"Pagi yang indah, ya?" sapa Nana, menghirup udara segar pagi hari.
Yuki tersenyum, menatap Nana dengan penuh cinta. "Apalagi bersamamu," balasnya lembut.
Tiba-tiba, pintu mobil Airi terbuka dan muncul Airi dan Yumi dengan senyum ceria. Nana memperhatikan Airi yang terlihat sangat bersemangat, berbeda dengan biasanya.
"Kamu terlihat bahagia sekali, Airi," kata Nana dengan penasaran.
Yumi, yang duduk di kursi pengemudi, menjawab dengan nada menggoda, "Airi sedang jatuh cinta, Nana."
Nana terkejut. "Benarkah? Dengan siapa?"
Airi tersipu malu dan menundukkan kepalanya. "Ah, sudahlah, Yumi. Jangan bicara sembarangan."
Yumi tertawa kecil. "Kenapa harus dirahasiakan? Kamu kan sudah dewasa, Airi. Tidak ada salahnya jatuh cinta."
Nana semakin penasaran. Ia menatap Airi dengan tatapan menyelidik. "Ayo, Airi, ceritakan padaku. Siapa pria yang beruntung itu?"
Airi menghela napas panjang. Ia tidak bisa menghindari pertanyaan Nana dan Yumi lagi.
"Baiklah, baiklah," kata Airi dengan pasrah. "Aku akan menceritakannya. Tapi kalian harus berjanji untuk merahasiakannya."
Nana dan Yumi mengangguk dengan antusias. Mereka sudah tidak sabar ingin mendengar cerita Airi.
Airi pun mulai bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pria di acara makan malam di rumah Daisuke Kobayashi. Pria itu adalah... Say Uchida, CEO NY Corp.
Nana dan Yumi terkejut mendengar cerita Airi. Mereka tidak menyangka Airi menaruh hati pada Sai.
"Sai? CEO NY Corp?" tanya Nana dengan tidak percaya.
"Iya," jawab Airi dengan malu-malu. "Dia pria yang sangat menarik. Dia cerdas, berwibawa, dan... tampan."
Yumi tersenyum menggoda. "Wah, Airi, kau memiliki selera yang tinggi."
Airi tersipu malu. "Ah, sudahlah. Jangan mengejekku."
Nana merasa senang untuk Airi. Ia tahu Airi sudah lama menyendiri setelah kejadian dengan Kazuya. Ia berharap Airi bisa menemukan kebahagiaan bersama Sai.
"Aku senang untukmu, Airi," kata Nana dengan tulus. "Semoga kau bahagia dengan Sai."
Airi tersenyum dan memeluk Nana. "Terima kasih, Nana."
Yuki, yang selama ini diam mendengarkan cerita Airi, tersenyum kecil. Ia merasa ada sesuatu yang ironis dalam situasi ini. Airi menaruh hati pada Sai, CEO NY Corp, sementara ia adalah pemilik sebenarnya dari perusahaan itu. Ia penasaran bagaimana reaksi Airi jika mengetahui kebenaran tentang identitasnya.
Mobil sport ungu milik Nana meluncur mulus di jalanan kota Tokyo, membawa Nana dan Yuki pulang dari kampus. Mereka asyik berbincang, membahas kegiatan kuliah dan rencana mereka untuk akhir pekan. Suasana hati mereka cerah dan penuh kebahagiaan, menikmati momen-momen indah sebagai pasangan suami istri yang baru menikah.
Namun, ketika mereka melewati sebuah jalan yang sepi, pemandangan yang mengejutkan terjadi di hadapan mereka. Sebuah mobil sport merah, yang Nana kenal sebagai milik Yuna, dipepet oleh sebuah mobil van hitam. Beberapa orang berpakaian hitam keluar dari van itu dan dengan paksa menarik seorang gadis keluar dari mobil sport.
"Yuki, itu Yuna!" teriak Nana dengan panik. "Mereka menculik Yuna!"
Jantung Nana berdebar kencang. Ia teringat kejadian di masa lalu ketika ia diculik saat masih SD. Ia tidak ingin hal yang sama terjadi pada Yuna.
Yuki dengan sigap menginjak gas, mengejar mobil van yang melaju kencang meninggalkan tempat kejadian. Mobil van itu menuju ke arah pinggiran kota, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil yang mengarah ke hutan.
