Bab 21

Yuna menatap sekeliling kamar dengan takjub. Ia masih belum percaya dengan apa yang ia lihat. Kamar itu sangat mewah dan elegan, dengan furnitur berukir indah dan dekorasi yang mewah. Ia tidak pernah melihat kamar seindah ini sebelumnya.

"Ini rumah Yuki," kata Nana dengan senyum lembut.

Yuna terkejut. "Apa?" tanyanya dengan tidak percaya. "Rumah Yuki?"

Nana mengangguk. "Iya, sayang. Ini rumah Yuki."

Yuna semakin bingung. Ia mengingat kejadian penculikan dan penembakan yang menimpanya. Ia meraba tubuhnya dan menyadari bahwa ia tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak ada luka atau bekas tembakan di tubuhnya.

"Tapi... aku kan ditembak," kata Yuna dengan heran. "Bagaimana mungkin tubuhku tidak apa-apa?"

Nana tersenyum. "Yuki yang menyembuhkanmu, Yuna."

Yuna tercengang. Ia menatap Yuki yang sedang duduk di sofa dengan tatapan penuh kekaguman. Ia tidak menyangka Yuki memiliki kemampuan untuk menyembuhkan luka tembak.

"Bagaimana bisa?" tanya Yuna dengan penuh keingintahuan.

Yuki tersenyum tipis. "Itu tidak penting, Yuna. Yang penting sekarang adalah kau sudah selamat."

Ia lalu berkata pada Yuna, "Sebaiknya kau mandi dan berganti pakaian. Kau pasti lelah dan kotor setelah mengalami kejadian itu."

Nana mengangguk setuju. "Iya, Yuna. Kau bisa memakai pakaianku dulu."

Yuna tersenyum dan berterima kasih pada Nana. Ia pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Yuki melihat Yuna masuk ke kamar mandi, lalu ia berpamitan pada Nana.

"Nana, aku pergi ke kamarku dulu," kata Yuki.

"Baiklah, Yuki," jawab Nana.

Yuki pun keluar dari kamar tamu dan menuju ke kamarnya sendiri. Ia ingin memberikan waktu untuk Nana dan Yuna berbicara berdua.

Nana menunggu Yuna di kamar tamu. Ia ingin menghibur Yuna dan membuat gadis itu merasa lebih nyaman. Ia juga ingin menjelaskan lebih lanjut tentang Yuki dan kemampuan istimewa yang dimilikinya.

Uap air hangat mengepul dari kamar mandi, membawa aroma sabun dan shampo yang harum. Yuna keluar dengan handuk melilit tubuhnya, rambut basahnya tergerai indah. Ia mengenakan baju tidur milik Nana yang terasa sedikit kebesaran di tubuhnya, namun tetap terlihat cantik dan menggemaskan.

Ia melangkah keluar kamar mandi dan menemukan Nana sedang duduk di sofa, menunggunya. Yuna menghampiri Nana dan duduk di sampingnya.

"Kak Nana," panggil Yuna dengan suara pelan.

Nana menoleh dan tersenyum pada Yuna. "Ya, Yuna?"

"Sebenarnya... siapa Kak Yuki?" tanya Yuna dengan penuh penasaran.

Nana terdiam sejenak. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Yuna tanpa izin dari Yuki.

"Maaf, Yuna," kata Nana dengan lembut. "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Biar Yuki saja yang menjelaskannya padamu."

Yuna mengangguk mengerti. Ia tidak ingin memaksa Nana.

Nana menatap Yuna dengan tatapan serius. "Yuna, apa kau masih mencintai Yuki?" tanyanya tiba-tiba.

Yuna terkejut mendengar pertanyaan Nana. Wajahnya memerah, dan ia menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Ti-tidak, Kak," jawab Yuna dengan gugup.

Nana tahu Yuna berbohong. Ia bisa melihat kesedihan di mata gadis itu.

"Yuna, jujurlah padaku," kata Nana dengan lembut. "Aku tahu kau masih mencintai Yuki."

Yuna tidak bisa menahan perasaannya lagi. Ia menangis dan memeluk Nana dengan erat.

"Aku masih mencintainya, Kak," isak Yuna. "Aku hancur ketika mendengar Kakak menikah dengan Kak Yuki. Aku mencoba untuk tegar, tapi aku tidak bisa."

Nana mengusap punggung Yuna dengan lembut. Ia bisa merasakan kesedihan Yuna.

"Yuna," kata Nana tiba-tiba, "bagaimana jika Kakak merasa senang seandainya Yuki menikahimu juga?"

Yuna melepaskan pelukannya dan menatap Nana dengan tidak percaya. "Tidak mungkin, Kak!" seru Yuna. "Aku tidak mau merusak kebahagiaan Kakak dengan Kak Yuki."

"Tapi..." Nana mencoba menjelaskan.

"Tidak, Kak," potong Yuna dengan tegas. "Aku tidak mau mendengarnya. Aku menghargai keputusan Kakak dan Kak Yuki. Aku akan mencoba untuk melupakan perasaanku pada Kak Yuki."

