New Atlantis ternyata lebih menakjubkan dari yang mereka bayangkan. Kota terapung itu dilengkapi dengan sistem energi terbarukan, kebun hidroponik, dan bahkan fasilitas pengolahan air laut menjadi air tawar. Penduduknya, yang terdiri dari para ilmuwan, insinyur, dan survivor biasa, bekerja sama untuk mempertahankan keberlangsungan hidup di tengah lautan yang tak berujung.
Rara, Awan, Arga, dan Pak Joko diperkenalkan kepada pemimpin New Atlantis, seorang pria bernama Dr. Erlangga. Dia adalah salah satu arsitek utama proyek ini sebelum bencana terjadi.
"Kami membangun New Atlantis sebagai cadangan jika bencana global terjadi," jelas Dr. Erlangga saat memberi mereka tur keliling kota. "Tapi kami tidak menyangka bencana akan datang secepat ini. Untungnya, sebagian besar sistem masih berfungsi."
Awan memandang sekeliling dengan kagum, tapi hatinya masih dipenuhi pertanyaan. "Apakah kalian tahu penyebab tsunami itu?"
Dr. Erlangga menghela napas. "Menurut data kami, itu akibat pergeseran lempeng bumi yang ekstrem, dipicu oleh perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Tapi... ada sesuatu yang tidak wajar. Seolah ada faktor lain yang mempercepat bencana ini."
Rara mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Dr. Erlangga menatapnya tajam. "Kami mendeteksi sinyal aneh dari dasar laut beberapa hari sebelum tsunami terjadi. Seperti... sesuatu yang *dibangunkan*."
Pernyataan itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang tiba-tiba. Tapi sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, Dr. Erlangga mengalihkan topik.
"Kalian bisa tinggal di sini. New Atlantis adalah rumah untuk semua yang ingin berjuang demi masa depan."
Mereka diberi tempat tinggal di sebuah unit apartemen kecil dengan pemandangan lautan. Saat malam tiba, Awan duduk di balkon, matanya menatap langit berbintang.
"Kamu masih tidak percaya, ya?" tanya Rara, bergabung dengannya.
Awan mengangguk. "Semua ini terlalu sempurna, Rara. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan."
"Kita sudah melalui banyak hal. Mungkin ini saatnya kita beristirahat," kata Rara, mencoba meyakinkannya.
Tapi Awan tidak bisa mengusir perasaan itu.
---
Keesokan harinya, saat mereka menjelajahi perpustakaan digital New Atlantis, Awan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Di antara arsip proyek, ada dokumen bertajuk **"Proyek Naga Laut"** yang terkunci. Deskripsi singkatnya berbunyi: *Eksperimen pengendalian lempeng tektonik melalui teknologi sonar frekuensi tinggi.*
"Apa ini?" gumam Awan, mencoba membuka dokumen itu, tapi aksesnya ditolak.
"Sedang mencari sesuatu?" tiba-tiba suara Dr. Erlangga terdengar dari belakangnya.
Awan menoleh, kaget. "Saya... hanya penasaran."
Dr. Erlangga tersenyum, tapi matanya dingin. "Kadang, rasa penasaran bisa membawa kita ke tempat yang berbahaya. Lebih baik fokus pada masa depan, bukan masa lalu."
Peringatan itu jelas. Awan mengangguk pelan, tapi di dalam hatinya, tekadnya membara.
---
Malam itu, Awan menyelinap ke ruang server New Atlantis dengan bantuan Pak Joko, yang masih mahir dalam hal teknologi. Mereka berhasil membobol sistem keamanan dan mengakses dokumen "Proyek Naga Laut".
Yang mereka temukan membuat darah mereka membeku.
"Proyek ini... mereka mencoba *mengendalikan* lempeng bumi untuk mencegah bencana," bisik Pak Joko, matanya terpaku pada layar. "Tapi sesuatu gagal. Frekuensi sonar yang mereka gunakan justru memicu reaksi berantai di mantel bumi."
Awan merasa napasnya tertahan. "Jadi... tsunami itu bukan hanya bencana alam. Ini juga kesalahan *mereka*."
Tiba-tiba, lampu di ruangan itu menyala terang. Dr. Erlangga dan beberapa penjaga berdiri di pintu, wajah mereka keras.
"Saya peringatkan kalian," kata Dr. Erlangga dengan suara datar. "Tapi kalian memilih untuk mengabaikannya."
Rara dan Arga, yang menunggu di luar, mendengar keributan dan segera berlari ke ruangan itu.
"Apa yang terjadi?" teriak Rara.
Dr. Erlangga menatap mereka semua. "New Atlantis dibangun di atas kebohongan. Tapi kebenaran bisa menghancurkan segalanya. Kalian punya dua pilihan: ikut kami, atau kami akan mengusir kalian."
Awan memandang Rara, Arga, dan Pak Joko. Di mata mereka, dia melihat ketakutan yang sama. Tapi dia juga melihat keberanian.
"Kami tidak bisa tinggal di sini," kata Awan tegas. "Kami akan pergi."
Dr. Erlangga mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi. "Kalian punya waktu sampai pagi."
---
Saat fajar menyingsing, mereka kembali ke kapal "Meridian" dengan persediaan terbatas. Kapten Lira, yang juga menolak untuk tunduk pada Dr. Erlangga, memutuskan untuk bergabung dengan mereka.
"Kita harus mencari survivor lain dan memberitahu mereka kebenaran," kata Rara, matanya berapi-api.
Awan memandang ke arah New Atlantis yang perlahan menjauh. "Dan mungkin, suatu hari nanti, kita akan kembali untuk memperbaiki semua ini."
Kapal "Meridian" berlayar meninggalkan kota terapung itu, membawa serta harapan baru: bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.