Yuki terus membuntuti mobil van itu dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak kepergok. Ia tidak ingin membuat para penculik panik dan menyakiti Yuna.
Ketika mobil van itu masuk ke dalam hutan, Yuki menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia berkata pada Nana, "Nana, kau tunggu di sini. Kunci pintu mobil dan jangan keluar sampai aku kembali."
Nana menatap Yuki dengan khawatir. "Yuki, hati-hati!"
Yuki mengangguk dan segera berlari masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak mobil van itu.
Di dalam hutan yang lebat, Yuki mendengar suara tembakan beberapa kali. Ia mempercepat langkahnya, mengikuti arah suara itu. Tak lama kemudian, ia menemukan mobil van itu terparkir di sebuah tempat terbuka.
Yuki menyembunyikan dirinya di balik sebuah pohon besar, mengamati situasi dengan seksama. Ia melihat Yuna tergeletak di tanah, berlumuran darah. Lima orang berpakaian hitam berdiri di sekeliling Yuna, sedang mengambil foto tubuh gadis itu.
Yuki mengepalkan tangannya dengan geram. Ia tidak akan membiarkan para penculik itu lolos begitu saja. Namun, ia harus berhati-hati. Ia tidak ingin membahayakan nyawa Yuna.
Setelah para penculik itu pergi, Yuki segera menghampiri Yuna. Ia terkejut melihat kondisi Yuna yang kritis. Lima buah peluru bersarang di tubuh gadis itu.
Yuki menempelkan telinganya ke dada Yuna. Ia bisa mendengar detak jantung Yuna yang sangat lemah. Yuki merasa lega. Yuna masih hidup.
Yuki menyalurkan energi Tao ke dalam tubuh Yuna. Lima buah peluru itu keluar dengan sendirinya dari tubuh Yuna. Luka-luka tembakan itu pun berangsur-angsur pulih. Namun, Yuna masih belum sadarkan diri.
Yuki mengangkat tubuh Yuna dan membawanya kembali ke mobil. Nana yang sedang menunggu di dalam mobil terkejut melihat Yuna yang berlumuran darah. Ia menjerit histeris dan segera keluar dari mobil.
"Yuna!" teriak Nana dengan khawatir.
"Tenanglah, Nana," kata Yuki dengan tenang. "Yuna tidak apa-apa. Aku sudah mengobatinya."
Nana masih terlihat shock, namun ia sedikit lega mendengar penjelasan Yuki. Yuki pun membawa Yuna ke rumahnya dan membaringkannya di kamar tamu.
Yuna membuka matanya perlahan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya redup yang menyinari ruangan itu. Ia menatap sekeliling dengan bingung. Ia berada di sebuah kamar yang sangat mewah, dengan furnitur berukir indah dan dekorasi yang elegan. Ia tidak mengenali tempat itu.
"Di mana aku?" gumam Yuna dengan suara serak.
Tiba-tiba, ia merasakan sebuah tangan hangat menggenggam tangannya. Ia menoleh dan melihat Nana duduk di samping tempat tidurnya, wajahnya basah oleh air mata.
"Kak Nana?" panggil Yuna dengan lemah.
Nana menyeka air matanya dan tersenyum lega. "Syukurlah, kau sudah sadar, Yuna," katanya dengan suara bergetar.
Yuna baru mengingat kejadian yang menimpanya. Ia diculik, lalu ditembak. Ia meraba tubuhnya dan menyadari ia mengenakan pakaian yang berbeda, namun masih bisa merasakan bekas darah dan lubang peluru di bajunya.
"Apa aku sudah mati?" tanya Yuna dengan takut.
Nana memeluk Yuna dengan erat. "Tidak, sayang. Kau masih hidup. Kau selamat."
Yuna menangis dalam pelukan Nana. Ia merasa sangat bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup.
Ia kemudian melihat Yuki yang sedang duduk di sofa di sudut ruangan. Ia semakin bingung. Kenapa Yuki ada di sini?
"Kak Yuki?" panggil Yuna dengan heran.
Yuki mendekat dan tersenyum pada Yuna. "Halo, Yuna. Syukurlah kau sudah sadar."
"Kenapa aku ada di sini?" tanya Yuna dengan penuh pertanyaan. "Dan kenapa kalian ada di sini?"
Nana dan Yuki saling berpandangan. Mereka tahu sudah saatnya untuk menjelaskan semuanya pada Yuna.