Himari duduk di sofa, memegang buku sketsa itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Haruto tetap berdiri di hadapannya, menatap dengan penuh perhatian, tetapi juga kebingungan.
"Himari..." Haruto akhirnya membuka suara. "Aku tidak akan memaksamu, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku di sini untukmu. Kau tidak perlu menghadapi semuanya sendirian."
Himari tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas. Setelah beberapa saat, ia menatap Haruto, matanya dipenuhi keraguan namun juga ketulusan.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan.
Haruto tersenyum lembut. "Mulailah dari apa pun yang kau rasa nyaman untuk diceritakan."
---
Kenangan Lama
Himari menghela napas panjang sebelum membuka buku sketsanya kembali. Ia menunjukkan sebuah halaman kepada Haruto, gambar seorang gadis kecil yang sedang menggenggam tangan seorang wanita tua. Wanita tua itu tersenyum hangat, sementara gadis kecil itu terlihat canggung namun bahagia.
"Itu aku dan nenek," kata Himari dengan suara bergetar. "Dia adalah orang yang paling berarti dalam hidupku."
Haruto menatap gambar itu dengan penuh perhatian. "Dia terlihat sangat menyayangimu."
Himari mengangguk pelan. "Iya, dia selalu ada untukku. Saat orangtuaku sibuk dengan pekerjaan mereka dan hampir tidak pernah ada di rumah, neneklah yang membesarkanku. Dia yang mengajarkanku melukis, dia yang membuatku merasa tidak sendirian."
Haruto merasa ada beban berat dalam suara Himari, seolah ada sesuatu yang belum ia katakan. "Tapi?"
Himari menggigit bibirnya, mencoba menahan air matanya. "Tapi dia sudah tiada. Dia meninggal dua tahun lalu. Sejak itu... semuanya berubah."
---
Rasa Kehilangan
Haruto terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kehilangan seseorang yang begitu penting jelas bukan hal yang mudah untuk dihadapi, dan ia mulai memahami mengapa Himari sering tampak memikul beban berat.
"Aku pikir aku sudah terbiasa," lanjut Himari. "Tapi kenyataannya, aku hanya berpura-pura. Pura-pura bahwa aku baik-baik saja. Pura-pura bahwa aku bisa melanjutkan hidup seperti biasa. Tapi ada banyak malam di mana aku merasa hampa... seperti aku kehilangan arah."
Haruto ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih untuk mendengarkan. Kadang, yang dibutuhkan seseorang hanyalah didengarkan, bukan diberi nasihat.
"Melukis adalah satu-satunya cara bagiku untuk merasa dekat dengannya," kata Himari. "Setiap kali aku melukis, rasanya seperti dia masih ada di sini, mengawasi dari belakangku, memujiku dengan senyum hangatnya."
---
Janji Haruto
Haruto mendekati Himari dan duduk di sampingnya. Ia menatap gadis itu dengan penuh kesungguhan. "Aku mengerti sekarang. Melukis bukan hanya hobimu, ini adalah caramu menyimpan kenangan tentang nenekmu."
Himari mengangguk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tapi aku takut, Haruto. Takut suatu hari nanti aku melupakan semua kenangan itu. Takut bahwa aku tidak bisa lagi melihat wajahnya dengan jelas dalam pikiranku."
Haruto menggenggam tangan Himari dengan lembut. "Kau tidak akan pernah melupakannya, Himari. Kenangan itu akan selalu ada di hatimu, selama kau menjaganya tetap hidup. Dan aku akan ada di sini untuk membantumu, apa pun yang terjadi."
Himari menatap Haruto dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Haruto. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak bertemu denganmu."
"Kau tidak perlu mengucapkan terima kasih," kata Haruto sambil tersenyum kecil. "Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan seorang teman."
---
Malam yang Tenang
Setelah percakapan itu, suasana menjadi lebih tenang. Himari merasa sedikit lebih lega setelah membuka hatinya, meskipun masih ada banyak hal yang belum ia ceritakan.
Malam itu, Haruto dan Himari duduk bersama di ruang tamu rumah neneknya. Himari mulai melukis lagi, sementara Haruto duduk di sampingnya, memperhatikan dengan tenang.
"Haruto," kata Himari tiba-tiba.
"Hm?"
"Terima kasih karena kau selalu ada. Aku tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikanmu, tapi aku sangat bersyukur."
