tak bergerak.

Ethan terhuyung, tubuhnya penuh luka, napasnya nyaris habis.

“Iblis terkuat, kok mati tertimpa patung...” katanya sambil terengah. “Untung saja patung itu sudah retak. Aku cuma perlu dorongan kecil…”

Liam berjalan mendekat, menatap tubuh Ambus yang kini diam.

“Sepertinya semua sudah berakhir,” ucapnya datar.

“I-iya… malam ini benar-benar gila,” jawab Ethan lelah.

Namun, matanya melirik ke sekeliling. “Tunggu… kenapa penghalang ini belum menghilang?” gumamnya bingung.

Tiba-tiba—CRAASSHH!!

Rasa dingin menghantam tubuh Ethan. Ia terdiam. Darah muncrat dari dadanya. Ia menunduk—sebuah kuku panjang menembus tubuhnya dari belakang.

“Setidaknya kau mati bersama aku… bajingan,” bisik suara familiar.

Iblis Ambus… masih hidup. Dengan sisa kekuatan terakhir, ia menyerang Ethan dari balik reruntuhan patung.

Liam bergerak cepat. Dalam satu tebasan, kuku iblis terputus, disusul dengan tebasan yang memenggal kepala Ambus sepenuhnya. Tubuh iblis itu jatuh tak bernyawa. Kali ini benar-benar mati.

Ethan tergeletak di tanah. Darah membanjiri tubuhnya. Nafasnya pelan, semakin pelan. Liam mencoba menekan luka di dadanya.

“Sial... Jangan mati! Bertahanlah!” seru Liam.

Dari kejauhan, suara teriakan terdengar.

“ETHAN!!”

Bunga berlari mendekat, wajahnya pucat melihat tubuh Ethan bersimbah darah. Ia jatuh berlutut, memegangi dada Ethan.

“E-Ethan… apa yang terjadi?!”

Ethan menatapnya, tersenyum samar.

“M-maaf, Bunga…”

“Jangan minta maaf!” seru Bunga sambil menangis. “Kau sudah janji padaku! Janji untuk tetap hidup!”

Air mata Bunga menetes deras, jatuh di wajah Ethan.

“Aku... senang bisa mengenalmu… walau hanya sebentar.”

“Jangan tinggalkan aku! Kumohon…”

“Jangan menangis... kau lebih cocok tersenyum…” bisik Ethan pelan.

Dengan sisa tenaga terakhirnya, ia genggam tangan Bunga.

“Hiduplah, Bunga... untuk kita berdua…”

Senyum kecil menghiasi wajah Ethan. Lalu—hening.

Sebuah teks muncul di udara.

[Anda telah mati.]