Setelah beberapa hari tinggal di "Pelampung Harapan", Rara, Awan, Arga, dan Pak Joko merasa sudah waktunya untuk melanjutkan perjalanan. Meski komunitas itu ramah dan menyediakan tempat berlindung yang aman, mereka tahu tujuan mereka adalah menemukan Tanah Baru. Kapten Lira dan kru "Meridian" juga sepakat untuk melanjutkan ekspedisi.
"Kami akan berlayar ke timur," kata Kapten Lira saat mereka bersiap untuk berangkat. "Menurut peta kuno yang kalian bawa, Tanah Baru seharusnya berada di arah itu."
Pemimpin komunitas "Pelampung Harapan", seorang pria bernama Pak Hendra, memberikan mereka persediaan tambahan dan beberapa petunjuk. "Kami pernah mendengar cerita dari survivor lain yang mengatakan mereka melihat daratan di sebelah timur. Tapi hati-hati—lautan di sana terkenal berbahaya."
Dengan persiapan yang matang, mereka meninggalkan platform itu dan kembali ke laut lepas. Perjalanan kali ini terasa berbeda. Ada harapan baru yang menggelora di antara mereka, tapi juga kecemasan akan apa yang mungkin menunggu di depan.
Hari-hari berlalu dengan tenang. Mereka melintasi lautan yang luas, mengikuti petunjuk dari peta kuno. Tapi suatu pagi, saat matahari baru saja terbit, Awan melihat sesuatu yang aneh di cakrawala.
"Lihat itu!" serunya, menunjuk ke arah timur.
Di kejauhan, ada bayangan samar yang tampak seperti daratan. Tapi yang membuat mereka terkejut adalah cahaya aneh yang memancar dari sana—cahaya yang berkilauan, seperti pantulan dari kaca atau logam.
"Apakah itu... Tanah Baru?" tanya Arga, matanya berbinar.
"Kita harus mendekat," kata Rara, suaranya penuh tekad.
Mereki mengarahkan kapal ke arah bayangan itu. Semakin dekat, semakin jelas bahwa itu memang daratan. Tapi yang mengejutkan mereka adalah apa yang mereka lihat.
Daratan itu bukan sekadar pulau biasa. Itu adalah sebuah struktur besar yang terbuat dari logam dan kaca, seperti kota modern yang terapung di atas air. Bangunan-bangunan tinggi menjulang, dengan jembatan yang menghubungkan satu struktur ke struktur lainnya.
"Ini... ini luar biasa," gumam Pak Joko, matanya tak percaya.
Tapi saat mereka mendekat, mereka melihat sesuatu yang membuat hati mereka berdebar kencang. Di antara bangunan-bangunan itu, ada orang-orang—banyak orang. Mereka terlihat sibuk, seperti sedang membangun atau memperbaiki sesuatu.
"Apakah kita akhirnya menemukannya?" tanya Awan, suaranya bergetar.
Rara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Sepertinya iya. Ini... ini Tanah Baru."
Kapal "Meridian" segera merapat ke dermaga kecil yang terbuat dari logam. Saat mereka turun, sekelompok orang mendekati mereka. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan seragam biru, tersenyum ramah.
"Selamat datang di New Atlantis," katanya.
"New Atlantis?" tanya Kapten Lira, matanya penuh keheranan.
Wanita itu mengangguk. "Ya. Ini adalah proyek rahasia yang dibangun sebelum bencana terjadi. Tujuannya adalah menciptakan tempat tinggal baru bagi umat manusia jika dunia lama hancur. Dan sekarang... ini adalah rumah kita."
Rara, Awan, Arga, dan Pak Joko saling memandang, merasa lega dan bahagia. Mereka akhirnya menemukan apa yang mereka cari—tempat yang aman, tempat mereka bisa memulai hidup baru.
Tapi di tengah kegembiraan itu, Awan masih merasa ada sesuatu yang mengganjal. Dia mendekati wanita itu dan bertanya, "Apakah ada orang lain yang selamat? Apakah kita benar-benar sendirian di dunia ini?"
Wanita itu tersenyum lembut. "Kami tidak sendirian. Masih ada komunitas lain di luar sana, dan kami sedang berusaha menghubungi mereka. Tapi yang terpenting adalah kita punya harapan sekarang. Dan dengan harapan, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik."
Mereki berdiri di dermaga, memandang ke arah kota yang megah itu. Di tengah kehancuran dunia lama, mereka menemukan cahaya baru—cahaya yang membimbing mereka menuju masa depan.