Perubahan ini sontak menimbulkan berbagai spekulasi di dunia bisnis. Banyak yang bertanya-tanya tentang arti di balik logo NY itu. Apakah pemilik NY Corp, perusahaan holding yang misterius dan berpengaruh, telah mengakuisisi kawasan elit tersebut? Ataukah ini hanyalah sebuah kebetulan?
Berita pergantian logo ini sampai ke telinga Yuki melalui telepon dari Tuan Takeda, pengelola kawasan tersebut.
"Tuan Muda," lapor Tuan Takeda dengan hormat, "saya sudah mengganti logo kawasan sesuai perintah Anda."
"Terima kasih, Tuan Takeda," jawab Yuki. "Apakah ada yang mempertanyakan tentang logo baru itu?"
"Beberapa orang memang bertanya-tanya, Tuan Muda," kata Tuan Takeda. "Mereka penasaran dengan arti di balik logo NY itu."
Yuki tersenyum kecil. "Biarkan saja mereka penasaran, Tuan Takeda. Tidak perlu dijelaskan."
"Baik, Tuan Muda," jawab Tuan Takeda.
Sore itu, Nana dan Yuki baru saja menyelesaikan kelas sore mereka. Mereka berjalan berdampingan keluar dari gedung fakultas, menuju pelataran parkir di mana mobil Nana terparkir.
Di dalam mobil, Nana bercerita tentang kegiatan kampusnya dengan antusias. Yuki mendengarkan dengan seksama, sesekali memberikan komentar dan pertanyaan.
Saat mobil memasuki kawasan rumah mereka, Nana melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Yuki, lihat!" seru Nana dengan kaget. "Logo kawasan ini... Berubah?"
Yuki tersenyum kecil. Ia sudah menduga Nana akan terkejut melihat logo itu.
"Kenapa kau tersenyum?" tanya Nana dengan curiga. "Apa kau tahu sesuatu tentang ini?"
Yuki hanya mengangguk dan tetap tersenyum tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Nana mengerucutkan bibirnya, kesal karena Yuki tidak mau bercerita.
"Yuki, ayolah, ceritakan padaku," rengek Nana dengan manja.
Yuki tertawa kecil melihat tingkah Nana. Ia mengusap rambut Nana dengan gemas.
"Sebenarnya... NY itu inisial nama kita," kata Yuki dengan nada bercanda. "Nana dan Yuki."
Nana terdiam sejenak, lalu menatap Yuki dengan tidak percaya. "Kau serius?"
Yuki hanya tersenyum dan mengangkat bahu, membiarkan Nana terus bertanya-tanya. Ia ingin menjaga rahasia identitasnya sedikit lebih lama, menikmati momen-momen penuh misteri ini bersama Nana.
Maaf, aku mengerti sekarang. Sepertinya aku masih harus berlatih untuk memahami maksudmu dengan lebih baik.
Sesampainya di rumah, Yuki dan Nana disambut oleh pemandangan yang tak biasa. Pengelola NY Estate, seorang pria paruh baya bernama Tuan Takeda, telah menunggu di depan pintu bersama beberapa pengawal. Wajah Tuan Takeda dipenuhi senyum ramah dan hormat. Yuki segera turun dari mobil dan menyapa Tuan Takeda dengan sopan.
"Selamat sore, Tuan Takeda," sapa Yuki. "Maaf, apa saya membuat Anda menunggu lama?"
"Oh, tidak sama sekali, Tuan Muda," jawab Tuan Takeda dengan ramah. "Saya baru saja tiba. Silakan masuk, Nona Nana."
Yuki mempersilakan Tuan Takeda masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Nana. Mereka bertiga pun menuju ruang tamu. Yuki mempersilakan Tuan Takeda untuk duduk di sofa, sementara ia dan Nana duduk di hadapannya.
"Sebenarnya, kami sangat terkejut ketika mendengar Anda tinggal di sini, Tuan Muda," kata Tuan Takeda. "Jika saya tahu sebelumnya, saya pasti akan membuat acara penyambutan untuk Anda."
Yuki tersenyum. "Tidak perlu repot-repot, Tuan Takeda. Anda tahu kan identitasku harus disembunyikan? Jadi, tidak perlu ada pesta penyambutan segala. Itu terlalu mencolok."
Tuan Takeda mengangguk mengerti. "Baiklah, Tuan Muda. Saya mengerti."
"Saya mendapat kabar dari Tuan Haru bahwa Anda ingin mengganti nama kawasan ini," lanjut Tuan Takeda. "Dan hari ini, semua sudah beres."
"Ya, terima kasih atas bantuannya, Tuan Takeda," kata Yuki.
"Sama-sama, Tuan Muda," jawab Tuan Takeda. "Jika ada yang bisa saya bantu, jangan ragu untuk menghubungi saya."
Setelah berbincang sebentar dengan Tuan Takeda, Yuki mengantarnya keluar. Yuki dan Nana kemudian naik ke lantai atas menuju kamar mereka.
Di dalam kamar, Nana tersenyum pada Yuki.
"Yuki," panggil Nana. "Jadi logo NY itu beneran inisial nama kita?"
