Hari-hari berlalu, dan hubungan palsu antara Haruto dan Himari mulai menjadi sorotan utama di sekolah. Gosip semakin liar, dari mereka yang benar-benar percaya hubungan itu hingga mereka yang menganggap semua ini hanya kebetulan belaka. Namun, bagi Haruto, semua ini bukanlah hal yang mudah. Setiap langkah yang ia ambil terasa diawasi, setiap kata yang ia ucapkan seolah menjadi bahan diskusi.
Di sisi lain, Himari tampak menikmati situasi ini. Ia tetap tersenyum dan santai, seolah dunia tidak bisa menyentuhnya. Namun, Haruto tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik wajah cerianya.
---
Jam terakhir di sekolah akhirnya selesai, dan Haruto menghela napas lega. Ia mulai membereskan buku-bukunya saat Himari tiba-tiba menghampiri mejanya.
"Haruto, ayo ikut aku ke ruang seni," katanya tanpa basa-basi.
"Ruang seni? Untuk apa?" Haruto bertanya dengan nada curiga.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," Himari menjawab sambil menarik tangannya.
Haruto tak punya pilihan selain mengikutinya. Ruang seni berada di lantai tiga, dan sore itu, lorong sekolah sudah mulai sepi. Mereka berjalan dalam keheningan, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar.
Setibanya di ruang seni, Himari membuka pintu dengan hati-hati. Aroma cat minyak dan kayu memenuhi ruangan. Himari berjalan menuju sudut ruangan, tempat sebuah kanvas besar berdiri.
"Apa ini?" tanya Haruto sambil melihat kanvas itu.
Himari tersenyum tipis. "Ini adalah sesuatu yang sedang aku kerjakan. Lukisan ini adalah bagian dari alasan kenapa aku membutuhkan bantuanmu."
Haruto menatap lukisan itu dengan seksama. Meskipun belum selesai, ia bisa melihat bentuk dasar sebuah pohon sakura besar dengan latar belakang matahari terbenam. Namun, ada sesuatu yang aneh di bagian bawahnya—siluet dua orang yang tampak seperti sedang berpegangan tangan.
"Kenapa kau menunjukkan ini padaku?" Haruto bertanya, masih bingung.
Himari menghela napas. "Karena lukisan ini adalah inti dari 'kontrak' kita. Hubungan palsu kita bukan hanya untuk menghindari gosip atau mendapatkan ketenangan. Ini lebih dari itu."
Haruto mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu?"
Himari menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di matanya. "Haruto, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi... aku butuh seseorang yang bisa memahami sisi diriku yang tidak diketahui orang lain. Dan aku pikir, entah kenapa, kau adalah orang itu."
Haruto merasa dadanya berdebar. Kata-kata Himari terasa tulus, tetapi ia tidak bisa memastikan apa maksud sebenarnya.
"Aku... aku hanya orang biasa. Kenapa aku?" Haruto akhirnya bertanya.
Himari tertawa kecil, tetapi ada sedikit kepahitan di balik tawanya. "Mungkin karena kau adalah satu-satunya yang tidak memandangku sebagai 'Himari yang sempurna.' Kau melihatku sebagai seseorang yang nyata."
Kata-kata itu membuat Haruto terdiam. Ia menyadari bahwa di balik senyum dan kepercayaan diri Himari, ada sisi rapuh yang selama ini ia sembunyikan.
"Haruto," Himari melanjutkan. "Aku ingin kau tetap di sisiku, setidaknya sampai aku menyelesaikan lukisan ini. Setelah itu, kau bebas pergi jika kau mau."
Haruto merasa ada banyak hal yang belum ia pahami, tetapi ia mengangguk perlahan. "Baiklah. Aku akan membantumu."
Himari tersenyum lembut, tetapi tatapannya masih penuh dengan misteri. "Terima kasih, Haruto."
Setelah percakapan di ruang seni, Haruto merasa pikirannya dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Himari, dengan sikap tenangnya, telah meninggalkan kesan mendalam di hati Haruto. Ada sesuatu di balik senyumannya yang membuatnya sulit dipahami—sebuah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.
