Bab 5

Hari-hari berlalu dengan tenang di pulau itu. Rara, Awan, Arga, dan Pak Joko mulai membangun rutinitas baru. Mereka membagi tugas: Rara bertanggung jawab mencari makanan, Awan dan Arga mengumpulkan kayu dan sumber daya lainnya, sementara Pak Joko, dengan pengalamannya sebagai awak kapal, membantu memperbaiki dan memperkuat gubuk mereka.

Suatu pagi, saat Rara sedang menjelajahi bagian dalam pulau untuk mencari tanaman obat, dia menemukan sesuatu yang tidak terduga. Di balik semak-semak lebat, ada sebuah gua kecil yang tersembunyi. Mulut gua itu tertutup oleh tumbuhan merambat, tapi Rara bisa melihat ada sesuatu di dalamnya.

"Dengar, aku menemukan sesuatu!" seru Rara saat dia kembali ke gubuk.

Awan, Arga, dan Pak Joko segera mengikuti Rara ke gua itu. Dengan hati-hati, mereka membersihkan tumbuhan merambat dan memasuki gua. Di dalam, mereka terkejut melihat dinding gua yang dipenuhi dengan gambar-gambar kuno. Gambar-gambar itu menceritakan sebuah kisah—tentang sebuah bencana besar yang menenggelamkan dunia, dan sekelompok orang yang berhasil bertahan dengan membangun perahu besar.

"Ini... ini seperti cerita kita," gumam Awan, matanya terpaku pada gambar-gambar itu.

Tapi yang paling menarik perhatian mereka adalah sebuah peti kayu tua yang terletak di sudut gua. Peti itu terlihat sudah berusia puluhan tahun, mungkin bahkan lebih tua. Dengan hati-hati, mereka membuka peti itu.

Di dalamnya, mereka menemukan sebuah buku catatan tua yang masih utuh, serta beberapa peta kuno. Rara segera membuka buku catatan itu, dan matanya membesar saat dia membaca isinya.

"Buku ini menceritakan tentang sebuah kelompok yang selamat dari bencana serupa ratusan tahun yang lalu," kata Rara, suaranya bergetar. "Mereka juga terdampar di pulau ini, dan berhasil bertahan dengan membangun perahu besar. Tapi yang paling menarik... mereka menulis tentang sebuah tempat yang mereka sebut 'Tanah Baru'—sebuah daratan yang tidak tenggelam oleh bencana."

"Tanah Baru?" tanya Awan, matanya berbinar.

Rara mengangguk. "Ya. Menurut buku ini, Tanah Baru terletak di sebelah timur, di tengah lautan. Tapi mereka tidak pernah mencapainya karena... sesuatu menghalangi mereka."

"Apakah kita bisa mencoba mencapainya?" tanya Arga, wajahnya penuh harap.

Pak Joko menghela napas. "Ini tidak akan mudah. Tapi jika kita bisa membangun perahu yang cukup kuat, mungkin kita punya kesempatan."

Rara memandang mereka satu per satu. "Ini adalah kesempatan kita. Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya. Kita harus mencoba."

Mereka sepakat untuk mulai merencanakan perjalanan mereka. Dengan menggunakan peta kuno dan buku catatan itu sebagai panduan, mereka mulai mengumpulkan bahan untuk membangun perahu yang lebih besar dan lebih kuat.

Hari-hari berikutnya diisi dengan kerja keras. Mereka menebang pohon, mengumpulkan tali dari serat tanaman, dan bahkan menemukan beberapa paku dan alat logam di dalam gua yang bisa mereka gunakan. Pak Joko, dengan pengalamannya, memimpin pembangunan perahu itu.

Tapi di tengah semua persiapan itu, Awan masih merasa ada sesuatu yang mengganjal. Suatu malam, saat yang lain sudah tidur, dia duduk di tepi pantai, memandang lautan yang gelap.

"Kenapa kamu tidak tidur?" tanya Rara tiba-tiba, duduk di sebelahnya.

Awan menghela napas. "Aku hanya... merasa aneh. Seperti ada sesuatu yang belum kita ketahui. Sesuatu yang penting."

Rara memandangnya, matanya penuh pengertian. "Kita semua merasa begitu, Awan. Tapi yang penting adalah kita tidak menyerah. Kita punya harapan sekarang, dan itu yang terpenting."

Awan mengangguk, merasa sedikit lega. Tapi di lubuk hatinya, dia tahu petualangan mereka baru saja dimulai.