Yuki tersenyum dan mengangguk. "Iya, Nana. NY adalah inisial nama kita."
Nana terdiam sejenak, lalu ia teringat sesuatu. "Yuki, apa itu artinya NY Corp juga milikmu?"
Yuki kembali tersenyum dan mengangguk. "Ya, sayang. NY Corp adalah milikku."
Nana terbelalak kaget. Ia tidak menyangka Yuki adalah pemilik NY Corp, perusahaan holding yang sangat berpengaruh itu. Ia menatap Yuki dengan tatapan penuh kagum.
"Tapi... bagaimana mungkin?" tanya Nana dengan bingung.
Nana menghentikan kata-katanya, teringat kebohongan Yuki tentang identitasnya. Ia menatap Yuki dengan penuh sejuta pertanyaan.
Yuki tersenyum dan memegang tangan Nana. "Maafkan aku, Nana. Aku memang menyembunyikan banyak hal darimu. Tapi aku berjanji akan menjelaskan semuanya nanti."
Nana menatap Yuki dengan penuh harap. Ia ingin segera mengetahui kebenaran tentang Yuki. Ia tidak pernah menduga bahwa pria yang dicintainya itu adalah sosok yang sangat berpengaruh dan misterius. Ternyata orang yang pernah melamar menjadi pengawalku bukan orang biasa, pikir Nana dengan kagum.
Malam kembali menyelimuti kota Tokyo. Di balkon rumah mewah milik Yuki, suasana romantis tercipta. Kerlip lampu kota dan gemerlap bintang menjadi saksi bisu kebahagiaan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.
Nana dan Yuki duduk berdampingan di sofa empuk, tangan mereka saling menjalin. Sebuah kehangatan yang mendalam menyelimuti hati mereka. Setelah sekian lama menyimpan rasa, akhirnya mereka bisa bersama tanpa ada rahasia di antara mereka.
Yuki menatap Nana dengan tatapan penuh cinta. "Nana, maukah kau menjadi istriku?" tanyanya dengan lembut.
Nana terkejut mendengar pertanyaan Yuki. Matanya berbinar, dan senyum bahagia terukir di wajahnya. Ia tidak menyangka Yuki akan melamarnya secepat ini.
"Yuki, aku..." Nana terbata-bata, ia terlalu bahagia hingga sulit berkata-kata. "Tentu saja aku mau!"
Nana langsung menarik tangan Yuki. "Ayo!" ajaknya dengan semangat.
Yuki tertawa kecil melihat tingkah Nana yang lucu dan menggemaskan. Ia mencubit hidung Nana dengan gemas.
"Bodoh, ini sudah malam," kata Yuki. "Kita tidak bisa menikah sekarang juga."
Nana tersenyum malu-malu. "Aku tahu," jawabnya. "Tapi aku tidak sabar ingin segera menjadi istrimu."
Yuki memeluk Nana dengan erat. "Sabarlah, sayang. Kita akan menikah secepatnya."
Keesokan harinya, Nana dan Yuki memutuskan untuk membolos kuliah. Mereka memiliki misi penting yang harus diselesaikan: meresmikan hubungan mereka.
"Kita menikah hari ini, yuk?" ajak Nana dengan bersemangat saat sarapan.
Yuki tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, sayang. Kita menikah hari ini."
Nana hampir melompat kegirangan. Ia segera menyelesaikan sarapannya dan bersiap-siap. Yuki hanya bisa geleng-geleng kepala melihat antusiasme Nana. Ia pun bergegas menyiapkan semuanya.
Mereka kemudian berangkat menuju kantor catatan sipil dengan mobil Nana. Sepanjang perjalanan, Nana tidak henti-hentinya berceloteh tentang pernikahan mereka. Ia membayangkan bagaimana mereka akan hidup bersama sebagai suami istri, membangun keluarga kecil yang bahagia.
"Yuki, nanti kita akan punya anak berapa, ya?" tanya Nana dengan mata berbinar.
Yuki tertawa kecil. "Terserah kamu saja, sayang. Mau punya anak berapa pun, aku akan sangat bahagia."
"Hmm... aku ingin punya anak kembar," kata Nana sambil berkhayal. "Satu laki-laki dan satu perempuan."
Yuki tersenyum dan menggenggam tangan Nana. "Semoga impianmu terkabul, sayang."
Nana semakin tidak sabar untuk segera tiba di kantor catatan sipil. Ia ingin segera menyandang status sebagai Nyonya Yuki Aizawa.
Sesampainya di kantor catatan sipil, mereka langsung mengurus semua administrasi yang diperlukan. Tidak ada pesta meriah atau resepsi besar-besaran. Hanya ada mereka berdua, disaksikan oleh petugas catatan sipil dan beberapa saksi.
Meskipun pernikahan mereka diadakan secara sederhana, kebahagiaan yang mereka rasakan sangat besar. Nana dan Yuki akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Mereka berjanji akan selalu saling mencintai dan mendukung dalam suka maupun duka.
Kebahagiaan menyelimuti hati Nana dan Yuki setelah resmi menjadi pasangan suami istri. Untuk merayakan momen istimewa itu, Yuki memutuskan untuk mengajak Nana membeli sepasang cincin pernikahan.
