3 bulan kemudian...
"Rindu sama ibu.." Safa mahasiswa Trisya memeluknya.
"Vina tidak bisa ikut, bu. . Papinya habis operasi" ucap Rani.
"Saya belum sempat melihat Vina.."
"Vina kirim salam, katanya sehat ya ibu dan bayi," ucap Rafi yang baru masuk sambil meletakkan makanan di meja.
"Apa ini, Rafi?"
"Mereka semua ini, tukang makan bu.. Jadi harus bawa makanan sendiri, biar tidak merepotkan ibu.."
Trisya tersenyum.
"Tidak apa-apa, kalau makan kan tinggal pesan saja.. Ngapain kalian harus cari keluar."
"Nanti kalau pesan online, pasti ibu yang bayar.." ucap Rani. "Jangan mau, bu.."
"Siapa yang mau bayarin kalian? Sekarang tidak bisa suka-suka lagi mentraktir kalian.. dulu gaji saya utuh, kalau mau minta uang sama papa. Sekarang sama suami. Harus bisa memanage uang.." Trisya tertawa.
"Ah, rindunya sama ibu.." Rani memeluk Trisya.
"Aku tidak boleh memeluk ibu?" tanya Rafi. "Suami ibu tidak ada kan?"
"Kau ini.." Geri mendorong Rafi sambil tertawa.
"Aku kan juga ingin dapat pelukan..Kau juga kan geri?"
"kemarilah.." kat Trisya sambil merentangkan tangan merangkul Rafi dan Geri. "Kalian semua harus lulus sarjana bersama ya?"
"Kabarnya ibu mau resign. Kami akan merindukan ibu kalau ibu benar resign.." Safa dan Rani ikut memeluk Trisya.
"Tidak ada resign sampai kalian semua lulus," janji Trisya.
"Yang.." Ardi tak melanjutkan ucapannya saat masuk.
"Eh, abang sudah pulang?" tanya Trisya.
"Dari papa.." Ardi memberikan bungkusan pada Trisya.
"Pak.." sapa Geri.
Ardi tersenyum sembari mengangkat telponnya.
"Hallo.. Sudah di rumah. Oh.. Ok, aku kesana."
Ia memandang Trisya yang langsung menghela nafas.
"Pergilah.. Aku tidak akan bertanya pulang jam berapa," ucap Trisya. "Yang penting abang hati-hati, ingat kami menunggu pulang.."
"Ok.." Ardi meninggalkan rumah.
"Ibu, kalau punya papa polisi.. Menantu juga polisi ya bu? Mantan ibu juga polisi kan?" tanya Rani. "Bapak satlantas yang ganteng itu.."
Trisya tersenyum.
"Kebetulan suami anggotanya papa saya.. Saya cinlok karena sering dijaga oleh dia," jawab Trisya.
"Tapi keren bu, Dasi merah.." kata Safa.
"Kata pak Toni sama pak Jamil, suami ibu galak.. Masih pacaran aja sudah galak. kata mereka.. Pernah ibu katanya terlambat, bapak langsung marah."
"Kalian keterlaluan sekali mengghibahkan saya," Trisya tertawa.
"Ada orang di depan bu," kata Rafi yang baru masuk dari membuang sampah . "Pake motor.. Tapi pergi ketika saya lihat dia pergi."
"Kamu tidak lihat wajahnya?"
"Pakai helm.. jacket hitam."
"Tolong handphone saya, Ran.." kata Trisya.
Rani meraih handphone Trisya.
"Terimakasih.." Trisya segera menelpon Ardi.
"Ya, ada apa sayang?"
"Abang dimana?"
"Diluar sama team."
"Ada yang datang tadi, pake motor, jacket hitam dan helm.. Tapi karena rafi diluar dia langsung pergi."
"Ok, kalau mahasiswa sudah pulang kunci saja pintu, jangan keluar rumah sampai abang pulang."
"Iya".
***
"Abang masih lama pulangnya? " tanya Trisya.
"Kenapa, Sayang?"
"Anak ini dari tadi nangis terus.."
"Ini mau jalan pulang.. Sabar ya?"
"Di.. Ayo," panggil Dika. "Yang lain sudah siap."
"Aku langsung pulang, Dik. Tak bisa ikut.." Ardi mengikuti Dika keluar.
"Loh, kenapa?" tanya Azam.
"Anakku rewel sekali, bang.. Dari tadi menangis terus. Kasian Trisya, sudah kebingungan dia. Di rumah gak ada siapa-siapa. Dia sendirian.."
"Ibumu?"
"Sudah pulang, bang.. Kakakku sakit, jatuh dari motor."
"Oh, ya sudah. Hati-hati".
"Yuk, semua.." pamit Ardi sambil segera masuk ke dalam mobil dan berlalu.
Sesampai di rumah..
"Terserahmu kalau mau menangis! Aku capek!" terdengar suara Trisya dari dalam kamar.
"Yang.." panggil Ardi sambil membuka pintu kamar.
