Bab 19

Malam telah tiba, dan ini adalah malam pertama bagi pasangan pengantin baru, Nana dan Yuki. Keduanya duduk di balkon kamar mereka, menikmati pemandangan malam Tokyo yang dipenuhi gemerlap lampu kota. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga sakura yang semerbak dari taman di bawah. Nana menyenderkan tubuhnya di bahu Yuki, merasa nyaman dan tenang dalam dekapan suaminya.

"Sayang, apa kita akan melakukannya malam ini?" tanya Nana pelan dengan wajah sedikit memerah.

Yuki menoleh, tersenyum lembut. "Melakukan apa, Sayang?" jawabnya pura-pura tidak mengerti.

Nana bangkit dari sandarannya, menatap Yuki dengan tatapan penuh arti. "Masa kamu nggak ngerti sih? Ini kan malam pertama kita," ucapnya dengan suara manja.

Yuki tertawa kecil, menikmati cara Nana mengajaknya bicara. "Oh, itu ya? Aku kira kamu mau minum teh lagi," godanya.

"Yuki!" seru Nana sambil memukul dada suaminya pelan, wajahnya makin merah karena malu. Yuki hanya tersenyum dan menarik tangan Nana, menggenggamnya erat.

"Aku senang malam ini kita bisa bersama seperti ini," ujar Yuki sambil menatap mata Nana dalam-dalam. "Aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia."

Nana merasa hatinya berdesir mendengar ucapan Yuki. Ia mendekatkan wajahnya, lalu dengan lembut mengecup bibir Yuki. Mereka terdiam sejenak. Sebenarnya dari tadi Yuki sudah menahan konaknya, karna istrinya memakai piyama yang tipis, sehingga payudara nana yang besar terlihat. Karena itu saat nana mengecup bibir yuki, yuki langsung memangku nana dan membuka piyamanya. Payudara nana langsung menyentuh muka yuki, nana merasakan panas yuki di area payudaranya.

Nana memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan dari yuki. Ia merasakan jari-jari panjang yuki menelusuri bagian tubuhnya, sesekali memijat payudara dan lubang intim nana. Nana bisa merasakan kejantanan suaminya sudah mulai mencuat. Ia memejamkan matanya, menarik napas.

Nana menoleh ke arah yuki, melepas ciumannya. Lalu nana mulai turun dari pangkuan yuki, membuka celana yuki, wajah nana memerah ketika melihat penis yuki sudah menegang

Nana mengigit bibir bawahnya, wajahnya merona. Tangannya perlahan mengambil kejantanan yuki.

Kedua matanya terbelalak saat melihat kejantanan Yuki, karena yuki mempunyai penis besar, ukurannya sama dengan tangan nana. Karena waktu dulu saat belum menikah, dia melakukan itu tanpa melihat penis yuki. Nana masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat, ia menjepit kejantanan yuki, menempelkan dua tangannya, tapi tak cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Nana mulai memasukan kejantanan yuki kedalam mulutnya.

Nana langsung memasukan semua milik yuki ke dalam mulutnya, nana mencoba menjilat dan memberikan stimulasi pada milik suaminya. Kepalanya naik dan turun, sesekali ia menjilat batang yuki, lalu ia masukkan kejantanan suaminya kedalam mulutnya, dan mengulumnya sampai habis.

Ia menghentikan aktivitasnya, lalu nana membuka seluruh pakaiannya dan pakaian yuki, kini mereka berdua telanjang. "Sayang apa kamu siap?" Tanya yuki sambil memegang penisnya.

Nana langsung berbaring di sofa, tubuhnya yang putih terkena sinar rembulan dan lampu taman itu sangat indah, membuat yuki semakin gemas.

Yuki melingkarkan kedua lengannya di pinggang nana, lalu membuat nana merasa hangat dan basah ketika kejantanannya melesak kedalam vaginanya. Yuki sempat memeriksa reaksi istrinya.

Wajah Nana memerah, matanya terpejam, mulutnya melepas desah keras. Tangannya mencoba menggapai milik yuki, sementara Yuki bergerak maju mundur dengan tempo lambat.

Desah keduanya semakin terdengar, yuki mengecup bibir istrinya.

Lewat bibir, mereka berciuman, nana melumat bibir yuki, mendesah di sela-sela ciuman mereka. Yuki merasakan tangannya dipelintir nana, juga desahan Nana yang semakin kencang.

Lalu Yuki melepas ciuman dari bibir nana, nana yang sadar akan hal itu, mengerang.

