Langkah Menuju Masa Depan

Sejak kunjungan mereka ke taman sakura, Himari mulai membawa buku sketsanya ke mana-mana. Ia menghabiskan waktu di berbagai tempat di sekolah, di rumah, dan bahkan di kafe kecil di dekat stasiun untuk menggambar apa saja yang menarik perhatiannya. Haruto sering menemani Himari, meskipun ia tidak banyak membantu kecuali dengan komentar-komentar seperti, "Itu bagus," atau, "Kau sangat berbakat." Namun, bagi Himari, kehadiran Haruto cukup membuatnya merasa tenang.

---

Kejadian di Kelas Seni

Hari itu, pelajaran seni di sekolah menjadi lebih menarik dari biasanya. Sensei memberikan tugas untuk membuat karya yang mencerminkan "Kenangan Berharga."

"Aku ingin kalian menggambarkan sesuatu yang bermakna bagi kalian," kata sensei. "Entah itu tempat, seseorang, atau momen tertentu. Kalian punya waktu satu minggu untuk menyelesaikannya."

Himari langsung terpikirkan taman sakura dan kenangannya bersama neneknya, tetapi ia ingin memberikan sesuatu yang lebih dari itu. Ia menatap Haruto yang duduk di sebelahnya, sibuk memandang kanvas kosong dengan ekspresi bingung.

"Kenangan berharga, ya?" gumam Haruto pelan.

"Kau akan menggambar apa?" tanya Himari penasaran.

Haruto mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Aku tidak terlalu berbakat dalam seni."

Himari tertawa kecil. "Itu bukan soal bakat. Yang penting adalah apa yang ingin kau sampaikan."

Haruto menatap Himari sejenak, lalu tersenyum. "Kalau begitu, mungkin aku akan menggambarmu."

Himari terkejut. Wajahnya memerah, dan ia berpura-pura fokus pada kanvasnya. "Jangan bercanda, Haruto."

"Aku serius," balas Haruto. "Kau adalah salah satu alasan kenapa aku punya kenangan berharga di sekolah ini."

Himari tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi hangat.

---

Hari-Hari yang Sibuk

Selama minggu itu, Haruto dan Himari sering menghabiskan waktu di ruang seni untuk menyelesaikan tugas mereka. Himari memilih untuk melukis pemandangan taman sakura dengan tambahan detail-detail kecil yang membuatnya lebih hidup—seorang gadis kecil berlarian di bawah pohon, seorang wanita tua duduk di bangku, dan kelopak-kelopak bunga yang berterbangan di udara.

Di sisi lain, Haruto berjuang dengan keterbatasan bakat seninya. Ia akhirnya memutuskan untuk menggambar sesuatu yang sederhana: dua tangan yang saling berpegangan, dengan latar belakang matahari terbenam. Meskipun gambarnya jauh dari sempurna, Haruto merasa itu cukup mewakili perasaannya.

"Kau pasti akan menertawakan ini," kata Haruto suatu sore saat mereka berjalan pulang bersama.

Himari melirik buku sketsa Haruto yang ditutup rapat. "Aku tidak akan menertawakan karya seseorang yang dibuat dengan sepenuh hati."

Haruto tersenyum kecil. "Kau terlalu baik, Himari."

---

Hari Penilaian

Saat hari penilaian tiba, semua siswa memajang karya mereka di aula sekolah. Himari merasa gugup, tetapi juga bangga dengan hasil karyanya. Lukisannya mendapat banyak pujian dari teman-teman dan sensei.

Namun, perhatian Himari beralih pada gambar Haruto. Meskipun tekniknya sederhana, gambar itu memiliki daya tarik emosional yang kuat. Himari menatap gambar itu dengan hati yang hangat.

"Ini indah, Haruto," katanya dengan tulus.

Haruto menggaruk belakang kepalanya dengan gugup. "Benarkah? Aku tidak yakin."

"Benar," Himari menegaskan. "Gambar ini terasa... jujur."

Haruto menatap Himari, lalu berkata dengan suara rendah, "Itu karena aku menggambarnya sambil memikirkan seseorang yang penting bagiku."

Himari merasakan pipinya memanas. Ia tahu apa yang dimaksud Haruto, tetapi ia tidak berani menanyakannya.

---

Kejutan dari Himari

Malam itu, Himari mengirim pesan kepada Haruto.

"Terima kasih sudah membuat hari ini begitu berarti. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi aku merasa sangat beruntung bisa mengenalmu."

