My Angel

"Maaf, ini dengan siapa?" tanya Ardi.

"Saya Bripda Andi Arifin, mohon maaf dengan bapak siapa saya bicara?"

"Iptu Rifki Ardiansyah," jawab Ardi. "Ibu dibawa kemana?"

"Siap. Rumah sakit Harapan, Bang."

"Baik, saya segera kesana."

"Siap, bang.."

Ardi meletakkan handphone, ia memandang Trisya.

"Ada apa? Telpon dari siapa, bang? Wajahmu kenapa seperti itu?" tanya Trisya.

"Telpon dari polisi yang menangani lakalantas. Katanya .. Mama mengalami kecelakaan dengan mobil truk. Mama meninggal di tempat."

Trisya terdiam.

"Yang..?" panggil Ardi.

"Handphoneku tolong, bang. Aku mau telpon mama."

"Mereka mendapat nomor kamu dari handphone mama sayang."

"Itu mungkin penipu.." ucap Trisya. "Masa kau tidak paham, bang.? Nanti ujung-ujungnya minta uang. Aku harus telpon mama untuk memastikannya."

Ardi menatap Trisya. Wanita itu akhirnya terdiam. Lama ia tak bersuara hingga akhirnya berkata..

"Dia mana mungkin meninggal."

Suara Trisya bergetar, ada airmata menggantung disudut matanya.

"Perempuan itu.. Tak ada yang bisa menumbangkannya. Bahkan pernah kubuat sehancur hancurnya, tapi dia masih bisa berdiri kokoh dan berjalan seakan tak pernah ada yang terjadi. seterluka apapun tak bisa membuat dia sakit. Mana mungkin dia bisa meninggal begitu saja. Si penelpon pastilah orang yang sedang membuat tipuan jahat untuk mendapatkan uang. Aku harus telpon papa. Biar papa mencari orang itu dan menangkapnya."

Ardi mengulurkan tangannya memeluk Trisya.

"Jika menangis bisa membuatmu lega.. lepaskan saja tangisnya, sayang.." bisik Ardi.

Trisya diam, dan beberapa saat kemudian tangis wanita itupun pecah.

"Dia memang pembohong! Dia hanya bisa membuat aku sakit hati setelah melontarkan janji! Dia selalu membuat janji palsu untukku!" teriak Trisya. Mana janjinya yang mau mengadakan acara 7 bulan untukku?? Mana katanya yang mau menemani aku persalinan? KENAPA DIA TAK PERNAH BERHENTI MENYAKITIKU! Jika dia memang tak menyukaiku, kenapa membiarkan aku tumbuh menjadi seperti hari ini?? Pantas saja 2 bulan terakhir ini dia terlihat baik! Ternyata dia hanya ingin membalas sakit hatinya padaku!"

Ardi mengelus-elus kepala Trisya.

"Mama bukan sedang membohongimu. Mama hanya tak bisa melawan takdir yang sudah digariskan Tuhan, sayang.."

"Kenapa takdirku harus seperti ini?" jerit Trisya.

***

Seorang wanita berhijab berusia 48 tahun menghampiri Ardi. Bu Dian adalah ibunya Ardi.

"Apa yang terjadi?"

"Mamanya Trisya meninggal akibat kecelakaan. Tadinya aku yang akan pergi ke rumah sakit karena papa Richard sedang ke Denpasar. Tapi Trisya ngotot ingin ikut. Akhirnya kami pergi bersama. Sesampai disana dan setelah melihat mamanya, tiba-tiba Trisya menjerit histeris. Mungkin dia tidak sanggup melihat kondisi mama. Lalu mendadak dia kontraksi dan air ketuban juga sudah pecah. Dokter menyarankan untuk segera dilakukan tindakan persalinan.."

"Dia mungkin sangat terpukul karena ibunya meninggal dengan cara seperti itu."

Bu Dian mengikuti Ardi masuk ke ruangan dimana Trisya dirawat.

"Tidur?"

"Iya.."

"Anakmu dimana?"

"Masih di inkubator.."

Bu Dian menghampiri tempat tidur.

Trisya membuka matanya.

"Ibu? Kapan datang?"

"Baru saja," bu Dian mencium pipi Trisya. "Selamat ya nak.. Sudah jadi ibu."

"Tapi mama.."

Bu Dian memeluk Trisya.

"Tidak apa-apa.. Ada ibu yang akan menemanimu menjaga anakmu."

"Aku bahkan belum sempat minta maaf atas semua salahku pada mama.." tangis Trisya.

"Mama kamu sudah memaafkanmu. Dan kamu pun harus memaafkan mama agar jalannya mama baik."

***

3 bulan kemudian...

"Rindu sama ibu.." Safa mahasiswa Trisya memeluknya.

"Vina tidak bisa ikut, bu. . Papinya habis operasi" ucap Rani.

"Saya belum sempat melihat Vina.."

"Vina kirim salam, katanya sehat ya ibu dan bayi," ucap Rafi yang baru masuk sambil meletakkan makanan di meja.

"Apa ini, Rafi?"

"Mereka semua ini, tukang makan bu.. Jadi harus bawa makanan sendiri, biar tidak merepotkan ibu.."

Trisya tersenyum.

"Tidak apa-apa, kalau makan kan tinggal pesan saja.. Ngapain kalian harus cari keluar."

"Nanti kalau pesan online, pasti ibu yang bayar.." ucap Rani. "Jangan mau, bu.."

