Bab 6

Beberapa minggu telah berlalu sejak mereka menemukan gua dan buku catatan kuno itu. Perahu yang mereka bangun perlahan mulai berbentuk. Dengan bantuan Pak Joko, mereka berhasil membuat kerangka perahu yang kokoh dari kayu-kayu besar yang mereka tebang. Rara dan Awan bertugas merakit dinding perahu menggunakan anyaman bambu dan daun-daun besar untuk melapisi bagian dalamnya, sementara Arga membantu mengumpulkan tali dari serat tanaman untuk mengikat setiap bagian dengan erat.

"Kita butuh layar," kata Pak Joko suatu sore, memandang ke arah langit yang mulai berubah warna. "Tanpa layar, kita akan bergantung sepenuhnya pada dayung, dan itu akan memakan waktu lama."

Rara mengangguk, mengusap keringat di dahinya. "Aku melihat beberapa kain terpal di antara puing-puing kapal yang kita temukan dulu. Mungkin kita bisa menggunakannya."

Mereka segera bekerja membuat layar dari kain terpal itu. Dengan menggunakan kayu panjang sebagai tiang layar, mereka berhasil membuat sistem layar sederhana yang bisa mereka kendalikan.

Saat perahu itu hampir selesai, Awan tiba-tiba merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia mendekati Rara, yang sedang mengikat tali terakhir.

"Rara, apa kamu yakin kita siap untuk ini?" tanyanya, suaranya rendah.

Rara berhenti sejenak, lalu memandangnya. "Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Awan. Tapi kita punya pilihan: tetap di sini dan bertahan, atau mencoba mencari sesuatu yang lebih baik. Aku memilih untuk mencoba."

Awan mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Tapi dia tahu Rara benar. Mereka tidak bisa tinggal di pulau ini selamanya.

Hari keberangkatan pun tiba. Mereka membawa persediaan makanan dan air yang cukup untuk beberapa minggu, serta beberapa alat yang mereka kumpulkan selama di pulau. Perahu itu, yang mereka beri nama "Harapan", terlihat sederhana tapi kokoh.

"Semoga ini cukup," gumam Pak Joko saat mereka mendorong perahu ke air.

Dengan hati-hati, mereka naik ke perahu. Rara memegang kemudi, sementara Awan dan Arga mengatur layar. Pak Joko duduk di bagian depan, memandang ke arah cakrawala.

Angin bertiup perlahan, menggerakkan layar mereka. Perahu itu mulai bergerak, meninggalkan pulau kecil yang telah menjadi rumah mereka selama beberapa minggu terakhir.

Arga memandang ke belakang, wajahnya campur aduk antara sedih dan bersemangat. "Selamat tinggal, pulau," bisiknya.

Mereka berlayar ke arah timur, mengikuti petunjuk dari peta kuno yang mereka temukan. Hari pertama berlalu dengan tenang. Lautan terlihat damai, dan angin bertiup cukup kencang untuk mendorong perahu mereka.

Tapi malam itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Saat matahari terbenam dan langit berubah menjadi gelap, Awan melihat cahaya aneh di kejauhan. Itu bukan cahaya bintang atau bulan—itu seperti cahaya yang bergerak, seperti lampu dari kapal lain.

"Lihat itu!" seru Awan, menunjuk ke arah cahaya itu.

Rara dan yang lain segera menoleh. "Apa itu?" tanya Arga, matanya berbinar.

Pak Joko mengerutkan kening. "Itu... seperti kapal. Tapi tidak mungkin. Selama ini, kita pikir kita sendirian."

Mereki segera mengubah arah perahu mereka, mendayung ke arah cahaya itu. Semakin dekat, semakin jelas bahwa itu memang sebuah kapal—kapal besar yang terbuat dari kayu, dengan layar yang terkembang.

Tapi yang paling mengejutkan adalah saat mereka mendekat, mereka melihat orang-orang di atas kapal itu. Orang-orang itu terlihat seperti mereka—survivor yang berusaha bertahan di dunia yang hancur.

"Hey! Kamu siapa?" teriak seseorang dari kapal itu.

Rara berdiri, melambai-lambaikan tangannya. "Kami juga survivor! Kami mencari Tanah Baru!"

Ada keheningan sejenak, lalu suara itu kembali. "Naik ke sini! Kami punya cerita untuk kalian."

Dengan hati-hati, mereka mengikat perahu mereka ke kapal besar itu dan naik ke atas. Saat mereka berdiri di dek kapal, mereka melihat sekelompok orang yang terdiri dari berbagai usia. Beberapa terlihat kurus dan lelah, tapi matanya penuh tekad.

Seorang wanita dengan rambut pendek dan wajah yang tegas mendekati mereka. "Selamat datang di Kapal 'Meridian'. Kami juga mencari Tanah Baru."

Rara tersenyum, merasa lega. "Kami tidak sendirian."

Wanita itu mengangguk. "Tidak. Dan mungkin, bersama-sama, kita bisa menemukan apa yang kita cari."

Mereki berdiri di dek kapal, memandang ke arah cakrawala. Di tengah lautan yang luas, mereka tahu masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Tapi setidaknya, mereka tidak sendirian.

Dan mungkin, di suatu tempat di ujung lautan ini, ada jawaban untuk semua pertanyaan mereka.