mansion terkutuk dan rahasia kucing hitam

Samsul dengan cepat mencari kamar kosong untuk merawat kucing hitam yang terluka. Dengan penuh kehati-hatian, ia mulai membersihkan luka-luka di tubuh kucing itu, menyeka darah yang menodai bulu hitam pekatnya. Setiap goresan tampak dalam, membuatnya merasa semakin khawatir. Namun, Samsul tak punya pilihan lain selain melakukan yang terbaik untuk menyelamatkannya.

Sambil mengobati luka-luka tersebut, ia bergumam pelan, seakan mencoba menenangkan dirinya sendiri, "Bertahanlah… Kau pasti bisa melewati ini."

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Samsul selesai membalut luka-luka kucing itu. Ia menghela napas panjang sebelum perlahan mendekatkan tangannya ke dada kucing tersebut, mencoba merasakan apakah masih ada tanda-tanda kehidupan.

"Aku harap kau masih hidup…" ucapnya pelan dengan sedikit kecemasan.

Saat ia merasakan hembusan napas pelan dari hidung kucing itu, Samsul langsung merasa lega. "Syukurlah… Kau masih bernapas," ujarnya, sambil tersenyum kecil.

Kelelahan setelah berlari, bertarung dengan ketakutan, dan merawat kucing itu, Samsul akhirnya menyerah pada rasa kantuk yang menyerangnya. Tanpa ia sadari, tubuhnya mulai lemas, dan dalam sekejap, ia tertidur di lantai kamar kosong itu, dengan kucing hitam terbaring tak jauh darinya.

Dalam tidurnya, Samsul merasakan ada sesuatu yang aneh. Di antara mimpi-mimpinya yang samar, ia mendengar suara yang memanggilnya.

"Samsul... Samsul..."

Matanya perlahan terbuka, tapi ruangan masih terasa gelap. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup di dalam kamar. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas.

"Samsul... Aku ada di sini, di sebelahmu..."

Jantung Samsul berdegup kencang. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari asal suara itu, namun tidak melihat siapa pun di dalam kamar. Rasa waspada langsung menyeruak dalam dirinya.

"Siapa yang memanggilku?" tanyanya dengan nada tegang, bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Hening.

Namun, beberapa detik kemudian, suara itu terdengar lagi.

"Samsul… Ini aku…"

Samsul segera menoleh ke arah suara itu dan langsung terbelalak.

Di sana, tepat di sampingnya, kucing hitam yang tadi ia selamatkan kini tengah duduk tegak, menatapnya dengan mata kuning tajam yang bersinar redup di tengah kegelapan.

Tapi bukan itu yang mengejutkannya.

Yang membuatnya benar-benar terkejut adalah…

Kucing itu berbicara.

"Kau… Kau bisa berbicara?!" Samsul nyaris berteriak, matanya melebar karena tak percaya.

Kucing hitam itu mengedipkan matanya dengan santai, lalu mengibaskan ekornya dengan tenang sebelum menjawab, "Iya, ini aku… Kucing yang kau panggil 'Ming-Ming'."

Nada suaranya terdengar sedikit bercanda, seolah situasi ini adalah hal biasa baginya.

Samsul masih tak bisa memproses apa yang sedang terjadi. "Tidak… Tidak mungkin. Aku tidak percaya ada kucing yang bisa berbicara," katanya, mencoba menyangkal kenyataan di depan matanya.

Kucing itu mendengus kecil. "Tapi sekarang kau percaya, kan?" tanyanya sambil memiringkan kepalanya sedikit.

Samsul terdiam. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menerima kenyataan bahwa apa yang ia lihat dan dengar ini bukan sekadar ilusi atau mimpi aneh.

"Baiklah… Jadi kau sudah sadar?" tanyanya akhirnya.

"Ya… Aku merasa jauh lebih baik sekarang," jawab kucing itu. "Jujur saja, aku benar-benar berpikir bahwa aku akan mati di tempat terkutuk ini."

Samsul memperhatikan wajah kucing itu dengan seksama. Ada sorot kesedihan di matanya, seolah ada sesuatu yang telah ia alami selama bertahun-tahun.

Kucing itu kemudian melanjutkan, "Sebenarnya… Aku bahkan sempat berharap mati saja. Aku sudah terlalu lama terjebak di tempat ini… Bertahun-tahun lamanya."

Mendengar itu, Samsul langsung terkejut. "Bertahun-tahun?" ulangnya, hampir tak percaya.

Kucing itu mengangguk pelan.

"Jadi… Kau pasti tahu kisah asli tentang mansion ini, bukan?" tanya Samsul, kini semakin tertarik untuk mengetahui kebenaran di balik tempat menyeramkan ini.

Kucing itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Ya… Aku tahu sedikit."