Mereka pun pergi ke sebuah toko perhiasan ternama di Ginza, Tokyo. Toko itu terlihat mewah dan elegan, dengan etalase kaca yang memamerkan berbagai perhiasan berkilauan. Begitu mereka masuk, seorang pelayan muda dengan seragam kemeja putih dan rok hitam menghampiri mereka dengan ramah.
"Selamat siang, Tuan dan Nyonya. Selamat datang di toko kami. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pelayan itu dengan sopan.
Namun, sebelum Yuki sempat menjawab, seorang pelayan senior dengan seragam yang sama tiba-tiba muncul dan menatap Yuki dan Nana dengan sinis.
"Ah, hanya sepasang anak muda," kata pelayan senior itu dengan nada meremehkan. "Mungkin mereka hanya datang ke sini untuk berfoto dan pamer di media sosial."
Ia lalu berbicara pada pelayan muda itu. "Jangan buang-buang waktumu melayani mereka. Mereka pasti tidak akan membeli apapun."
Pelayan muda itu terlihat sedikit kecewa, namun ia tetap bersikap profesional. "Baiklah, Kak," jawabnya dengan patuh.
Tepat pada saat itu, sepasang kekasih masuk ke toko itu. Mereka mengenakan pakaian bermerek yang terlihat mewah dan mahal. Pelayan senior itu langsung menghampiri mereka dengan senyum lebar dan sikap ramah.
"Selamat siang, Tuan dan Nyonya. Selamat datang di toko kami. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pelayan senior itu dengan antusias.
Pasangan itu menatap Yuki dan Nana dengan pandangan sombong, lalu mengikuti pelayan senior itu untuk melihat-lihat koleksi perhiasan.
Sementara itu, pelayan muda itu tetap melayani Yuki dan Nana dengan ramah.
"Tuan, Nyonya, mau cari perhiasan jenis apa?" tanyanya dengan sopan.
"Kami ingin membeli sepasang cincin pernikahan," jawab Yuki. "Tolong tunjukkan yang paling bagus di toko ini."
Pelayan senior yang sedang melayani pasangan itu mendengar perkataan Yuki dan mencibir.
"Paling cuma mau lihat-lihat doang, beli juga kaga," katanya dengan sinis.
Pasangan itu tertawa mengejek mendengar perkataan pelayan senior itu.
Pelayan muda itu mengabaikan ejekan mereka dan mengajak Yuki dan Nana untuk melihat koleksi cincin pernikahan. Ia menunjukkan beberapa model cincin yang indah dan elegan.
Nana terpesona melihat sebuah cincin berlian dengan desain yang unik dan menawan. "Yuki, aku suka yang ini," katanya dengan mata berbinar.
Yuki tersenyum. "Baiklah, kita ambil yang ini."
Tiba-tiba, wanita dari pasangan yang dilayani oleh pelayan senior itu juga menunjuk cincin yang sama. "Sayang, aku mau yang itu!" serunya dengan manja.
Pelayan senior itu langsung merebut cincin itu dari tangan pelayan muda dan memberikannya pada pasangan itu.
"Ini, Nyonya. Cincin ini sangat cocok untuk Anda," kata pelayan senior itu dengan senyum manis.
Lelaki dari pasangan itu menanyakan harga cincin itu. Wajahnya sedikit berubah saat mendengar harganya yang fantastis. Ia tampak ragu untuk membelinya.
"Sayang, kita cari yang lain saja, yuk?" katanya pada kekasihnya.
"Tidak mau!" tolak wanita itu dengan manja. "Aku mau yang ini!"
Yuki melihat keraguan di wajah lelaki itu dan berkata, "Jika Anda tidak jadi membelinya, biar saya saja yang beli."
Lelaki itu tersenyum sinis. "Emangnya kamu mampu?"
Yuki hanya tersenyum tipis. Ia mengeluarkan sebuah kartu hitam dari dompetnya dan memberikannya pada pelayan muda itu.
"Tolong bungkus cincin itu untuk kami," kata Yuki dengan tenang.
Pelayan senior dan pasangan itu tertawa mengejek melihat kartu yang dikeluarkan Yuki. Mereka mengira itu hanya kartu kredit biasa.
Namun, betapa terkejutnya mereka ketika pelayan muda itu menggunakan mesin EDC untuk memproses pembayaran dan ternyata... pembayaran berhasil!
Pelayan muda itu tersenyum dan memberikan cincin itu pada Yuki. "Ini, Tuan. Terima kasih atas pembeliannya."
Yuki menerima cincin itu dan memasangkannya di jari manis Nana. Nana tersenyum bahagia. Cincin itu sangat indah dan cocok di jarinya.
Yuki kemudian menatap pelayan senior dan pasangan itu dengan tatapan dingin. "Lain kali, jangan meremehkan orang lain," katanya dengan tegas.
Yuki dan Nana pun meninggalkan toko perhiasan itu dengan senyum kemenangan. Pelayan senior itu menyesali kesombongannya. Ia kehilangan komisi besar karena telah meremehkan Yuki dan Nana.