Setelah Dani selesai menceritakan sedikit kisah tentang mansion ini, Samsul memutuskan untuk keluar dari gudang. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah hati-hati, sementara kucing hitam yang sebelumnya bertengger di atas barang-barang di dalam gudang kini melompat turun. Kucing itu berjalan mendahului, sesekali menoleh ke belakang seakan memberi isyarat agar Samsul mengikutinya.
Samsul tetap waspada, menggenggam pistolnya erat-erat. Ia tahu bahwa monster itu kemungkinan besar masih berkeliaran di lantai satu, mencarinya. Jika monster itu benar-benar muncul kembali, ia harus siap menghadapi situasi yang lebih berbahaya dari sebelumnya.
Kucing itu terus berjalan dengan tenang, sesekali berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Samsul memperhatikan gerak-gerik si kucing, merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah kamar kosong yang tampak seperti ruang pribadi seseorang. Di dalam ruangan itu, terdapat banyak sekali korek api berserakan di atas meja kayu yang sudah tua dan berdebu.
"Apakah ini tempat pemimpin penjaga mansion ini?" gumam Samsul pelan, matanya menelusuri sekeliling ruangan dengan penuh rasa ingin tahu. Ia kemudian mendekati meja tersebut dan mulai memilah satu per satu korek api yang ada di sana, mencari mana yang masih bisa digunakan. Tangannya bergerak cepat, menyaring korek api yang sudah rusak dan tidak bisa menyala lagi, hingga akhirnya ia menemukan satu yang masih penuh.
"Meong!" Kucing itu mengeong dengan suara khasnya, seakan bertanya apakah Samsul sudah menemukan apa yang ia cari.
Samsul menoleh ke arah kucing itu, lalu berjongkok sedikit agar lebih dekat dengannya. Dengan senyum kecil di wajahnya, ia bertanya spontan, "Di mana ruangan selanjutnya, Ming-Ming?"
Kucing itu memiringkan kepalanya sedikit, tampak kebingungan mendengar panggilan tersebut. "Meong? (Apa itu Ming-Ming?)"
Samsul terkekeh kecil, sadar bahwa ia baru saja memberi nama asal-asalan kepada si kucing. "Oh, maksudnya di mana tempat selanjutnya yang harus kita datangi?" katanya, sambil nyengir.
Kucing itu mengeong lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas, seolah mengerti maksud Samsul. "Meong! (Ayo ikut aku!)"
Tanpa banyak bicara lagi, Samsul mengikuti kucing itu, melangkah lebih hati-hati dari sebelumnya. Ia tahu bahwa mansion ini masih menyimpan banyak misteri, dan setiap langkah yang ia ambil bisa saja membawanya ke bahaya yang lebih besar.
Saat mereka berjalan menyusuri lorong yang gelap dan sunyi, Samsul tiba-tiba melihat bayangan seseorang di kejauhan. Sosok itu berdiri dengan tubuh gemetar, tampak seperti seseorang yang baru saja mengalami kejadian mengerikan. Samsul menyipitkan matanya, berusaha mengenali siapa orang itu.
"Rina?" gumamnya pelan. Ia mempercepat langkahnya, mendekati sosok tersebut. Saat sudah cukup dekat, ia dapat melihat wajah wanita bangsawan itu dengan jelas. Rina tampak sangat ketakutan, tubuhnya gemetar hebat, dan wajahnya dipenuhi ekspresi panik.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Samsul dengan nada khawatir.
Rina menatapnya dengan mata yang basah oleh air mata. "A-aku... aku bertemu monster itu... Dia mengejarku… Aku berusaha melarikan diri… Tapi… aku kehilangan sahabatku, Maya…" suaranya terdengar lemah, nyaris tak terdengar.
Samsul menghela napas, merasa iba dengan kondisi wanita itu. Ia menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Lebih baik kau bersembunyi di kamar kosong itu dulu. Atau kalau kau mau, bisa juga bersembunyi di gudang sebelah sana. Di sana ada Dani, dia juga sedang bersembunyi. Aku akan mencari cara untuk mengalahkan monster itu. Setelah semuanya aman, aku pasti akan kembali dan membawamu serta Maya keluar dari tempat ini."
Namun, Rina tampak tidak setuju dengan saran tersebut. Ia langsung menggelengkan kepalanya dengan keras. "T-tidak! Aku tidak mau! Aku ingin mencari Maya sendiri!" teriaknya sebelum tiba-tiba berbalik dan berlari menjauh dari Samsul.