"Tidak apa-apa, sayang," ucap yuki seraya membuat kedua payudara nana teracung, mengeluarkan saliva dari mulutnya.

Yuki melumat payudara istrinya, ia memainkan kedua payudara Nana, nana kembali mendesah.

Yuki melesakkan miliknya kedalam vaginan nana, lalu Yuki menghentikan kegiatannya, nana yang kesal akan hal itu, langsung menggoyangkan pinggulnya, ia ingin milik suaminya kedepan.

Yuki memegang pinggang Nana, menghentikan gerakannya, ia ingin istrinya tenang.

"Kamu akan melewatkan sesuatu," ucap Yuki sambil menahan Nana.

Nana mendongak, bingung akan perkataan yuki, ia hanya mendesah pelan ketika Yuki bergerak maju mundur ke dalam Vaginanya, rasa geli membuat Nana mengalirkan air mata, wajahnya memerah.

Nana mendesah pelan saat Yuki melesakkan kejantannya kedalam vaginanya, ia merasakan rasa penuh, ia tersenyum ketika merasakan Yuki mulai bergerak maju mundur, membabi buta di dalam vaginanya, rasanya sangat enak, ia menggeram ketika merasakan penis Yuki menghujam tempat sensitive miliknya.

"Ahhhh, ahhh," mendengar nana mengerang, Yuki semakin bersemangat, ia mencoba bergerak maju mundur.

Kedua tangan nana mencengkram kain sofa, ia bisa merasakan milik yuki yang masuk dan keluar dari vaginanya.

Nana memejamkan matanya, melepas desahnya, ia mencengkram lengan Yuki.

Yuki semakin gesit bergerak, ia ingin nana mencapai puncak kenikmatannya, ia bisa merasakan ada sebagian cairan nana keluar, dan vaginanya mengerat.

"Yuki... ah, ahhhh," nana kembali mendesah keras.

Ia semakin bergerak cepat, ia ingin membuat istrinya lemas, ia bisa melihat Nana terengah-engah, ia mencengkram lengan dan bahu nana, ia mendesah pelan, ia ingin mereka segera sampai.

Yuki semakin gesit, ia ingin melakukannya.

Kedua pasangan itu menarik napas. Yuki kembali memasukkan kejantanannya, ia mencium nana, nana terkesiap, ia bisa merasakan miliknya menyempit.

"Ah, yuki, ah, ah, ahhh," nana mendesah kencang, ia memeluk erat Yuki.

Ia menumpahkan spermanya ke dalam vaginanya, nana ikut mencapai klimaksnya.

"Yuki, ahhh," desahnya keras.

Yuki keluar dari vagina Nana.

Nana berhasil mengatur napasnya, ia terkejut saat Yuki mulai meraba bagian tubuhnya, nana hanya memejamkan matanya, menikmatinya, ia bisa merasakan tangan Yuki melingkar di sekelilingnya, ia menunduk, lalu mencium puting kiri Nana, memainkan puting kanan dengan jari.

Nana kembali mendesah.

Keduanya berpagutan.

Ia sempat melepas ciuman.

Kedua tangannya memegang kedua payudara nana, ia mengisap puting kanan, memainkan puting kiri dengan jarinya.

Nana kembali merintih, ia memegang rambut Yuki, mendorong Yuki, ingin melakukannya lebih lanjut.

Tangan Yuki turun, memegang pantat Nana, ia merubanya, lalu ia merubanya dengan lebih keras, nana kembali mendesah.

Tangannya turun lagi, ia mencoba memainkan milik Nana.

Nana merintih, ia memegang kedua payudaranya, memilin putingnya, ia mencium kedua payudara Nana.

Tubuhnya naik, lalu ia sempat membuang napas, ia mencoba menjilati kulit Nana, lalu ia menjilat kedua payudara nana, ia mulai merasakan tubuh Nana gemetar, ia tertawa kecil.

Kedua tangan Yuki naik, mengelus perut Nana, ia mencium punggungnya, ia menurunkan tangannya, menjilat vagina Nana, ia melilitkan kedua tangannya di tubuh Nana.

Ia mencoba memainkan vagina Nana dengan jari, ia merasakan jari-jarinya disumbat, ia ingin menyentuh spot Nana.

Ia mencoba memajukan milik Nana, ia sempat mengisapnya, lalu ia berhasil merasakan tubuh Nana gemetar.

Tubuhnya naik, ia masih terus memainkan puting Nana, ia jilati kedua payudara istrinya lalu menghujam vagina istrinya, ia mengeluarkan kejantannya, ia meringis.