Trisya terlihat duduk di lantai sambil menangis, sementara si bayi juga menangis dalam box.
Ardi menggendong si bayi.
"Kenapa dibiarkan?" tanya Ardi.
"Aku capek! Dari tadi menangis terus! popok sudah aku ganti, tidak basah.. sudah disusui beberapa kali, masih nangis juga!" gerutu Trisya. "Diletakkan di ayunan nangis! Mintanya digendong terus! Tanganku sudah pegal! Capek!"
"Dia haus ini.."
"Abang saja yang kasih! Aku capek! Anak lelaki kok cengeng! Masih bagus tidak ku.."
Ardi menutup mulut Trisya.
"Bicara yang baik-baik saja," tegur Ardi halus.
Trisya diam, memandangi si bayi yang diserahkan Ardi ke pangkuannya.
"Tidak boleh marah dan kasar ke anak.." Ardi membelai kepala Trisya.
"Tidak boleh menangis juga di dekat anak.."
Trisya mengusap air matanya, disusuinya bayi kecil itu sembari mengusap kepalanya.
"Lihat, dia harusnya bisa membuatmu tersenyum bahagia.. Bangga memiliki dia."
"Wajahnya mirip sekali denganmu ya bang?"
"100 persen mirip ya," jawab Ardi.
Trisya tersenyum sambil kembali mengusap kepala Arsya.
"Bang," panggil Trisya.
"Ya.."
"Mama apa sepanik ini juga dulu waktu sendirian mengurusku saat bayi?" tanya Trisya.
Ardi memandang Trisya.
"Saat aku lahir, papa maulana sedang tergila-gila pada wanita lain. Dia tak pernah menemani mama menjagaku mulai sejak aku dalam kandungan.. Dia malah meninggalkan mama saat usiaku 1 bulan," ucap Trisya. "Mungkin aku juga serewel ini, sampai mama bilang.. dia membenciku sejak lahir."
"Mama tidak membencimu.. Mama membenci hidupnya."
"Aku jauh lebih beruntung dibanding mama.. Meski abang jarang bisa menemaniku, tapi abang ada saat aku sakit, saat aku melahirkan.. Membantuku menjaga Arsya.. Mama tidak punya siapa-siapa saat capek.."
"Sini.." Ardi meraih Arsya yang sudah tidur dari pangkuan Trisya, mengembalikannya ke dalam box.
Ardi duduk disamping Trisya, merangkul kepala Trisya agar bersandar dibahunya.
"Mama.. Menitipkanmu pada abang." ungkap Ardi.
"Masa?"
"Malam sehari sebelum kita menikah, mama menghubungi abang. Abang masih menyimpan VN mama.."
"Artinya kau tahu mama ingin membunuh papa dan memintaku pergi membawa Aldo?"
Ardi tak menjawab,mengeluarkan handphonenya dan membuka galeri Audio.
"Ardi, saya tahu kamu orang baik, saya percaya kamu bisa menjaga Trisya.. Kenapa saya tidak minta Robby? Dia tidak cukup mampu melakukannya. Cinta saja tak cukup untuk membuat Trisya menemukan hidupnya," bunyi VN dari Ariana.
Trisya memandang Ardi.
"Mama memintamu menjagaku?"
"Ya.."
Trisya memutar audio lainnya.
"Aku ibu kandungnya. wanita yang melahirkannya dan membuat hidupnya hancur.. Aku belum melakukan apapun untuknya. Menebus kesalahanku. Saat ia membalas kejahatanku dengan merampas suamiku...Aku malah memarahi dan memusuhinya. Bukannya koreksi diri. Aku malah memakinya sebagai wanita simpanan ayah tirinya. Aku bukannya menghentikan kesalahan itu malah terus mencaci anakku. Maka besok harus bisa membuat hidup Trisya berwarna lagi.. Orang yang sudah dengan kejam membelenggu dunia putriku, besok takkan lagi bisa melihat matahari tenggelam."
Trisya memandang Ardi.
"Kau tahu kalau mama mau membunuh papa hari itu, bang?"
Ardi tak menjawab.
"Bang!" panggil Trisya.
"Ya.."
"Papa?"
"Tahu.."
"Papa tidak melakukan apapun pada mama?"
"Tidak.. papa tahu dia salah."
Trisya menundukkan kepalanya. Sesaat kemudian tangisnya pecah.
"Aku bahkan tak pernah minta maaf padanya. Aku masih menantangnya di pertemuan terakhir kami itu. Dan saat mama terus memperhatikanku setelah menikah denganmu. Aku tetap saja tak meminta maaf."
Ardi memeluk Trisya, mengusap-usap punggungnya.
"Ibumu sesungguhnya sangat mencintaimu.. tapi dia tak tahu cara mengungkapkannya.. Yang keluar justru caci maki," bisik Ardi. "Dia tak ingin kamu jadi wanita yang lemah, dia ingin kamu menjadi wanita tangguh.. Agar bisa bertahan hidup. Agar tak ada yang menyakitimu.."