"Siapa yang mau bayarin kalian? Sekarang tidak bisa suka-suka lagi mentraktir kalian.. dulu gaji saya utuh, kalau mau minta uang sama papa. Sekarang sama suami. Harus bisa memanage uang.." Trisya tertawa.

"Ah, rindunya sama ibu.." Rani memeluk Trisya.

"Aku tidak boleh memeluk ibu?" tanya Rafi. "Suami ibu tidak ada kan?"

"Kau ini.." Geri mendorong Rafi sambil tertawa.

"Aku kan juga ingin dapat pelukan..Kau juga kan geri?"

"kemarilah.." kat Trisya sambil merentangkan tangan merangkul Rafi dan Geri. "Kalian semua harus lulus sarjana bersama ya?"

"Kabarnya ibu mau resign. Kami akan merindukan ibu kalau ibu benar resign.." Safa dan Rani ikut memeluk Trisya.

"Tidak ada resign sampai kalian semua lulus," janji Trisya.

"Yang.." Ardi tak melanjutkan ucapannya saat masuk.

"Eh, abang sudah pulang?" tanya Trisya.

"Dari papa.." Ardi memberikan bungkusan pada Trisya.

"Pak.." sapa Geri.

Ardi tersenyum sembari mengangkat telponnya.

"Hallo.. Sudah di rumah. Oh.. Ok, aku kesana."

Ia memandang Trisya yang langsung menghela nafas.

"Pergilah.. Aku tidak akan bertanya pulang jam berapa," ucap Trisya. "Yang penting abang hati-hati, ingat kami menunggu pulang.."

"Ok.." Ardi meninggalkan rumah.

"Ibu, kalau punya papa polisi.. Menantu juga polisi ya bu? Mantan ibu juga polisi kan?" tanya Rani. "Bapak satlantas yang ganteng itu.."

Trisya tersenyum.

"Kebetulan suami anggotanya papa saya.. Saya cinlok karena sering dijaga oleh dia," jawab Trisya.

"Tapi keren bu, Dasi merah.." kata Safa.

"Kata pak Toni sama pak Jamil, suami ibu galak.. Masih pacaran aja sudah galak. kata mereka.. Pernah ibu katanya terlambat, bapak langsung marah."

"Kalian keterlaluan sekali mengghibahkan saya," Trisya tertawa.

"Ada orang di depan bu," kata Rafi yang baru masuk dari membuang sampah . "Pake motor.. Tapi pergi ketika saya lihat dia pergi."

"Kamu tidak lihat wajahnya?"

"Pakai helm.. jacket hitam."

"Tolong handphone saya, Ran.." kata Trisya.

Rani meraih handphone Trisya.

"Terimakasih.." Trisya segera menelpon Ardi.

"Ya, ada apa sayang?"

"Abang dimana?"

"Diluar sama team."

"Ada yang datang tadi, pake motor, jacket hitam dan helm.. Tapi karena rafi diluar dia langsung pergi."

"Ok, kalau mahasiswa sudah pulang kunci saja pintu, jangan keluar rumah sampai abang pulang."

"Iya".

***

"Abang masih lama pulangnya? " tanya Trisya.

"Kenapa, Sayang?"

"Anak ini dari tadi nangis terus.."

"Ini mau jalan pulang.. Sabar ya?"

"Di.. Ayo," panggil Dika. "Yang lain sudah siap."

"Aku langsung pulang, Dik. Tak bisa ikut.." Ardi mengikuti Dika keluar.

"Loh, kenapa?" tanya Azam.

"Anakku rewel sekali, bang.. Dari tadi menangis terus. Kasian Trisya, sudah kebingungan dia. Di rumah gak ada siapa-siapa. Dia sendirian.."

"Ibumu?"

"Sudah pulang, bang.. Kakakku sakit, jatuh dari motor."

"Oh, ya sudah. Hati-hati".

"Yuk, semua.." pamit Ardi sambil segera masuk ke dalam mobil dan berlalu.

Sesampai di rumah..

"Terserahmu kalau mau menangis! Aku capek!" terdengar suara Trisya dari dalam kamar.

"Yang.." panggil Ardi sambil membuka pintu kamar.

Trisya terlihat duduk di lantai sambil menangis, sementara si bayi juga menangis dalam box.

Ardi menggendong si bayi.

"Kenapa dibiarkan?" tanya Ardi.

"Aku capek! Dari tadi menangis terus! popok sudah aku ganti, tidak basah.. sudah disusui beberapa kali, masih nangis juga!" gerutu Trisya. "Diletakkan di ayunan nangis! Mintanya digendong terus! Tanganku sudah pegal! Capek!"

"Dia haus ini.."

"Abang saja yang kasih! Aku capek! Anak lelaki kok cengeng! Masih bagus tidak ku.."

Ardi menutup mulut Trisya.

"Bicara yang baik-baik saja," tegur Ardi halus.

Trisya diam, memandangi si bayi yang diserahkan Ardi ke pangkuannya.

"Tidak boleh marah dan kasar ke anak.." Ardi membelai kepala Trisya.

"Tidak boleh menangis juga di dekat anak.."

Trisya mengusap air matanya, disusuinya bayi kecil itu sembari mengusap kepalanya.

"Lihat, dia harusnya bisa membuatmu tersenyum bahagia.. Bangga memiliki dia."

"Wajahnya mirip sekali denganmu ya bang?"

"100 persen mirip ya," jawab Ardi.

Trisya tersenyum sambil kembali mengusap kepala Arsya.

"Bang," panggil Trisya.

"Ya.."