Ketika ia mencoba memasukkan kembali miliknya, ia langsung menyodok vaginanya, ia bisa melihat bagaimana penisnya masuk dan keluar, ia mengeluarkan cairannya, nana juga melakukannya.

Tangannya kembali turun, ia mulai memainkan vagina Nana, ia meremas payudara istrinya, ia ingin istrinya meluapkan sperma.

Ia mencoba merubi kedua payudara Nana, ia mendekatkan kejantannya.

Tangan yuki bertaut dengan tangan Nana, ia sempat mencium pipi istrinya.

Yuki mulai menarik, ia sempat keluar dari vagina Nana, kembali ia masuk.

Tubuh nana bergetar, ia tahu kalau Nana mencapai klimaks.

Ia sempat melepas ciumannya, ia melakukan sex position dari belakang, ia ingin Nana mencapai ekstasi.

Yuki terus bergerak cepat, ia bisa melihat lubang Nana, ia sempat mendorong Nana, ia kembali bergerak, ia sempat berhenti, lalu kembali bergerak cepat.

Ia melihat beberapa cairan cintanya menyembur keluar.

Kedua tangan Yuki naik, meraba payudara Nana, ia menjilat telinganya, lalu menjilati tubuh nana.

Ia melepas kejantanan dari vagina Nana, ia bergerak mundur, ia sempat menjilati tubuh Nana.

Yuki bisa merasakan tubuhnya basah, ia mengecup tengkuk Nana, lalu ia sempat memijit pantat istrinya.

Kedua pasangan itu kembali bergerak sampai mereka mendapat klimaks. Keduanya lemas, yuki terbaring di tubuh nana. Malam itu terasa indah bagi mereka.

Keesokan harinya Kehidupan Nana dan Yuki di kampus berjalan seperti biasa. Mereka mengikuti perkuliahan dengan tekun, mengerjakan tugas bersama, dan sesekali menghabiskan waktu luang dengan Airi dan Yumi. Namun, ada sebuah perbedaan besar dalam hubungan Nana dan Yuki. Mereka kini bukan hanya sepasang kekasih, tetapi juga suami istri.

Suatu pagi, Nana dan Yuki tiba di kampus bersama-sama. Mereka berjalan berdampingan menuju kelas, tangan mereka terjalin erat. Nana memakai sebuah cincin berlian yang indah di jari manisnya, tanda cinta dan komitmennya pada Yuki.

Di dalam kelas, Airi dan Yumi menyapa Nana dengan ceria. Namun, Yumi tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya saat melihat cincin di jari Nana.

"Nana, cincin apa itu?" tanya Yumi dengan penuh selidik.

Nana tersenyum dan menunjukkan cincin itu pada Airi dan Yumi. "Ini cincin pernikahanku," jawab Nana dengan bangga.

Airi dan Yumi terkejut mendengar jawaban Nana. Mereka tidak menyangka Nana dan Yuki sudah menikah.

"Kapan kalian menikah?" tanya Airi dengan penasaran.

"Kemarin," jawab Nana dengan senyum bahagia.

Airi dan Yumi saling berpandangan, lalu memeluk Nana dengan erat.

"Selamat ya, Nana," kata Airi dengan tulus. "Semoga kalian bahagia selalu."

"Terima kasih, Airi," jawab Nana.

"Aku juga ikut senang untuk kalian," kata Yumi. "Kalian pasangan yang serasi."

"Terima kasih, Yumi," jawab Nana.

Saat jam istirahat tiba, Nana, Airi, dan Yumi pergi ke kantin untuk makan siang bersama. Mereka memilih meja kosong di dekat jendela dan mulai menikmati makanan mereka.

Tiba-tiba, Hikari Yuna menghampiri mereka.

"Kak Nana, bolehkah aku gabung?" tanya Yuna dengan ramah.

"Tentu saja," jawab Nana dengan senyum.

Yuna pun duduk di samping Nana. Ia menatap cincin di jari Nana dengan tatapan penuh arti.

"Kak Nana, cincin apa itu?" tanya Yuna dengan penasaran.

"Ini cincin pernikahanku," jawab Nana dengan bangga.

Yuna terlihat sedikit sedih mendengar jawaban Nana. Namun, ia segera menutupinya dengan senyum.

"Selamat ya, Kak Nana," kata Yuna dengan tulus. "Semoga kakak bahagia dengan Kak Yuki."

