Pagi itu di sekolah, Haruto berjalan menuju kelas dengan pikiran yang penuh. Percakapan malam sebelumnya dengan Himari terus mengganggu pikirannya. Kata-kata Himari tentang "kehilangan arah" terngiang di telinganya.
Namun, sebelum ia sempat melangkah ke dalam kelas, suara langkah cepat terdengar di belakangnya.
"Haruto!"
Ia menoleh, dan Reina berdiri di sana, napasnya tersengal-sengal seolah-olah ia baru saja mengejar sesuatu.
"Reina? Ada apa?" Haruto bertanya bingung.
Reina menatapnya dengan tajam, jauh berbeda dari biasanya. "Kita perlu bicara."
---
Di Atap Sekolah
Reina membawa Haruto ke atap sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa. Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar, ia berbalik menatap Haruto.
"Aku tahu Himari dekat denganmu akhir-akhir ini," kata Reina tanpa basa-basi.
Haruto menatapnya dengan waspada. "Iya, memang. Tapi itu bukan masalah, kan?"
Reina mendesah. "Masalahnya adalah... Himari berubah. Dan aku tidak tahu apakah itu karena kau atau karena sesuatu yang lain. Tapi aku khawatir."
"Khawatir tentang apa?"
"Himari adalah tipe orang yang selalu memikul beban sendiri. Dia tidak akan pernah mengakuinya, tapi aku tahu dia sering memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja."
Haruto terdiam. Kata-kata Reina membuatnya semakin yakin bahwa ada sisi lain dari Himari yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Jika kau benar-benar peduli padanya," lanjut Reina, "kau harus memastikan bahwa dia tidak tersesat lebih jauh."
"Tersesat?" Haruto mengulangi.
"Ya," jawab Reina, nadanya serius. "Himari punya kebiasaan menyembunyikan perasaannya. Dia mungkin terlihat bahagia, tapi itu hanya topeng."
Haruto tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin ia bisa membantu Himari jika ia sendiri masih mencoba memahami apa yang terjadi?
---
Sore Hari, di Rumah Nenek Himari
Seperti biasa, Himari dan Haruto bertemu di rumah neneknya. Himari sedang menambahkan sentuhan terakhir pada lukisannya ketika Haruto masuk ke ruangan.
"Hari ini terlihat berbeda," kata Himari sambil tersenyum. "Apa yang terjadi?"
Haruto ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku bertemu Reina tadi pagi."
"Oh?" Himari berhenti melukis dan menoleh ke arahnya. "Apa yang dia katakan?"
Haruto menghela napas. "Dia bilang aku harus memastikan kau tidak tersesat."
Himari terdiam. Matanya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara terkejut dan kesedihan.
"Reina selalu seperti itu," kata Himari akhirnya. "Dia selalu ingin melindungiku, bahkan ketika aku tidak meminta."
"Tapi... apakah dia benar?" Haruto bertanya hati-hati. "Apakah kau benar-benar menyembunyikan perasaanmu?"
Himari tersenyum tipis, tetapi senyumnya terlihat dipaksakan. "Haruto, ada hal-hal yang lebih mudah untuk disimpan sendiri. Tidak semua orang perlu tahu semuanya."
"Tapi aku ingin tahu," kata Haruto tanpa ragu. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu merasa seperti ini. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan, aku ingin bisa membantu."
Himari menatap Haruto dengan mata yang berkaca-kaca. "Kenapa kau peduli?"
"Karena aku peduli padamu," jawab Haruto, suaranya penuh ketulusan.
Kata-kata itu membuat Himari terdiam. Tidak ada yang pernah berkata seperti itu padanya sebelumnya. Tidak dengan cara yang membuatnya merasa... nyata.
---
Malam Itu
Haruto memutuskan untuk tetap tinggal di rumah nenek Himari lebih lama. Mereka berbicara banyak hal, dari masa kecil Himari hingga mimpi-mimpinya yang belum terwujud. Himari perlahan mulai membuka diri, dan Haruto merasa semakin memahami sisi dirinya yang rapuh.
Namun, ada satu hal yang Himari belum katakan—sesuatu yang terus ia pendam di dalam hatinya.
"Haruto," kata Himari tiba-tiba.
"Hm?" Haruto menoleh ke arahnya.
"Aku takut."
"Takut apa?"
"Aku takut... jika aku terlalu bergantung padamu, aku tidak akan bisa melindungi diriku sendiri lagi."
Haruto terdiam mendengar pengakuan itu. Ia mengerti ketakutannya, tetapi ia juga tahu bahwa Himari tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang rasa takutnya sendiri.
"Kau tidak perlu melindungi dirimu sendiri sepanjang waktu," kata Haruto pelan. "Kadang-kadang, tidak apa-apa untuk bergantung pada orang lain."
Himari tersenyum kecil, tetapi ada air mata yang mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak sendirian.