Haruto membaca pesan itu berulang kali sebelum membalas.

"Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau telah memberiku alasan untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda."

Pesan itu membuat Himari tersenyum, tetapi juga membuatnya berpikir. Ada perasaan yang mulai tumbuh di hatinya, tetapi ia belum siap untuk mengakuinya—bahkan pada dirinya sendiri.

---

Sejak kunjungan mereka ke taman sakura, Himari mulai membawa buku sketsanya ke mana-mana. Ia menghabiskan waktu di berbagai tempat di sekolah, di rumah, dan bahkan di kafe kecil di dekat stasiun untuk menggambar apa saja yang menarik perhatiannya. Haruto sering menemani Himari, meskipun ia tidak banyak membantu kecuali dengan komentar-komentar seperti, "Itu bagus," atau, "Kau sangat berbakat." Namun, bagi Himari, kehadiran Haruto cukup membuatnya merasa tenang. Setiap kali mereka bersama, ada ketenangan yang sulit ia jelaskan—sebuah perasaan yang baru pertama kali ia rasakan bersama seseorang selain neneknya.

---

Kejadian di Kelas Seni

Hari itu, pelajaran seni di sekolah menjadi lebih menarik dari biasanya. Sensei memberikan tugas untuk membuat karya yang mencerminkan "Kenangan Berharga."

"Aku ingin kalian menggambarkan sesuatu yang bermakna bagi kalian," kata sensei. "Entah itu tempat, seseorang, atau momen tertentu. Kalian punya waktu satu minggu untuk menyelesaikannya."

Himari langsung terpikirkan taman sakura dan kenangannya bersama neneknya, tetapi ia ingin memberikan sesuatu yang lebih dari itu. Ia menatap Haruto yang duduk di sebelahnya, sibuk memandang kanvas kosong dengan ekspresi bingung.

"Kenangan berharga, ya?" gumam Haruto pelan.

"Kau akan menggambar apa?" tanya Himari penasaran.

Haruto mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Aku tidak terlalu berbakat dalam seni."

Himari tertawa kecil. "Itu bukan soal bakat. Yang penting adalah apa yang ingin kau sampaikan."

Haruto menatap Himari sejenak, lalu tersenyum. "Kalau begitu, mungkin aku akan menggambarmu."

Himari terkejut. Wajahnya memerah, dan ia berpura-pura fokus pada kanvasnya. "Jangan bercanda, Haruto."

"Aku serius," balas Haruto. "Kau adalah salah satu alasan kenapa aku punya kenangan berharga di sekolah ini."

Himari tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi hangat. Kata-kata Haruto itu seperti mengalir dalam pikirannya tanpa henti, membuatnya merasa bingung sekaligus terhanyut dalam perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.

---

Hari-Hari yang Sibuk

Selama minggu itu, Haruto dan Himari sering menghabiskan waktu di ruang seni untuk menyelesaikan tugas mereka. Himari memilih untuk melukis pemandangan taman sakura dengan tambahan detail-detail kecil yang membuatnya lebih hidup—seorang gadis kecil berlarian di bawah pohon, seorang wanita tua duduk di bangku, dan kelopak-kelopak bunga yang berterbangan di udara. Setiap kali ia menggoreskan kuasnya, bayangan neneknya yang tersenyum di bawah pohon sakura kembali muncul dalam benaknya.

Di sisi lain, Haruto berjuang dengan keterbatasan bakat seninya. Ia akhirnya memutuskan untuk menggambar sesuatu yang sederhana: dua tangan yang saling berpegangan, dengan latar belakang matahari terbenam. Meskipun gambarnya jauh dari sempurna, Haruto merasa itu cukup mewakili perasaannya. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam gambar itu, seolah ia menyalurkan emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

"Kau pasti akan menertawakan ini," kata Haruto suatu sore saat mereka berjalan pulang bersama.

Himari melirik buku sketsa Haruto yang ditutup rapat. "Aku tidak akan menertawakan karya seseorang yang dibuat dengan sepenuh hati."

Haruto tersenyum kecil. "Kau terlalu baik, Himari."

Di saat itu, Himari merasa perasaannya semakin terikat pada Haruto. Ia tahu, perasaan itu bukan hanya sekadar rasa terima kasih atas kebaikan Haruto yang selalu ada untuknya, tapi lebih dari itu—ada sesuatu yang lebih dalam, yang membuatnya merasa seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua saat mereka bersama. Tetapi ia masih ragu untuk mengakui perasaan itu, bahkan pada dirinya sendiri.