Nana tersenyum dan mengangguk. Ia tahu Yuna masih memiliki perasaan pada Yuki. Ia pun mengalihkan pembicaraan agar Yuna tidak merasa tidak nyaman.

"Yuna, bagaimana kuliahmu?" tanya Nana. "Apakah kau menikmatinya?"

"Ya, aku menikmatinya," jawab Yuna dengan senyum. "Aku banyak belajar hal baru di sini."

Mereka berempat pun melanjutkan obrolan mereka dengan ceria. Nana merasa senang karena ia memiliki teman-teman yang baik dan mendukungnya.

Sementara itu Ruang rapat di lantai atas gedung NY Corp dipenuhi oleh para pengusaha ternama dari berbagai perusahaan di Tokyo. Mereka hadir untuk memperebutkan sebuah proyek besar yang sedang ditawarkan oleh NY Corp. Proyek ini menjanjikan keuntungan yang sangat besar dan kesempatan untuk meningkatkan reputasi perusahaan.

Sai Uchida, CEO muda NY Corp, memimpin rapat dengan penuh percaya diri. Ia mempresentasikan detail proyek dan kriteria mitra yang mereka cari. Para pengusaha itu mendengarkan dengan seksama, sesekali mencatat dan berbisik-bisik dengan kolega mereka.

Di antara para pengusaha itu, terdapat Hikari Makoto, pemimpin Hikari Group, Tatsuya Hayashi, pemilik Hayashi Corp, dan Daisuke Kobayashi, pemilik Kobayashi Industries. Mereka adalah pemain-pemain besar di dunia bisnis Tokyo, dan mereka bersaing untuk mendapatkan proyek ini.

Say menyelesaikan presentasinya dan mempersilakan para pengusaha untuk mengajukan proposal mereka. Satu per satu, mereka mempresentasikan keunggulan perusahaan mereka dan menjelaskan mengapa mereka adalah mitra yang tepat untuk NY Corp.

Setelah mendengarkan semua presentasi, Sai merenung sejenak. Ia kemudian mengumumkan keputusannya.

"Terima kasih atas presentasi Anda semua," kata Sai dengan suara tegas. "Setelah mempertimbangkan dengan matang, kami memutuskan untuk bekerja sama dengan... Hikari Group dan Hayashi Corp."

Hikari Makoto dan Tatsuya Hayashi tersenyum gembira mendengar keputusan Say. Mereka berdiri dan mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih atas kepercayaannya, Tuan Uchida," kata Hikari Makoto dengan sopan. "Kami tidak akan mengecewakan Anda."

"Kami juga merasa terhormat bisa bekerja sama dengan NY Corp," tambah Tatsuya Hayashi.

Namun, keputusan Sai itu tidak diterima dengan baik oleh Daisuke Kobayashi. Wajahnya merah padam karena marah. Ia berdiri dan membanting mejanya dengan keras.

"Apa-apaan ini?!" teriak Daisuke dengan suara lantang. "Kenapa Anda memilih Hikari Group dan Hayashi Corp? Perusahaan kami jauh lebih berpengalaman dan memiliki sumber daya yang lebih besar!"

Sai menatap Daisuke dengan tenang. "Kami memilih Hikari Group dan Hayashi Corp karena mereka memiliki visi dan misi yang sejalan dengan kami," jawab Sai dengan tegas. "Kami percaya mereka adalah mitra yang tepat untuk proyek ini."

Daisuke mengepalkan tangannya dengan geram. Ia tidak terima dengan keputusan Sai.

"Kau akan menyesali keputusanmu ini, Uchida!" ancam Daisuke dengan suara dingin. "Aku tidak akan membiarkan mereka mendapatkan proyek ini!"

Daisuke pun keluar dari ruang rapat dengan langkah tegas, diikuti oleh para bawahannya. Suasana di ruang rapat menjadi tegang. Para pengusaha lain saling berpandangan, khawatir dengan ancaman Daisuke.

Sai tetap tenang dan berwibawa. Ia tidak gentar dengan ancaman Daisuke. Ia yakin ia telah membuat keputusan yang tepat.

"Silakan lanjutkan diskusi kita," kata Sai pada para pengusaha yang masih tersisa. "Kita akan membahas detail kerja sama dengan Hikari Group dan Hayashi Corp."

Setelah rapat dan diskusi panjang mengenai proyek besar NY Corp berakhir, Daisuke Kobayashi berinisiatif untuk merayakan kerja sama itu. Ia mengundang Say Uchida dan Hikari Makoto untuk makan malam di kediamannya.

