Tiba-tiba, sebuah suara ceria memanggil nama Nana.
"Kak Nana!"
Nana dan Yuki menoleh, mencari sumber suara itu. Mereka melihat Hikari Yuna berlari ke arah mereka dengan senyum lebar. Yuna tampak lebih ceria dan bersemangat daripada sebelumnya.
"Kak Nana, Kak Yuki, sudah selesai juga kuliahnya?" sapa Yuna dengan ramah.
Nana tersenyum dan menjawab, "Iya, sayang. Ini kakak mau pulang."
Yuki terkejut mendengar Yuna menyapanya dengan sebutan "Kak Yuki". Ia juga terkejut melihat sikap Yuna yang begitu ramah padanya, padahal sebelumnya Yuna tampak kesal dan cemburu padanya.
Yuna menatap Nana dan Yuki bergantian, lalu berkata, "Aku duluan ya, Kak."
Ia pun berbalik dan berlari menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. Nana dan Yuki memandang kepergian Yuna dengan penuh keheranan.
"Ada apa dengan Yuna?" tanya Yuki dengan bingung.
Nana mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin dia sudah melupakan perasaannya padamu."
Yuki tersenyum kecil. Ia merasa lega jika Yuna sudah tidak lagi menaruh hati padanya. Ia hanya ingin fokus pada Nana dan membangun masa depan bersama gadis itu.
Mobil sport berwarna ungu milik Nana meluncur dengan mulus di jalanan kota Tokyo. Nana duduk di samping Yuki, menatap pemandangan kota yang ramai dengan perasaan campur aduk. Ia masih mencerna peristiwa yang baru saja terjadi di kampus. Pertemuan dengan Yuna, pengakuan cinta Yuki, dan kebenaran tentang Yuki yang menjadi penyelamatnya selama ini membuatnya terkejut dan bahagia sekaligus.
Namun, ada satu hal yang masih membuat Nana penasaran. Kenapa Yuki menyembunyikan identitas aslinya selama ini? Apa alasannya melindunginya secara rahasia?
Nana menatap Yuki dengan tatapan penuh tanya. "Yuki, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Yuki menoleh dan tersenyum pada Nana. "Tentu saja, Nana. Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa kau menyembunyikan identitasmu selama ini?" tanya Nana dengan penuh rasa ingin tahu. "Dan kenapa kau selalu melindungiku?"
Yuki terdiam sejenak. Ia tahu sudah saatnya ia mengungkapkan sebagian kebenaran pada Nana. Ia menarik napas panjang dan mulai bercerita.
Ia menceritakan tentang masa lalunya, tentang orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan pesawat, tentang bagaimana ia berusaha mencari tahu kebenaran di balik kecelakaan itu. Ia juga menceritakan tentang ancaman yang diterimanya dan bagaimana ia harus menyembunyikan identitasnya demi keselamatannya.
Nana mendengarkan cerita Yuki dengan seksama. Ia terkejut dan terharu mendengar kisah hidup Yuki yang penuh liku.
"Yuki, aku tidak menyangka kau telah melewati banyak hal dalam hidupmu," kata Nana dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga tidak menyangka kau adalah orang yang selama ini melindungiku."
Yuki tersenyum dan menghapus air mata Nana dengan lembut. "Aku akan selalu melindungimu, Nana. Aku berjanji."
Mobil mereka tiba-tiba berbelok ke arah sebuah kawasan elit yang dipenuhi dengan rumah-rumah mewah. Pintu gerbang kawasan itu terbuat dari besi tempa yang kokoh, dengan ukiran rumit berbentuk bunga dan daun. Di atas gerbang, terdapat sebuah lambang yang tidak Nana kenal. Nana terkejut. Ia tidak menyangka Yuki akan membawanya ke tempat seperti ini.
Mobil mereka terus melaju melewati jalan yang diapit oleh pepohonan rindang dan taman-taman yang tertata rapi. Setiap rumah di kawasan itu tampak mewah dan elegan, dengan arsitektur yang beragam, mulai dari gaya klasik hingga modern.
Akhirnya, mobil mereka berhenti di depan sebuah gerbang besar yang dijaga oleh beberapa orang pengawal. Gerbang itu terbuka secara otomatis, dan mobil mereka masuk ke dalam sebuah halaman yang luas dan indah. Di tengah halaman itu, terdapat sebuah rumah mewah dengan arsitektur klasik yang elegan.
Nana tercengang melihat rumah itu. Ia tidak pernah melihat rumah semewah itu sebelumnya.
Saat mereka turun dari mobil, beberapa orang pengawal yang berbaris rapi di depan rumah itu segera memberi hormat pada Yuki.
"Selamat datang, Tuan Muda," kata para pengawal itu dengan serempak.
Nana semakin terkejut. Ia menatap Yuki dengan tatapan tidak percaya. Siapakah sebenarnya Yuki?
Yuki tersenyum dan menggenggam tangan Nana. "Ayo, Nana. Masuklah."