Ia menarik napas sebelum mulai menceritakan kisahnya.

"Awalnya, mansion ini adalah tempat yang biasa saja. Sebuah keluarga bangsawan membelinya dan mulai membersihkannya, mengubahnya menjadi tempat tinggal yang megah. Mereka memiliki banyak pelayan dan penjaga, dan selama beberapa tahun pertama, semuanya tampak normal."

Samsul mendengarkan dengan serius.

"Tapi… Di antara anggota keluarga bangsawan itu, ada satu orang yang sangat terobsesi dengan tanaman. Ia mempelajari berbagai ilmu, mulai dari genetika klasik, genetika molekuler, hingga bioteknologi tanaman. Ia sangat mendalami semua itu, mencari cara agar tanaman bisa hidup… bahkan bisa bergerak layaknya manusia."

Mata Samsul membelalak mendengar cerita itu.

"Apa? Tanaman yang bisa hidup dan bergerak?"

Kucing itu mengangguk. "Ya… Pada awalnya, aku pikir ia hanya seorang ilmuwan gila yang terobsesi dengan tanaman. Tapi semuanya berubah ketika orang tuanya meninggal. Ia mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Ia mengurung diri di kamar selama berhari-hari, tak pernah keluar."

Kucing itu menghela napas sebelum melanjutkan, "Lalu, tak lama setelah itu, pelayan pertama di mansion ini menghilang. Sejak saat itu, mimpi buruk dimulai."

Samsul merasakan hawa dingin menyelimutinya.

"Selama tiga tahun berturut-turut, banyak pelayan dan penjaga yang datang bekerja di mansion ini… dan banyak dari mereka menghilang tanpa jejak. Dani juga pernah menyebutkan hal ini, bukan?"

Samsul mengangguk, mengingat kembali ucapan Dani sebelumnya.

Kucing itu melanjutkan, "Aku sendiri tidak sengaja masuk ke ruangan rahasianya suatu hari. Aku menemukan sesuatu yang tidak seharusnya kulihat… dan aku ketahuan. Aku dijadikan eksperimen olehnya. Sebelum aku menyadarinya, aku telah berubah… menjadi seekor kucing."

Hening.

Samsul masih mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar.

"Jadi… Siapa sebenarnya orang itu?" tanyanya dengan nada serius.

Kucing hitam itu tiba-tiba terdiam. Matanya menunduk, seakan tak ingin menjawab pertanyaan itu.

Samsul menghela napas, sedikit kesal. "Baiklah, kalau kau tidak ingin mengatakan siapa pelakunya, aku tidak akan memaksa. Tapi setidaknya, kita harus bekerja sama untuk mengalahkan monster yang berkeliaran di sini dan menemukan jalan keluar."

Kucing itu mendongak, menatap Samsul sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Ya… Kau benar."

Lalu, setelah beberapa saat hening, kucing itu berkata, "Aku sudah menceritakan kisahku… Kenapa kau tidak menceritakan kisahmu juga?"

Samsul langsung membuang muka. "Itu tidak perlu."

"Kenapa?"

Samsul menghela napas dalam sebelum menjawab dengan suara pelan, "Karena ceritaku tidak sepenting dan seseram ceritamu."

Kucing itu menatapnya dalam diam, seolah bisa melihat sesuatu yang disembunyikan Samsul.

Samsul duduk di sudut ruangan yang remang-remang, menatap kucing hitam yang kini menatapnya balik dengan mata keemasan yang berkilauan di bawah cahaya redup. Ia masih belum terbiasa berbicara dengan seekor kucing, tapi entah kenapa, percakapan ini terasa begitu alami.

Kucing itu menatapnya tajam sebelum membuka mulut. "Ayolah, hanya sedikit saja... Ngomong-ngomong, apakah kau punya kucing?" tanyanya dengan nada penasaran.

Samsul menghela napas sebentar sebelum menjawab, "Aku... memiliki dua kucing di rumah. Mereka punya tubuh yang mirip denganmu, bulu hitam pekat, dan ada sedikit warna putih di bawah badan mereka persis sepertimu."

Kucing itu mendongakkan kepalanya sedikit, seolah tengah berpikir. "Namanya siapa? Apakah salah satunya bernama Ming-Ming?" tanyanya.

Samsul tersenyum tipis. "Yang paling besar namanya Ipul. Nah, yang kecil masih dalam perdebatan di keluargaku. Ada yang ingin memberinya nama Boy, ada yang memanggilnya Batman karena corak wajahnya mirip topeng Batman. Ada juga yang menyebutnya Gembul karena tubuhnya agak bulat. Pokoknya, namanya masih belum diputuskan."

Kucing itu mengangguk pelan. "Hmm... kemungkinan besar kucing kecil itu bernama Ming-Ming," ujarnya penuh keyakinan.