Haruto tersenyum. "Kau tidak perlu membalas apa pun. Melihatmu melukis dengan senyum di wajahmu sudah cukup bagiku."
Himari terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, senyum itu terasa tulus dan penuh kehangatan.
---
Hari-hari berlalu dengan perlahan, tetapi suasana di antara Haruto dan Himari mulai berubah. Setelah Himari membuka dirinya tentang masa lalu dan buku sketsa yang menyimpan kenangan neneknya, Haruto merasa lebih dekat dengannya. Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya: bagaimana ia bisa membantu Himari untuk menemukan kembali semangat yang dulu ia miliki?
Di sekolah, rumor tentang kedekatan mereka mulai menyebar. Teman-teman sekelas mereka sering menggoda, tetapi baik Haruto maupun Himari hanya menanggapinya dengan senyum kecil.
"Aku tidak tahu kenapa mereka begitu tertarik dengan kita," keluh Haruto suatu siang saat mereka makan siang di atap sekolah.
"Mungkin karena mereka tidak pernah melihat kau dekat dengan siapa pun sebelumnya," balas Himari sambil tersenyum. "Dan kau harus mengakui, ini cukup menarik perhatian."
Haruto menghela napas, tetapi ia tidak bisa menahan senyumnya. "Kalau itu membuatmu tersenyum seperti ini, aku rasa aku tidak keberatan."
Himari terdiam sejenak, tatapannya berubah lembut. "Haruto... terima kasih. Aku merasa lebih baik sejak kau ada di sisiku."
---
Kunjungan ke Taman Sakura
Minggu berikutnya, Himari mengajak Haruto ke taman sakura di dekat rumahnya. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," katanya ketika mereka berjalan di sepanjang jalan setapak yang dipenuhi kelopak bunga sakura yang berjatuhan.
Taman itu sepi, hanya ada beberapa pasangan yang berjalan-jalan atau keluarga kecil yang duduk di atas tikar piknik. Di tengah taman, ada sebuah paviliun kecil yang dikelilingi oleh pohon sakura yang sudah tua. Himari berhenti di sana dan menunjuk ke arah langit.
"Tempat ini adalah favorit nenekku," katanya pelan. "Kami sering datang ke sini setiap musim semi untuk melihat bunga sakura mekar. Dia selalu bilang, bunga sakura adalah simbol kehidupan—indah, tapi singkat. Itulah kenapa kita harus menghargai setiap momen."
Haruto menatap Himari dengan penuh perhatian. "Itu pemikiran yang indah. Dan aku bisa melihat kenapa tempat ini begitu berarti bagimu."
Himari mengangguk. "Aku ingin melukis tempat ini. Aku ingin menyimpan keindahannya, bukan hanya dalam ingatanku, tapi juga dalam kanvasku."
---
Keputusan Himari
Setelah beberapa saat hening, Himari menoleh ke Haruto dengan ekspresi yang penuh tekad. "Haruto, aku sudah memutuskan. Aku ingin mulai melukis lagi. Bukan hanya untuk nenekku, tapi juga untuk diriku sendiri."
Haruto tersenyum lebar. "Itu keputusan yang luar biasa, Himari. Dan aku akan mendukungmu sepenuhnya."
Himari tersipu, tetapi ia terlihat lebih percaya diri daripada sebelumnya. "Tapi aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu. Kau tahu, sebagai kritikus seni pribadiku."
"Anggap saja aku sudah menerima pekerjaan itu," balas Haruto sambil tertawa kecil.
---
Awal yang Baru
Hari itu menjadi awal yang baru bagi Himari. Dengan Haruto di sisinya, ia mulai melukis kembali, mencoba menangkap keindahan taman sakura itu dalam setiap goresan kuasnya. Haruto, meskipun tidak tahu banyak tentang seni, tetap memberikan semangat dan dukungannya.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada perasaan asing yang mulai tumbuh di hati mereka berdua. Himari mulai merasa bahwa kehadiran Haruto bukan hanya sekadar teman—ia adalah seseorang yang membuatnya merasa aman dan dihargai. Sementara itu, Haruto mulai menyadari bahwa ia ingin terus melihat senyuman Himari, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Di tengah-tengah kelopak sakura yang berjatuhan, hubungan mereka perlahan tumbuh seperti bunga yang baru mulai mekar, indah namun rapuh.