Ia lalu menuntun Nana masuk ke dalam rumah mewah itu, siap untuk mengungkapkan sebagian rahasianya.
Yuki menuntun Nana menaiki tangga menuju lantai dua rumah megah itu. Tangga marmer yang dipoles mengilap, dihiasi pagar ukiran yang rumit, menambah kesan mewah dan elegan. Nana melangkah dengan hati-hati, masih terpukau oleh kemegahan rumah itu.
Mereka tiba di sebuah pintu kayu besar dengan ukiran yang indah. Yuki membuka pintu itu, mengungkapkan sebuah kamar tidur yang sangat luas dan mewah. Tempat tidur berukuran king-size dengan kelambu berenda putih mendominasi ruangan itu. Jendela-jendela besar menawarkan pemandangan taman yang asri. Di salah satu sudut ruangan, terdapat sebuah pintu kaca yang mengarah ke balkon.
Yuki mengajak Nana menuju balkon. Nana terkesima melihat pemandangan di hadapannya. Balkon itu sangat luas, dilengkapi dengan kolam renang pribadi dan area bersantai yang nyaman. Beberapa pot bunga berwarna-warni menghiasi tepi balkon, menambah keindahan tempat itu.
"Kita akan tinggal di sini sekarang," kata Yuki dengan senyum hangat.
Nana menatap Yuki dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa?"
"Karena... ini rumah kita," jawab Yuki dengan lembut.
Nana terdiam sejenak. Ia masih belum mengerti maksud Yuki. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia menghargai privasi Yuki dan percaya bahwa Yuki akan menceritakan semuanya pada waktunya.
"Baiklah," jawab Nana dengan senyum tipis.
Yuki meraih tangan Nana dan menggenggamnya erat. "Terima kasih karena telah mempercayaiku, Nana."
Nana membalas genggaman tangan Yuki. "Aku percaya padamu, Yuki."
Mereka berdua berdiri di balkon, menikmati keindahan pemandangan dan kehangatan cinta mereka. Nana merasa bahagia dan aman berada di sisi Yuki. Ia tahu ia telah menemukan tempat yang tepat untuk hatinya berlabuh.
Yuki dan Nana masih terpaku di tempat mereka berdiri, mencerna keadaan yang baru saja mereka alami. Nana masih belum pulih dari kejutannya melihat rumah mewah milik Yuki. Ia menatap Yuki dengan tatapan penuh tanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Tiba-tiba, suara bel pintu memecah keheningan. Yuki tersenyum dan menuntun Nana menuju pintu utama. Saat pintu dibuka, mereka disambut oleh salah satu pengawal yang membawa beberapa koper besar.
"Tuan Muda, saya membawa barang-barang Anda dari kost-kostan," kata pengawal itu dengan hormat.
Yuki mengangguk. "Terima kasih. Letakkan saja di kamar ."
Pengawal itu melakukan perintah Yuki dan segera pergi meninggalkan mereka. Nana menatap koper-koper itu dengan penasaran.
"Barang-barang siapa itu, Yuki?" tanya Nana.
"Itu barang-barang kita, Nana," jawab Yuki dengan senyum. "Aku sudah memindahkan semua barang kita dari kost-kostan ke sini."
Nana terkejut. "Kenapa kau melakukan itu?"
"Karena aku ingin kita tinggal di sini bersama-sama," jawab Yuki dengan lembut. "Aku ingin menjagamu dan melindungimu di rumahku sendiri."
Nana terdiam sejenak. Ia merasa tersentuh dengan perhatian Yuki. Ia menatap Yuki dengan tatapan penuh cinta.
"Terima kasih, Yuki," kata Nana dengan lirih.
Yuki tersenyum dan mencium kening Nana dengan lembut. "Sama-sama, Nana."
Nana kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Yuki duduk di balkon, menikmati pemandangan kota Tokyo yang indah. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia bisa tinggal bersama Nana di rumahnya sendiri. Ia berjanji akan membuat Nana bahagia dan memberikan kehidupan yang layak untuk gadis itu.
Bulan purnama bersinar terang, menyinari kota Tokyo dengan cahaya peraknya. Di balkon rumah mewah milik Yuki, Nana dan Yuki duduk berdampingan di sebuah sofa empuk, menikmati sejuknya udara malam. Mereka berdua terlibat dalam percakapan hangat, sesekali diselingi tawa ceria dan tatapan mesra.
Nana menyandarkan kepalanya di bahu Yuki, merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang mendalam. Ia bersyukur bisa bersama dengan Yuki, pria yang ia cintai dan yang selalu melindunginya.
Yuki memeluk Nana dengan erat, mencium puncak kepala gadis itu dengan lembut. Ia berjanji dalam hati akan selalu membuat Nana bahagia dan melindunginya dari segala bahaya.
Sementara itu, di kediaman Hibiki, suasana jauh berbeda. Hibiki mondar-mandir di ruang kerjanya dengan gelisah. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia baru saja menerima laporan dari orang suruhannya bahwa mereka tidak bisa menemukan Nana di apartemennya.