"Hei! Tunggu! Jangan lari!" teriak Samsul, langsung mengejarnya.
Rina berlari dengan kecepatan yang tidak masuk akal, bahkan untuk seseorang yang mengenakan gaun panjang seperti dirinya. Samsul cukup terkejut seorang wanita bangsawan yang seharusnya tidak terbiasa bergerak bebas, ternyata bisa berlari secepat itu.
Namun, meski begitu, Samsul tetap berusaha mengejarnya. Ia mempercepat langkahnya, dan akhirnya berhasil meraih pergelangan tangan wanita itu. Ia menahannya agar tidak pergi lebih jauh.
"Mengapa kau lari?" tanya Samsul dengan nada sedikit kesal.
Rina menundukkan wajahnya, menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "A-aku ingin mencari Maya!" suaranya terdengar lebih keras kali ini, namun tetap memiliki nada lembut khasnya.
Samsul menghela napas panjang. "Aku tahu di mana Maya. Jadi tolonglah, dengarkan aku. Kau harus tetap berada di tempat yang aman. Jika kau terus berlari seperti ini, kau hanya akan semakin berisiko bertemu monster itu!"
Rina tetap bersikeras. "T-tidak! Aku tetap ingin menemukannya sendiri!"
Samsul akhirnya kehilangan kesabaran. Ia melepaskan genggamannya dan menatap wanita itu dengan ekspresi dingin. "Kau cukup egois," katanya, suaranya terdengar datar.
Rina terdiam, seolah tidak percaya mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut Samsul.
"Jika itu yang kau inginkan, silakan pergi ke mana pun yang kau mau. Aku sudah tidak peduli lagi," lanjut Samsul sebelum berbalik dan berjalan menjauh.
Meski terlihat kesal, jauh di dalam hati, Samsul masih merasa kasihan terhadap Rina. Namun, ia tidak bisa terus-menerus membuang waktu di sini. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan, dan ia tidak bisa membiarkan emosi menghalanginya.
"Semoga saja ketika aku dan para tentara berhasil mengalahkan monster itu, dia masih selamat," gumamnya dalam hati. "Agar kami semua bisa keluar dari tempat ini bersama-sama."
Meskipun ia sudah bersikap dingin terhadap Rina, jauh di lubuk hatinya, ia masih berharap agar semua orang yang terjebak di mansion ini bisa bertahan hidup.
Seperti biasa, Samsul melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan penuh kewaspadaan di lorong gelap mansion yang menyeramkan. Namun, setelah beberapa saat berjalan, ia menyadari sesuatu.
"Tunggu… kemana perginya kucing itu?" gumamnya, matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari keberadaan makhluk kecil berbulu hitam yang sebelumnya selalu menemaninya.
Ia mengernyit, merasa sedikit bingung. "Kemungkinan besar, kucing itu sudah sampai di tempat yang ia tuju... Tapi di mana tempat itu?" Samsul berbicara kepada dirinya sendiri, mencoba memahami arah tujuan kucing tersebut.
Namun, karena tidak menemukan petunjuk, Samsul akhirnya menghela napas panjang dan memutuskan, "Baiklah, aku harus mencari sendiri."
Dengan tekad yang kuat, ia kembali melangkah, meski kali ini tanpa panduan si kucing misterius. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara mengerikan yang membuat bulu kuduknya meremang.
"WOARGHHH!!"
Suara auman menggelegar menggema di seluruh lorong, suara yang begitu dalam dan ganas hingga membuat jantung Samsul berdegup lebih kencang. Seketika, tubuhnya menegang, dan ia spontan menoleh ke belakang dengan tatapan ngeri.
"Itu…" suaranya hampir tercekat di tenggorokan.
Darahnya berdesir saat menyadari bahwa suara itu berasal dari arah yang sama dengan tempat Rina berlari sebelumnya.
"Tidak mungkin… apakah si putri bangsawan itu bertemu monster?" gumamnya, wajahnya mendadak pucat.
Pikiran buruk langsung memenuhi kepalanya. Jika Rina benar-benar bertemu dengan monster itu, maka peluangnya untuk bertahan hidup sangatlah kecil. Ia hanya seorang wanita bangsawan yang tidak terbiasa menghadapi bahaya, dan ia bahkan tidak memiliki senjata untuk melawan.