Ketika mereka keluar dari ruang seni, matahari sudah hampir tenggelam, meninggalkan langit dengan warna jingga yang indah. Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong sekolah yang mulai sepi.
"Himari," panggil Haruto tiba-tiba, memecah keheningan.
"Hm?" Himari menoleh, tetapi langkahnya tidak berhenti.
"Lukisan itu... kenapa kau memilih pohon sakura? Apa itu memiliki arti khusus untukmu?"
Himari tersenyum kecil, tetapi tidak segera menjawab. Mereka terus berjalan hingga sampai di tangga menuju lantai bawah. Himari berhenti sejenak, memandangi langit jingga di luar jendela.
"Pohon sakura selalu mengingatkanku pada sesuatu yang penting," jawabnya pelan. "Sesuatu yang ingin aku ingat selamanya... tapi aku takut akan terlupakan."
Nada suaranya berubah. Untuk pertama kalinya, Himari terdengar seperti seseorang yang lelah, seseorang yang berjuang melawan sesuatu yang hanya ia ketahui.
Haruto ingin bertanya lebih jauh, tetapi ia ragu. Ia merasa jika ia mendesak Himari, tembok yang telah sedikit terbuka itu mungkin akan tertutup kembali.
"Kalau begitu," kata Haruto akhirnya, "aku akan memastikan kau menyelesaikan lukisan itu. Supaya kenanganmu tetap hidup, apapun itu."
Himari tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Haruto dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seolah mencoba membaca pikirannya. Namun, ia akhirnya tersenyum lagi, kali ini lebih tulus.
"Terima kasih, Haruto," katanya sambil melanjutkan langkahnya.
---
Keesokan harinya
Haruto berpikir bahwa hari itu akan berjalan biasa saja, tetapi ia salah. Saat ia masuk ke kelas, ia melihat Himari berdiri di depan meja Reina, berbicara dengan suara pelan tetapi intens.
"Ada apa ini?" Haruto bertanya dalam hati, merasa ada sesuatu yang salah.
Ia mendekat dengan hati-hati, mencoba mendengar percakapan mereka tanpa terlihat mencurigakan.
"...kau tahu aku tidak suka hal seperti ini, Reina," kata Himari dengan nada serius.
"Tapi aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," balas Reina, sedikit defensif. "Aku tahu kau bukan tipe yang akan melakukan hal impulsif seperti ini. Ada sesuatu yang kau sembunyikan, kan?"
Himari menghela napas panjang. "Reina, aku tidak sedang bercanda. Aku tahu apa yang kulakukan. Haruto dan aku..."
Himari berhenti bicara ketika matanya menangkap sosok Haruto yang berdiri di dekat mereka. Wajahnya yang biasanya tenang seketika berubah.
"Haruto," katanya pelan, "kau sudah di sini?"
Reina berbalik dan menatap Haruto dengan tatapan penuh curiga. "Kau. Apa sebenarnya hubunganmu dengan Himari?"
Haruto merasa semua mata di kelas tiba-tiba tertuju padanya. Ia ingin menjelaskan, tetapi lidahnya terasa kaku.
Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Himari menarik tangan Haruto dan membawanya keluar kelas.
---
Di koridor yang sepi, Himari akhirnya berhenti dan melepaskan tangannya. Wajahnya tampak tegang, sesuatu yang jarang terlihat darinya.
"Aku minta maaf, Haruto," katanya pelan. "Reina hanya... terlalu protektif. Dia selalu seperti itu."
"Tidak apa-apa," jawab Haruto, meski sebenarnya ia merasa sedikit canggung. "Tapi... apa kau yakin tidak apa-apa merahasiakan ini darinya? Dia kelihatannya sangat peduli padamu."
Himari terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku tahu. Tapi Reina tidak akan mengerti. Dia tidak akan mengerti kenapa aku melakukan semua ini."
Haruto merasa ada kejujuran dalam suara Himari, tetapi juga rasa sakit yang tersembunyi. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi ia tahu ini bukan saat yang tepat.