Bab 4

Setelah berhari-hari mengarungi lautan, persediaan makanan dan air mereka mulai menipis. Meski mereka berhasil menyelamatkan beberapa kotak makanan dari kapal yang tenggelam, Rara tahu mereka tidak bisa terus bergantung pada itu. Mereka harus menemukan daratan—atau setidaknya, sumber air tawar.

Suatu pagi, saat matahari baru saja terbit, Arga yang pertama kali melihatnya. "Hei, lihat itu!" teriaknya, menunjuk ke arah cakrawala.

Di kejauhan, ada bayangan samar yang tampak seperti daratan. Rara dan Awan segera menoleh, harapan baru menggelora di dada mereka.

"Apakah itu... pulau?" tanya Awan, matanya berbinar.

"Kita harus mendekat," kata Rara, segera mengambil dayung.

Mereka mendayung dengan semangat baru, mengarahkan rakit mereka ke arah bayangan itu. Semakin dekat, bayangan itu semakin jelas. Benar, itu adalah sebuah pulau kecil, dengan pepohonan hijau yang tampak menjulang di tengah lautan.

"Kita berhasil!" seru Arga, wajahnya berseri-seri.

Tapi Rara masih waspada. "Kita tidak tahu apa yang ada di sana. Hati-hati."

Saat mereka mendekati pulau itu, mereka melihat pantai berpasir putih yang indah. Air laut yang jernih memantulkan cahaya matahari, menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Tapi yang paling penting, mereka melihat aliran air kecil yang mengalir dari daratan ke laut.

"Air tawar!" seru Awan, hampir tidak percaya.

Mereki segera mendaratkan rakit mereka di pantai. Dengan hati-hati, mereka melompat ke daratan, merasakan pasir yang hangat di bawah kaki mereka. Arga langsung berlari ke arah aliran air itu, menciduk air dengan tangannya dan meminumnya dengan lahap.

"Pelan-pelan, Arga," kata Rara, tersenyum melihat antusiasme anak itu.

Mereka segera mengisi botol-botol mereka dengan air tawar, merasa lega karena akhirnya menemukan sumber air yang bisa mereka andalkan. Setelah itu, mereka mulai menjelajahi pulau itu.

Pulau itu tidak besar, tapi kaya akan sumber daya alam. Mereka menemukan pohon-pohon kelapa yang berbuah lebat, serta beberapa tanaman liar yang bisa dimakan. Rara bahkan menemukan jejak-jejak binatang kecil, yang mungkin bisa mereka buru untuk daging.

"Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu," kata Rara, memandang sekeliling dengan puas.

Tapi Awan masih penasaran. "Kenapa pulau ini tidak tenggelam seperti daratan lainnya?"

Pak Joko, yang selama ini diam, tiba-tiba berbicara. "Mungkin karena pulau ini terletak di daerah yang lebih tinggi. Tsunami mungkin tidak mencapai ketinggian ini."

Rara mengangguk. "Apapun alasannya, ini adalah kesempatan kita untuk memulihkan diri. Kita bisa membangun tempat tinggal sementara di sini, dan merencanakan langkah selanjutnya."

Mereka segera mulai bekerja. Dengan menggunakan kayu dari rakit mereka dan beberapa batang pohon yang tumbang, mereka membangun sebuah gubuk kecil di dekat pantai. Arga membantu mengumpulkan daun-daun besar untuk atap, sementara Awan dan Rara memperkuat struktur gubuk itu.

Saat malam tiba, mereka duduk di sekitar api unggun yang mereka buat, menikmati kelapa yang mereka panen dan beberapa ikan kecil yang berhasil mereka tangkap. Udara malam yang sejuk dan suara ombak yang tenang menciptakan suasana yang damai.

"Apakah kalian pikir ada orang lain di luar sana?" tanya Arga tiba-tiba, memecah keheningan.

Rara memandang ke arah lautan, matanya penuh renungan. "Mungkin. Tapi yang pasti, kita tidak sendirian. Kita punya satu sama lain."

Awan tersenyum, merasa lega. "Dan mungkin, suatu hari nanti, kita akan menemukan jawaban untuk semua ini. Kenapa dunia berubah, dan apa yang harus kita lakukan selanjutnya."

Mereka terdiam, memandang api unggun yang berkobar. Di tengah ketidakpastian, mereka menemukan kedamaian. Dan mungkin, pulau kecil ini adalah awal dari petualangan baru mereka.