---

Hari Penilaian

Saat hari penilaian tiba, semua siswa memajang karya mereka di aula sekolah. Himari merasa gugup, tetapi juga bangga dengan hasil karyanya. Lukisannya mendapat banyak pujian dari teman-teman dan sensei. Namun, meskipun ia merasa senang, pikirannya terus melayang ke gambar yang dibuat oleh Haruto. Di balik kesederhanaan teknik yang digunakan, gambar itu memiliki daya tarik emosional yang kuat. Setiap detailnya, meskipun kasar, terasa begitu nyata. Terutama dua tangan yang saling berpegangan—itu adalah gambaran dari ikatan, dari kedekatan yang mereka miliki, meskipun tak ada kata yang terucap.

Himari menatap gambar itu dengan hati yang hangat. "Ini indah, Haruto," katanya dengan tulus.

Haruto menggaruk belakang kepalanya dengan gugup. "Benarkah? Aku tidak yakin."

"Benar," Himari menegaskan. "Gambar ini terasa... jujur."

Haruto menatap Himari, lalu berkata dengan suara rendah, "Itu karena aku menggambarnya sambil memikirkan seseorang yang penting bagiku."

Himari merasakan pipinya memanas. Ia tahu apa yang dimaksud Haruto, tetapi ia tidak berani menanyakannya. Hatinya terasa berdebar, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan ketegangan di antara mereka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu yang lebih, namun ia takut jika mengungkapkannya, segala sesuatu yang mereka miliki akan berubah.

---

Kejutan dari Himari

Malam itu, Himari mengirim pesan kepada Haruto.

"Terima kasih sudah membuat hari ini begitu berarti. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi aku merasa sangat beruntung bisa mengenalmu."

Haruto membaca pesan itu berulang kali sebelum membalas.

"Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau telah memberiku alasan untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda."

Pesan itu membuat Himari tersenyum, tetapi juga membuatnya berpikir. Ada perasaan yang mulai tumbuh di hatinya, tetapi ia belum siap untuk mengakuinya—bahkan pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia begitu dekat dengan Haruto, tetapi masih merasa begitu banyak ketidakpastian? Ia tahu bahwa perasaan itu ada, tapi apakah Haruto merasakannya juga?

Namun, semakin sering ia bersama Haruto, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan itu. Setiap senyum Haruto, setiap kata yang ia ucapkan, membuatnya merasa seperti dunia ini lebih cerah. Dalam hati, Himari merasa seolah-olah langkah mereka berdua menuju masa depan sedang dimulai, meskipun ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil langkah besar itu.

---

Langkah Menuju Masa Depan

Beberapa hari kemudian, Himari berdiri di depan pintu kelas seni, menggenggam buku sketsa dengan erat. Pikirannya kembali teringat pada percakapan terakhir dengan Haruto. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan persahabatan. Ia merasa ada ikatan yang lebih kuat, yang tak bisa dihindari lagi. Setiap kali ia melihat Haruto, hatinya berdebar kencang, dan ia tahu, itu bukan hanya karena kedekatan mereka sebagai teman.

Saat Haruto muncul di belakangnya, Himari berbalik. "Kau sudah selesai dengan tugas lainnya?" tanya Himari, mencoba menutupi kegugupannya.

Haruto mengangguk sambil tersenyum. "Iya, dan aku pikir... aku akan mulai belajar lebih banyak soal seni. Mungkin bisa jadi hal yang menarik untukku."

Himari tersenyum senang. "Aku yakin, kamu bisa. Kau punya potensi."

Haruto berjalan lebih dekat dan berdiri di samping Himari. "Terima kasih, Himari. Aku merasa seperti bisa melihat masa depan yang lebih cerah sekarang. Kau membuatku merasa bahwa ada lebih banyak hal yang bisa aku capai."

Himari merasakan jantungnya berdebar. Kata-kata Haruto itu menyentuh hatinya. Ia merasa bahwa meskipun langkah-langkah kecil ini terasa begitu biasa, mereka sedang berjalan ke arah yang lebih besar. Tidak hanya tentang seni, tapi tentang perasaan yang perlahan tumbuh di antara mereka berdua. Himari tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang akan membawa mereka menuju masa depan, bersama-sama.

Dan meskipun perasaan itu masih sulit untuk diungkapkan, Himari merasa siap untuk melangkah maju—untuk mengejar apa yang sudah tumbuh di dalam hatinya, bersama Haruto, di sampingnya.