Samsul tidak bisa diam saja.
Tanpa berpikir panjang, meskipun rasa takut menghantui dirinya, ia tetap harus pergi ke sana. Ia tidak bisa mengabaikan wanita itu begitu saja, terutama karena ia sudah berjanji pada Maya bahwa ia akan menjaga Rina.
Dengan cepat, Samsul berlari secepat mungkin, melewati lorong-lorong gelap yang dipenuhi bayangan menyeramkan. Napasnya memburu, langkah kakinya menggema di sepanjang lantai kayu yang berderit setiap kali diinjak. Ia terus mengikuti arah suara monster itu, berharap bisa sampai tepat waktu sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
Saat akhirnya ia tiba di tangga menuju lantai dua, ia menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah.
Matanya langsung menyapu sekeliling. Namun, yang membuatnya semakin cemas adalah kenyataan bahwa tidak ada siapa pun di sana.
"Dimana mereka?" Samsul menggumam, matanya masih menelusuri area sekitar. "Dimana Rina? Dan di mana monster itu?"
Kegelisahan mulai merayapi benaknya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Tak ingin membuang waktu, ia segera mencari ke setiap sudut ruangan, mencoba menemukan jejak keberadaan Rina atau tanda-tanda pertempuran yang mungkin terjadi. Namun, yang ia temukan justru sesuatu yang lain… sesuatu yang jauh lebih mengejutkan.
Di pojok ruangan, tersungkur di lantai, adalah sosok kucing hitam yang selama ini menemaninya.
Samsul terkejut. Ia segera menghampiri kucing itu, dan matanya melebar ketika melihat kondisinya.
Kucing itu terluka parah. Tubuhnya penuh dengan luka cakaran dan gigitan, bulu-bulunya berantakan dan basah oleh darah. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar, seakan baru saja melewati pertempuran sengit yang hampir merenggut nyawanya.
Tanpa ragu, Samsul langsung mengangkat kucing itu ke dalam pelukannya. "Hei… bertahanlah," ucapnya dengan suara pelan, mencoba menenangkan kucing itu meskipun hatinya sendiri dipenuhi kecemasan.
Ia tahu ia tidak bisa membiarkan kucing ini mati begitu saja. Bagaimanapun, makhluk kecil ini telah membantunya sejauh ini.
Samsul segera mencari kamar kosong. Beruntung, mansion ini memiliki banyak ruangan yang bisa dimasuki dengan mudah. Ia menemukan satu ruangan yang cukup bersih dibanding yang lain, lalu dengan cepat masuk dan menutup pintu di belakangnya.
Setelah memastikan bahwa ruangan ini aman, ia segera menurunkan tasnya dan mengeluarkan beberapa botol obat-obatan. Ia membuka satu botol antiseptik dan menuangkannya ke kain sebelum mulai membersihkan luka-luka di tubuh kucing itu.
"Untung saja aku masih punya persediaan," gumamnya dengan sedikit lega, meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan.
Tangannya bekerja dengan cepat namun hati-hati. Ia membalut luka-luka kucing itu satu per satu, memastikan bahwa tidak ada yang terinfeksi. Sesekali, kucing itu mengeluarkan suara lemah, tanda bahwa ia masih sadar meskipun kondisinya kritis.
Samsul terus merawatnya, berharap bahwa makhluk kecil ini bisa bertahan.
Namun, sebuah pertanyaan mengganggunya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Jelas sekali bahwa kucing ini baru saja bertarung dengan sesuatu. Tapi… apakah itu benar-benar monster yang ia dengar tadi?
Dan jika memang benar, apakah itu berarti monster itu telah pergi? Atau masih mengintai di suatu tempat, menunggu kesempatan untuk menyerang lagi?
Ia tidak tahu jawabannya.
Yang jelas, kini ia harus membuat keputusan. Ia harus memilih apakah akan tetap di sini untuk menjaga kucing itu sampai pulih, atau kembali keluar untuk mencari Rina yang mungkin masih dalam bahaya.
Dalam pikirannya, ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan siapa pun mati di tempat ini.
Tapi… apakah kucing itu akan sembuh?
Atau…
Apakah ia akan kehilangan satu lagi sekutunya di mansion mengerikan ini?
Tidak ada yang tahu pasti…
To be continued…