"Tuan Uchida, Tuan Makoto, saya ingin mengundang Anda keduanya untuk makan malam di rumah saya," kata Daisuke dengan ramah. "Saya juga ingin mengundang pemilik NY Corp, jika beliau berkenan hadir."

Say tersenyum kecil. Ia tahu Yuki tidak akan mau menghadiri acara seperti itu.

"Terima kasih atas undangannya, Tuan Kobayashi," jawab Say. "Saya akan hadir. Namun, saya tidak yakin pemilik NY Corp bisa hadir. Beliau sangat sibuk."

Daisuke mengangguk mengerti. "Tidak apa-apa, Tuan Uchida. Saya mengerti."

Malam pun tiba. Say dan Hikari Makoto, bersama dengan istri mereka masing-masing, tiba di kediaman keluarga Kobayashi. Rumah itu sangat mewah dan besar, dengan taman yang luas dan kolam renang di halaman belakang.

Daisuke dan istrinya, yang bernama Yuko Kobayashi, menyambut mereka dengan hangat. Mereka dipersilakan masuk ke ruang makan yang mewah. Di meja makan, sudah tersedia berbagai hidangan lezat yang menggugah selera.

Say memperhatikan ada seorang gadis cantik yang duduk di sebelah Nyonya Kobayashi. Gadis itu memiliki rambut panjang berwarna cokelat dan mata biru yang indah. Ia mengenakan gaun merah yang elegan. Say tertegun sejenak melihat kecantikan gadis itu.

"Oh, perkenalkan, ini putri saya, Airi," kata Tuan Kobayashi dengan bangga.

Airi tersenyum ramah pada Say. "Halo, Tuan Uchida. Senang bertemu dengan Anda."

Say membalas senyum Airi dengan sedikit gugup. Ia bisa merasakan bahwa Airi terus memperhatikannya sepanjang acara makan malam itu. Say menjadi salah tingkah.

Untuk menghilangkan ketegangan, Say mencoba untuk membuka pembicaraan tentang bisnis. Namun, Airi justru semakin tertarik padanya. Ia mengajukan banyak pertanyaan tentang NY Corp dan cara Say mengelola perusahaan itu. Say menjawab semua pertanyaan Airi dengan sabar dan detail.

Airi semakin kagum pada Say. Ia terpesona dengan kecerdasan, wawasan, dan kepribadian Say yang tenang dan percaya diri. Ia mulai menaruh hati pada Say.

Setelah acara makan malam selesai, Airi menghampiri Say yang sedang berpamitan pada orang tuanya.

"Tuan Say, mari aku antar keluar," kata Airi dengan ramah.

Say merasa sedikit malu, tetapi ia menyetujui tawaran Airi. Mereka pun berjalan bersama menuju pintu keluar. Tuan Kobayashi melihat interaksi mereka dengan senyum mengembang. Ia tahu putrinya menyukai Say.

Di luar, Hikari Makoto dan istrinya sudah menunggu di mobil mereka. Mereka pun berpamitan pada Say dan Airi.

"Sampai jumpa lagi, Tuan Uchida," kata Hikari Makoto.

"Sampai jumpa, Tuan Makoto," jawab Say.

Say dan Airi kini berdua saja di depan rumah keluarga Kobayashi. Say berterima kasih pada Airi yang telah mengantarkannya.

"Terima kasih sudah mengantarkanku, Airi," kata Say.

Airi tersenyum malu-malu. "Sama-sama, Tuan Say."

Ia kemudian memberanikan diri untuk meminta nomor kontak Say. "Tuan Say, bolehkah aku meminta nomor kontakmu?"

Tuan Kobayashi, yang sedang mengamati mereka dari dalam rumah, segera keluar dan menegur Airi.

"Airi, jaga sikapmu!" tegur Tuan Kobayashi. "Jangan lancang meminta nomor kontak Tuan Uchida seperti itu!"

Namun, Say hanya tersenyum dan mengatakan pada Tuan Kobayashi bahwa tidak apa-apa. Ia lalu mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya pada Airi.

"Ini kartu namaku, Airi," kata Say dengan ramah.

Airi menerima kartu nama itu dengan senang hati. Ia tersenyum bahagia.

"Terima kasih, Tuan Say," kata Airi dengan riang.

Sai berpamitan pada Airi dan meninggalkan kediaman keluarga Kobayashi. Ia tidak menyadari bahwa pertemuan dengan Airi malam itu akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.