Kapal "Meridian" ternyata lebih besar dari yang mereka duga. Dengan tiga tiang layar dan dek yang luas, kapal itu mampu menampung puluhan orang. Rara, Awan, Arga, dan Pak Joko segera diperkenalkan kepada para penumpang lainnya. Mereka adalah sekelompok survivor dari berbagai latar belakang—ada yang dulunya nelayan, petani, bahkan ilmuwan.
Pemimpin kapal itu, seorang wanita bernama Kapten Lira, menjelaskan bahwa mereka telah berlayar selama berbulan-bulan, mencari tanda-tanda kehidupan dan sumber daya yang bisa membantu mereka bertahan.
"Kami menemukan beberapa pulau kecil," kata Kapten Lira, memandang ke arah cakrawala. "Tapi tidak ada yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal permanen. Kami juga mendengar cerita tentang Tanah Baru, tapi sejauh ini, itu masih menjadi misteri."
Rara mengangguk, merasa lega bahwa mereka tidak sendirian dalam pencarian ini. "Kami punya peta kuno dan buku catatan yang mungkin bisa membantu," katanya, menunjukkan peta yang mereka bawa dari gua.
Kapten Lira memeriksa peta itu dengan cermat. "Ini... menarik. Tapi kita harus hati-hati. Lautan ini penuh dengan bahaya yang tidak terduga."
Mereka sepakat untuk berlayar bersama, menggabungkan sumber daya dan pengetahuan mereka. Kapal "Meridian" memiliki persediaan makanan dan air yang lebih banyak, sementara Rara dan kelompoknya membawa informasi berharga dari buku catatan kuno.
Hari-hari berikutnya diisi dengan kegiatan yang padat. Awan dan Arga membantu membersihkan dek kapal, sementara Rara dan Pak Joko bekerja sama dengan kru kapal untuk mempelajari peta kuno itu lebih dalam.
Suatu malam, saat mereka berkumpul di dek kapal untuk makan malam, Awan bertanya kepada Kapten Lira, "Apa yang membuatmu yakin bahwa Tanah Baru itu benar-benar ada?"
Kapten Lira tersenyum, matanya memancarkan keteguhan. "Harapan, Awan. Itu satu-satunya yang kita punya. Jika kita berhenti percaya, maka kita sudah kalah."
Awan mengangguk, merasa terinspirasi oleh kata-kata itu. Tapi di lubuk hatinya, dia masih merasa ada sesuatu yang belum terungkap.
Beberapa hari kemudian, saat mereka berlayar melintasi daerah yang tenang, Arga tiba-tiba berteriak, "Lihat! Ada sesuatu di air!"
Mereka segera mendekati sisi kapal. Di dalam air, mereka melihat benda-benda aneh mengambang—potongan logam berkarat, pecahan kaca, dan bahkan beberapa barang elektronik yang sudah tidak berfungsi.
"Ini... seperti sampah," gumam Rara, matanya menyipit.
Tapi Pak Joko tiba-tiba terlihat tegang. "Ini bukan sampah biasa. Ini... seperti sisa-sisa peradaban. Mungkin kita mendekati sesuatu yang besar."
Kapten Lira memerintahkan kapal untuk melambat. Mereka mulai menjelajahi area itu dengan lebih hati-hati. Tidak lama kemudian, mereka melihat sesuatu yang membuat semua orang terkejut.
Di kejauhan, ada struktur besar yang mengambang di atas air. Itu seperti platform raksasa, terbuat dari logam dan kayu, dengan beberapa bangunan kecil di atasnya.
"Apa itu?" tanya Arga, matanya berbinar.
"Sepertinya... tempat tinggal," jawab Kapten Lira, suaranya penuh kekaguman.
Mereki segera mendekati platform itu. Saat mereka semakin dekat, mereka melihat ada orang-orang di atasnya—survivor lain yang berhasil membangun tempat tinggal di tengah lautan.
"Hey! Kamu siapa?" teriak seseorang dari platform itu.
Rara melambai-lambaikan tangannya. "Kami juga survivor! Kami mencari Tanah Baru!"
Orang-orang di platform itu tampak lega. Mereka membantu kapal "Meridian" untuk berlabuh, dan segera mengundang mereka naik ke platform.
Platform itu ternyata adalah sebuah komunitas kecil yang terdiri dari sekitar lima puluh orang. Mereka telah hidup di sana selama beberapa bulan, membangun tempat tinggal dari bahan-bahan yang mereka kumpulkan dari laut.
"Kami menyebutnya 'Pelampung Harapan'," kata seorang pria tua yang menjadi pemimpin komunitas itu. "Ini adalah tempat sementara, tapi setidaknya kami aman di sini."
Rara dan kelompoknya merasa kagum. Mereka tidak menyangka akan menemukan komunitas lain di tengah lautan yang luas.
"Apakah kalian pernah mendengar tentang Tanah Baru?" tanya Kapten Lira.
Pria tua itu mengangguk. "Ya. Tapi itu masih menjadi misteri. Kami hanya mendengar cerita-cerita dari survivor yang lewat."
Mereki berdiskusi panjang lebar, berbagi cerita dan informasi. Rara merasa bahwa setiap pertemuan baru membawa mereka selangkah lebih dekat ke jawaban yang mereka cari.
Malam itu, saat mereka berkumpul di sekitar api unggun di atas platform, Awan memandang ke arah langit yang dipenuhi bintang.
"Kita mungkin tidak tahu apa yang menunggu di depan," katanya, suaranya lembut. "Tapi setidaknya, kita punya satu sama lain."
Rara tersenyum, merasakan kedamaian yang jarang dia rasakan sejak bencana terjadi. "Dan mungkin, itu yang terpenting."