Hari Pertama yang Kacau

Pagi itu, Haruto melangkah masuk ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Meski ia sudah menyetujui permintaan Himari untuk menjadi "pacar palsu"-nya, ia masih merasa seluruh ini seperti mimpi aneh yang sulit dipercaya. Himari memang populer, tapi berada di sisinya berarti perhatian seluruh sekolah akan tertuju pada mereka.

Saat Haruto membuka pintu kelas, suasana langsung berubah. Seolah-olah semua mata tertuju padanya. Di sudut kelas, teman-temannya yang biasa duduk santai kini berbisik-bisik sambil meliriknya.

"Haruto, jadi itu benar?" bisik Shun, sahabatnya yang selalu ceria.

"Benar apa?" Haruto pura-pura tak tahu, berharap bisa lolos dari interogasi.

"Bahwa kau pacaran dengan Himari Tachibana! Semua orang membicarakannya pagi ini. Katanya kalian terlihat jalan bareng kemarin sore."

Haruto hanya bisa tertawa kaku, tapi sebelum ia sempat menjawab, pintu kelas terbuka lebar. Himari masuk dengan senyum lembut seperti biasa, seolah semua hal ini adalah bagian dari rutinitasnya.

"Selamat pagi, Haruto!" Himari menyapanya dengan suara ceria yang terlalu jelas untuk dilewatkan.

Kelas langsung hening. Bahkan guru yang sedang lewat pun sempat berhenti untuk melihat apa yang terjadi.

"Uh... selamat pagi," jawab Haruto dengan canggung.

Tanpa aba-aba, Himari berjalan ke mejanya dan duduk di kursi kosong di sebelah Haruto. Padahal itu bukan tempat duduknya.

"Jadi, sudah siap untuk makan siang bersama nanti?" Himari berbisik sambil tersenyum manis. Haruto tahu itu bagian dari rencana mereka, tapi tetap saja, melihat Himari duduk begitu santai di sampingnya membuat jantungnya berdegup kencang.

"Eh, makan siang?" Haruto bertanya.

"Kita harus terlihat seperti pasangan, kan?" jawab Himari sambil mengedipkan mata.

Haruto menghela napas panjang. Hari pertama mereka sebagai pasangan palsu sudah terasa seperti ujian. Dan ternyata, ini baru permulaan.

Jam istirahat tiba lebih cepat dari yang Haruto duga. Sejak pagi, ia sudah dikepung oleh tatapan penasaran teman-teman sekelas. Tak satu pun dari mereka cukup berani untuk mendekat, tetapi bisik-bisik di sudut ruangan terasa seperti gema yang terus memukul pikirannya.

Haruto mencoba mengabaikan semuanya dan bersiap membuka bekalnya, tetapi Himari, yang seolah tak terpengaruh oleh atmosfer kelas, mendekat dengan senyum lembut.

"Haruto, ayo makan di taman," ajaknya sambil membawa bekal kecil berhiaskan pita merah muda. "Di sini terlalu ramai, dan aku tidak suka diperhatikan seperti ini."

Haruto hanya bisa menurut. Ia tahu ini adalah bagian dari perannya, tetapi itu tidak membuat situasinya lebih mudah. Dengan enggan, ia berdiri dan mengikuti Himari keluar kelas.

Ketika mereka sampai di taman sekolah, tempat itu tampak lebih sepi dibandingkan biasanya. Pohon sakura di tepi jalan memberikan sedikit keteduhan, dan angin musim semi membawa aroma bunga yang menenangkan.

"Ah, akhirnya," Himari duduk di bangku kayu sambil membuka bekalnya. "Di sini jauh lebih baik, kan?"

Haruto mengangguk kecil, lalu ikut duduk di sampingnya. Tetapi saat ia hendak membuka bekalnya, Himari tiba-tiba mendekatkan tubuhnya.

"Haruto, kau harus kelihatan lebih natural. Jangan kaku seperti itu," katanya dengan nada setengah berbisik.

"Apa maksudmu?" Haruto balas menatapnya bingung.

"Jika kita terlihat terlalu canggung, orang-orang tidak akan percaya kita benar-benar pacaran. Jadi, santai saja," Himari menjawab sambil tersenyum, tetapi ada sedikit nada serius di balik kata-katanya.

Sebelum Haruto sempat merespons, suara familiar memecah keheningan.

"Himari! Haruto!"

Keduanya menoleh, dan di depan mereka berdiri Reina, teman dekat Himari yang terkenal blak-blakan. Dengan tangan bersilang di dada, Reina menatap mereka berdua dengan pandangan menyelidik.

"Jadi, ini benar? Kau benar-benar pacaran dengan Haruto?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Himari tersenyum, tanpa sedikit pun tanda gugup. "Iya, tentu saja. Kenapa? Kau tidak percaya?"

Reina menaikkan alis. "Yah, jujur saja, aku tidak pernah membayangkan kau akan memilih seseorang seperti dia."

Perkataan itu terasa seperti pukulan di wajah Haruto. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa dibandingkan Himari, tetapi mendengar itu diucapkan langsung terasa menyakitkan.

Namun, sebelum ia sempat bereaksi, Himari meraih tangannya. Sentuhan lembut itu membuat Haruto membeku.

"Kenapa tidak?" Himari menjawab santai. "Haruto adalah orang yang baik dan perhatian. Dia mungkin tidak mencolok, tapi itulah yang membuatnya istimewa."

Kata-kata itu membuat Reina terdiam sejenak. Ia menatap mereka dengan penuh curiga, tetapi akhirnya menghela napas.

"Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, aku akan mengawasimu, Haruto. Jika kau menyakiti Himari, aku tidak akan tinggal diam," ancamnya sebelum pergi meninggalkan mereka.

Haruto menatap Himari dengan ekspresi campur aduk. "Kenapa kau mengatakan hal seperti itu? Kau tahu itu tidak benar, kan?"

Himari hanya tertawa kecil. "Aku hanya memainkan peranku. Lagipula, aku tidak ingin orang-orang meremehkanmu."

Haruto tidak tahu harus merasa senang atau justru semakin bingung. Tetapi satu hal yang ia sadari, hubungan palsu ini akan jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Jam istirahat tiba lebih cepat dari yang Haruto duga. Sejak pagi, ia sudah dikepung oleh tatapan penasaran teman-teman sekelas. Tak satu pun dari mereka cukup berani untuk mendekat, tetapi bisik-bisik di sudut ruangan terasa seperti gema yang terus memukul pikirannya.

Haruto mencoba mengabaikan semuanya dan bersiap membuka bekalnya, tetapi Himari, yang seolah tak terpengaruh oleh atmosfer kelas, mendekat dengan senyum lembut.

"Haruto, ayo makan di taman," ajaknya sambil membawa bekal kecil berhiaskan pita merah muda. "Di sini terlalu ramai, dan aku tidak suka diperhatikan seperti ini."

Haruto hanya bisa menurut. Ia tahu ini adalah bagian dari perannya, tetapi itu tidak membuat situasinya lebih mudah. Dengan enggan, ia berdiri dan mengikuti Himari keluar kelas.

Ketika mereka sampai di taman sekolah, tempat itu tampak lebih sepi dibandingkan biasanya. Pohon sakura di tepi jalan memberikan sedikit keteduhan, dan angin musim semi membawa aroma bunga yang menenangkan.

"Ah, akhirnya," Himari duduk di bangku kayu sambil membuka bekalnya. "Di sini jauh lebih baik, kan?"

Haruto mengangguk kecil, lalu ikut duduk di sampingnya. Tetapi saat ia hendak membuka bekalnya, Himari tiba-tiba mendekatkan tubuhnya.

"Haruto, kau harus kelihatan lebih natural. Jangan kaku seperti itu," katanya dengan nada setengah berbisik.

"Apa maksudmu?" Haruto balas menatapnya bingung.

"Jika kita terlihat terlalu canggung, orang-orang tidak akan percaya kita benar-benar pacaran. Jadi, santai saja," Himari menjawab sambil tersenyum, tetapi ada sedikit nada serius di balik kata-katanya.

Namun, Himari tampak mengamati Haruto dengan seksama, matanya menyipit seolah sedang menilai sesuatu.

"Haruto, kau tahu tidak? Kau sebenarnya punya potensi terlihat lebih menarik, lho," ujarnya tiba-tiba, membuat Haruto tersentak.

"Apa maksudmu? Aku... aku biasa saja," balas Haruto kikuk.

"Tepat itu masalahnya," Himari mendekat sedikit, membuat Haruto hampir mundur. "Kau terlalu menyembunyikan diri. Coba sedikit lebih percaya diri. Siapa tahu, kau bisa jadi seseorang yang lebih dari sekadar 'bayangan' di sekolah ini."

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Haruto. Ia tidak tahu apakah Himari sungguh-sungguh atau hanya mencoba membuatnya merasa lebih baik, tetapi ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya.

Sebelum Haruto sempat merespons, suara familiar memecah keheningan.

"Himari! Haruto!"

Keduanya menoleh, dan di depan mereka berdiri Reina, teman dekat Himari yang terkenal blak-blakan. Dengan tangan bersilang di dada, Reina menatap mereka berdua dengan pandangan menyelidik.

"Jadi, ini benar? Kau benar-benar pacaran dengan Haruto?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Himari tersenyum, tanpa sedikit pun tanda gugup. "Iya, tentu saja. Kenapa? Kau tidak percaya?"

Reina menaikkan alis. "Yah, jujur saja, aku tidak pernah membayangkan kau akan memilih seseorang seperti dia."

Perkataan itu terasa seperti pukulan di wajah Haruto. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa dibandingkan Himari, tetapi mendengar itu diucapkan langsung terasa menyakitkan.

Namun, sebelum ia sempat bereaksi, Himari meraih tangannya. Sentuhan lembut itu membuat Haruto membeku.

"Kenapa tidak?" Himari menjawab santai. "Haruto adalah orang yang baik dan perhatian. Dia mungkin tidak mencolok, tapi itulah yang membuatnya istimewa."

Kata-kata itu membuat Reina terdiam sejenak. Ia menatap mereka dengan penuh curiga, tetapi akhirnya menghela napas.

"Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, aku akan mengawasimu, Haruto. Jika kau menyakiti Himari, aku tidak akan tinggal diam," ancamnya sebelum pergi meninggalkan mereka.

Saat Reina pergi, Haruto menatap Himari dengan ekspresi campur aduk. "Kenapa kau mengatakan hal seperti itu? Kau tahu itu tidak benar, kan?"

Himari hanya tertawa kecil. "Aku hanya memainkan peranku. Lagipula, aku tidak ingin orang-orang meremehkanmu."

Haruto tidak tahu harus merasa senang atau justru semakin bingung. Tetapi satu hal yang ia sadari, hubungan palsu ini akan jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Di ujung taman, angin membawa kelopak bunga sakura yang jatuh ke pangkuan Himari. Ia memandang bunga itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Haruto," panggil Himari pelan, tanpa menoleh.

"Ada apa?"

Himari terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Tidak, bukan apa-apa. Ayo kembali ke kelas sebelum mereka mulai curiga."