"Tapi, Yuna..." Nana menatap Yuna dengan tatapan tulus. "Bagaimana jika dengan begitu kita bisa berteman selamanya?"

Yuna terdiam, pikirannya kacau. Ia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia masih mencintai Yuki. Di sisi lain, ia tidak ingin merusak hubungan Nana dan Yuki.

Melihat kebingungan Yuna, Nana tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Yuna. Kau tidak perlu menjawab sekarang. Pikirkanlah baik-baik."

Nana kemudian berpamitan pada Yuna. "Aku mau menemui Yuki dulu," katanya.

Nana pun beranjak dari sofa dan keluar dari kamar tamu. Ia meninggalkan Yuna yang masih terdiam dengan pikiran yang kacau.

Nana menemukan Yuki di balkon kamar mereka. Yuki sedang bersandar di pagar balkon, menatap pemandangan kota Tokyo yang gemerlap. Wajahnya tampak tenang dan teduh.

"Yuki," panggil Nana dengan lembut.

Yuki menoleh dan tersenyum melihat Nana. "Hai, sayang. Bagaimana kabar Yuna?"

"Dia jauh lebih baik," jawab Nana sambil mendekat dan bersandar di sisi Yuki. "Dia sudah lebih tenang sekarang."

Mereka berdua menikmati keheningan malam sejenak, hanya ada suara gemerisik daun dan klakson mobil yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

"Yuki," Nana kembali bersuara, "Yuna itu cantik, ya?"

Yuki mengerutkan keningnya. Ia sedikit bingung kenapa Nana tiba-tiba membicarakan kecantikan Yuna.

"Iya, Yuna memang cantik," jawab Yuki dengan jujur.

Nana menatap Yuki dengan tatapan menyelidik. "Apa kamu menyukai Yuna?" tanyanya dengan nada sedikit gugup.

Yuki tertawa kecil mendengar pertanyaan Nana. Ia mencubit pipi Nana dengan gemas.

"Bodoh," kata Yuki dengan sayang. "Aku sudah punya istri yang cantik. Mana mungkin aku menyukai wanita lain?"

Nana tersenyum dan memeluk Yuki dengan erat. "Aku senang mendengarnya."

Ia kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Yuki dengan tatapan serius.

"Yuki, aku ingin Yuna menjadi bagian dari keluarga kita," kata Nana dengan mantap.

Yuki terkejut mendengar perkataan Nana. "Apa maksudmu, sayang?"

"Aku ingin kamu menikahi Yuna juga," jawab Nana dengan tegas.

Yuki tercengang. Ia tidak menyangka Nana akan meminta hal seperti itu. Ia menatap Nana dengan tatapan tidak percaya.

"Nana, apa kau serius?" tanya Yuki dengan hati-hati.

Nana mengangguk. "Iya, Yuki. Aku serius."

Yuki terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan Nana yang tak terduga itu.

Yuki menatap Nana dengan tatapan penuh kebingungan. Ia tidak menyangka Nana akan memintanya untuk menikahi Yuna.

"Sayang, Yuna memang cantik, dan banyak laki-laki yang menginginkannya," kata Yuki dengan lembut. "Tapi aku benar-benar tidak menyukai Yuna."

Nana mengerucutkan bibirnya, sedikit kecewa dengan jawaban Yuki.

"Kamu selalu mengabulkan permintaanku," kata Nana dengan nada sedikit merajuk. "Kenapa sekarang kamu sangat susah untuk mengabulkannya?"

Yuki menghela napas panjang. Ia bisa melihat bahwa Nana sangat serius dengan permintaannya. Ia menatap Nana dengan tatapan penuh cinta dan kepedulian.

"Sayang, aku mengerti keinginanmu," kata Yuki dengan lembut. "Tapi untuk sekarang ini, kita sebaiknya fokus pada siapa yang ingin mencelakai Yuna. Kita harus mencari tahu siapa dalang di balik penculikan ini dan menghentikannya."

Yuki menjeda sejenak, lalu melanjutkan, "Untuk masalah permintaanmu, kita tunda dulu, ya? Aku tidak mau menikah dengan orang yang aku tidak cintai. Itu tidak adil untuk Yuna maupun diriku sendiri."

Nana terdiam sejenak, memikirkan perkataan Yuki. Ia mengerti kekhawatiran Yuki. Ia pun mengangguk setuju.

"Baiklah, Yuki," kata Nana dengan suara pelan. "Aku mengerti."

Meskipun ia menyetujui penundaan itu, Nana tidak akan menyerah begitu saja. Ia memiliki rencana lain. Ia akan membuat Yuki jatuh cinta pada Yuna. Ia yakin jika Yuki mengenal Yuna lebih dekat, Yuki pasti akan menyukai gadis itu.

Aku akan membuat Yuki jatuh cinta pada Yuna, batin Nana dengan tekad yang kuat. Dan saat itu tiba, aku akan meminta Yuki untuk menikahinya.