---
Keesokan harinya, Haruto tidak bisa berhenti memikirkan percakapannya dengan Himari. Kata-kata terakhir Himari terus terulang dalam benaknya, dan ia semakin merasa bahwa Himari sedang menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa takut untuk bergantung pada orang lain.
Di sekolah, Himari terlihat seperti biasa—tersenyum cerah dan menyapa semua orang dengan ramah. Namun, Haruto kini bisa melihat celah kecil di balik topeng sempurna itu. Ia tahu senyum Himari tidak seutuhnya nyata.
---
Saat Istirahat
Haruto berjalan ke taman belakang sekolah, tempat yang sering ia kunjungi untuk mencari ketenangan. Namun, ia tidak menyangka akan melihat Himari di sana, duduk di bangku taman dengan buku sketsa di tangannya.
"Himari?" Haruto memanggil pelan.
Himari menoleh dengan sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum tipis. "Haruto. Kau juga suka tempat ini?"
"Kadang-kadang," jawab Haruto sambil duduk di sampingnya. Ia melirik buku sketsa di tangan Himari. "Apa yang kau gambar?"
Himari menutup buku itu dengan cepat, seolah tidak ingin Haruto melihatnya. "Hanya coretan iseng. Tidak ada yang penting."
Haruto tidak memaksa, tetapi ia bisa melihat ada sesuatu yang ingin Himari sembunyikan.
---
Sepulang Sekolah
Haruto memutuskan untuk menemui Himari di rumah neneknya seperti biasa. Namun, kali ini, suasananya berbeda. Himari terlihat gelisah, dan lukisan di kanvas yang biasanya ia kerjakan kini tertutup kain putih.
"Kau tidak melanjutkan lukisanmu hari ini?" tanya Haruto, mencoba memecah kesunyian.
Himari menggeleng. "Aku butuh waktu untuk berpikir."
Haruto mengangguk pelan, tetapi ia tahu ada lebih dari sekadar "butuh waktu untuk berpikir."
"Haruto," Himari akhirnya berkata, suaranya hampir berbisik. "Apa kau pernah merasa seperti ada sesuatu yang salah dengan hidupmu, tetapi kau tidak tahu apa itu?"
Pertanyaan itu membuat Haruto terdiam. Ia memandang Himari, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang tampak lelah.
"Aku rasa semua orang pernah merasa begitu," jawab Haruto akhirnya. "Tapi biasanya, itu karena kita terlalu sibuk mencari jawaban di tempat yang salah."
Himari menunduk, merenungkan kata-kata Haruto. "Kau mungkin benar. Tapi aku takut, Haruto. Takut bahwa jika aku menemukan jawabannya, aku tidak akan bisa menerima kenyataannya."
---
Malam Itu
Saat Himari pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Haruto melihat buku sketsa yang tergeletak di meja. Rasa penasaran menguasainya, dan tanpa berpikir panjang, ia membuka halaman pertama.
Yang ia temukan adalah sesuatu yang mengejutkan.
Di halaman pertama, ada gambar seorang wanita tua dengan senyum lembut di wajahnya. Haruto langsung mengenali itu sebagai nenek Himari. Namun, yang menarik perhatian Haruto adalah tulisan kecil di bawah gambar itu:
"Aku ingin melukis kenangan ini sebelum semuanya hilang."
Haruto membuka halaman berikutnya, dan gambar-gambar itu semakin membuatnya bingung. Ada sketsa Himari yang duduk sendirian di bawah pohon, Himari yang menangis di kamar gelap, dan terakhir, gambar sebuah ruangan kosong dengan sebuah kursi di tengahnya.
"Himari..." gumam Haruto.
Himari kembali ke ruangan dan langsung melihat Haruto memegang buku sketsanya. Ekspresinya berubah menjadi panik.
"Haruto! Kenapa kau membuka itu?" Himari bergegas merebut buku itu dari tangannya.
"Aku... aku hanya penasaran," kata Haruto pelan. "Himari, apa maksud semua ini? Kenapa kau melukis hal-hal seperti itu?"
Himari menggigit bibirnya, jelas terlihat gelisah. "Ini hanya... caraku mengekspresikan diriku."
"Tapi ini lebih dari sekadar ekspresi, kan?" Haruto menatapnya dengan serius. "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Himari?"
Himari terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam buku sketsa itu erat-erat, seolah itu adalah satu-satunya pelindungnya.
"Aku tidak bisa memberitahumu," katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.
"Kenapa?"
"Karena aku takut... jika kau tahu, kau tidak akan memandangku sama lagi."
Haruto terdiam mendengar kata-kata itu. Ia ingin meyakinkan Himari bahwa ia tidak akan pernah menghakiminya, tetapi ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk memaksa.
"Baiklah," kata Haruto akhirnya. "Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku ingin kau tahu, aku ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi."
Himari menatap Haruto dengan mata yang penuh emosi. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya—tidak hanya pada senyum yang ia tunjukkan, tetapi juga pada rasa sakit yang ia sembunyikan.