Setelah malam itu, Vivian tidak pernah meninggalkan sisiku. Dia selalu berpikir tidak ada orang baik di istana, tetapi sebenarnya, sejak aku mulai mengungkapkan perasaanku secara langsung, sebagian besar orang di istana sangat menghormatiku. Kecuali satu orang, Susana selalu memiliki sentuhan dingin di bawah mata abu-abu pucatnya.
"Nona, harap bangun."
Nada suara Susana selalu kaku, seperti mesin yang tak pernah melakukan kesalahan. Aku terbungkus di dalam selimut lembut. Selimut itu selembut awan, dan ketika aku membuka mata, tirai jendela Perancis di kamar tidurku sudah ditarik oleh para pelayan, dan sinar matahari pagi yang lembut menembus kaca, menerangi wajahku yang sedang terlelap.
"Selamat pagi, Susana."
Aku duduk dan menyapanya selamat pagi dengan suara tegas.
Apakah sikapnya terhadapku berubah atau tidak, aku menunjukkan sikapku kepadanya.
"Jika tidak ada yang mendesak, aku rasa kau tidak perlu membuka tirai untukku."