"Apa maksudmu Nana tidak ada di apartemennya?" bentak Hibiki dengan marah.
"Kami sudah mencarinya ke mana-mana, Tuan," jawab orang suruhannya dengan gugup. "Tapi dia tidak ada di sana."
Hibiki mengepalkan tangannya dengan geram. Ia sudah menyewa seorang sniper profesional untuk membunuh Nana, tetapi rencananya gagal karena Nana tidak berada di tempat. Kini, ia kehilangan jejak Nana.
"Sial!" umpat Hibiki. "Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?"
Ia terduduk lemas di kursinya, merasa frustasi dan kecewa. Ia sudah berkali-kali mencoba untuk menyingkirkan Nana, tetapi selalu saja gagal. Ia mulai merasa putus asa.
Hibiki menyadari bahwa ia tidak bisa gegabah. Ia tidak mungkin melakukan aksinya di kampus. Terlalu berisiko. Ia harus mencari cara lain untuk menyingkirkan Nana.
"Aku tidak akan menyerah," gumam Hibiki dengan tekad yang membara. "Aku pasti akan menemukan cara untuk menghancurkan Nana dan merebut semuanya darinya."
Kehangatan malam mulai menyelimuti Nana dan Yuki. Setelah berbincang hangat dan berbagi cerita tentang hari-hari mereka, Nana mulai merasakan kantuk. Ia pun beranjak dari sofa dan menghampiri Yuki.
"Yuki, aku mengantuk," ucap Nana dengan suara lirih. "Aku mau tidur dulu."
Yuki tersenyum dan mencium kening Nana dengan lembut. "Selamat tidur, Nana. Mimpi indah."
Nana pun masuk ke dalam kamar dan segera tertidur pulas. Yuki masih tetap duduk di balkon, menikmati sejuknya udara malam dan keindahan pemandangan kota Tokyo. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kakeknya, Tuan Haru, di Amerika.
"Halo, Kakek," sapa Yuki dengan suara pelan.
"Halo, Yuki," jawab Tuan Haru dengan suara hangat. "Ada apa kau menelepon malam-malam begini?"
"Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Kakek," kata Yuki. "Aku ingin mengganti nama kawasan elit milik Ayah menjadi NY Estate."
Tuan Haru terdiam sejenak. "NY Estate? Kenapa kau ingin mengganti namanya?"
"Aku ingin menggunakan nama itu, Kakek," jawab Yuki. "NY adalah inisial dari namaku dan Nana."
Tuan Haru tersenyum. Ia mengerti maksud Yuki. "Baiklah, Yuki. Kakek tidak keberatan. Lagipula, kawasan itu memang milik ayahmu. Kau berhak melakukan apapun yang kau inginkan dengan itu."
Yuki tersenyum lega. "Terima kasih, Kakek."
Yuki kemudian menceritakan tentang kehidupannya di Tokyo, tentang Nana, dan tentang rencananya untuk masa depan. Tuan Haru mendengarkan dengan seksama.
"Kakek bangga padamu, Yuki," kata Tuan Haru dengan tulus. "Kau telah tumbuh menjadi pria yang hebat. Kakek yakin kau akan bisa menjaga Nana dan membuatnya bahagia."
"Terima kasih, Kakek," jawab Yuki dengan haru.
"Yuki," Tuan Haru melanjutkan, "kakek ingin bercerita sedikit tentang ayahmu. Kau tahu, selain Haru Corp, ayahmu juga mengembangkan bisnis di China."
Yuki mengerutkan kening. "Benarkah, Kakek? Aku tidak pernah tahu tentang itu."
"Ya," jawab Tuan Haru. "Ayahmu sangat berbakat dalam bisnis. Ia mendirikan cabang perusahaan di China dan menunjuk Tuan Nakahara, orang kepercayaannya, untuk mengelolanya. Tuan Nakahara itu sangat kompeten, sekarang dia menjadi orang yang berpengaruh di China."
Yuki terkesan dengan cerita kakeknya. Ia tidak menyangka ayahnya memiliki bisnis yang begitu luas.
"Lalu, bagaimana dengan Haru Corp, Kakek?" tanya Yuki. "Bukankah Kakek mengumumkan telah menjualnya setelah Ayah meninggal?"
Tuan Haru tersenyum. "Itu hanya strategi, Yuki. Kakek tidak benar-benar menjualnya. Kakek hanya mengganti namanya dan merestrukturisasi perusahaan agar lebih sulit dilacak oleh musuh kita."
Yuki mengangguk paham. Ia semakin kagum dengan kecerdasan dan strategi kakeknya.
Yuki dan Tuan Haru melanjutkan obrolan mereka hingga larut malam. Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari bisnis, keluarga, hingga masa depan. Yuki merasa sangat beruntung memiliki kakek yang begitu menyayangi dan mendukungnya.