Samsul tertawa kecil, sedikit terhibur oleh percakapan aneh ini. "Hehehe, itu nama yang kubuat," katanya dengan wajah sedikit bangga.

Setelah beberapa saat hening, Samsul menatap kucing itu dengan sedikit rasa penasaran. "Baiklah, sekarang giliran aku bertanya. Apakah kau punya teman?" tanyanya.

Jawaban kucing itu singkat dan tegas. "Tidak."

Samsul mengernyit. "Kenapa?"

Kucing itu mengangkat bahunya, atau setidaknya mencoba menggerakkan tubuhnya seperti manusia yang mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak suka berurusan dengan makhluk yang hanya tahu bagaimana menyalahkan orang lain," jawabnya dengan nada datar.

Samsul merasa ada sesuatu yang familiar dalam jawaban itu. "Bagaimana maksudmu? Menyalahkan dalam hal apa?" tanyanya ingin tahu.

"Seperti... saat kau menolak ajakan teman-temanmu untuk nongkrong, lalu mereka malah mencemoohmu, bukannya mencoba memahami situasimu," jawab kucing itu santai.

Samsul terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Yaah, itu sering terjadi padaku. Mereka selalu mengajak nongkrong, tapi aku jarang ikut. Karena itu, aku sering dikatai 'anak mami' atau diberi julukan aneh lainnya," ucapnya dengan nada sedikit kesal.

Kucing itu menatap Samsul dengan ekspresi penasaran. "Tapi bukankah wajar jika teman-temanmu merasa kesal? Bagaimanapun, mereka ingin kau ikut bersama mereka," katanya.

Samsul menghela napas berat. "Sebenarnya aku mengerti perasaan mereka. Tapi yang mereka tidak pahami adalah kenyataan bahwa aku ini pengangguran. Rumah mereka jauh, dan setiap kali aku ingin pergi ke sana, aku harus mengeluarkan uang untuk ongkos atau sekadar isi bensin. Kalau aku pergi, itu berarti aku harus meminta uang dari orang tuaku. Dan aku tidak mau terus-menerus menyusahkan mereka," jelasnya.

Kucing itu mengangguk perlahan. "Hmm... kalau begitu, kenapa kau tidak mencari pekerjaan saja?" tanyanya dengan nada serius.

Samsul tertawa kecil, tetapi ada kepahitan dalam tawanya. "Yaah, kalau itu sih ceritanya panjang. Tapi aku akan coba menceritakannya secara singkat. Dulu aku pernah bekerja dengan seseorang, tapi setelah beberapa bulan, aku jatuh sakit. Aku sampai harus dirawat di rumah sakit. Sejak sekolah, aku memang sudah memiliki penyakit ini. Karena itu, orang tuaku tidak mengizinkanku bekerja. Tapi bukan berarti aku hanya berdiam diri. Aku mencari cara agar bisa menghasilkan uang sendiri. Aku mencoba membuat konten, tapi sudah dua tahun berlalu dan aku belum mendapatkan satu rupiah pun dari sana. Aku juga mencoba berbagai cara lain, tapi tetap saja tidak berhasil. Kadang aku merasa lelah. Aku ingin mandiri, tidak terus bergantung pada orang tua, tapi kenyataannya tidak semudah itu," ucapnya dengan nada lirih.

Kucing itu diam sejenak sebelum berkata, "Kedengarannya cukup berat. Tapi apakah itu alasan utama kenapa kau tidak memiliki teman?"

Samsul tersenyum tipis, tapi senyumnya penuh kepedihan. "Bukan hanya itu. Saat aku membutuhkan mereka, mereka selalu tidak ada. Tapi saat mereka membutuhkan sesuatu dariku, mereka tiba-tiba mendekat. Kalau mereka butuh teman untuk bermain, aku selalu menemani mereka. Tapi kalau aku yang butuh teman, mereka malah mencemoohku, bilang aku 'kekanak-kanakan'. Padahal, saat mereka bersikap seperti itu, aku tidak pernah menghakimi mereka. Mereka lebih sibuk dengan hal-hal yang menurutku tidak penting, seperti pacaran, jalan-jalan tanpa tujuan, atau sekadar menghabiskan uang tanpa berpikir panjang. Sedangkan aku... sebagai teman, aku merasa diabaikan.

Aku pernah masuk rumah sakit empat kali karena penyakitku, dan tidak satu pun dari mereka yang datang menjenguk. Bahkan sekadar bertanya kabar pun tidak. Sekarang setelah dewasa, mereka tiba-tiba ingin mengajakku bermain lagi, tapi aku tidak punya uang untuk itu. Masa aku harus terus meminta uang dari orang tua? Aku ingin bermain dan nongkrong seperti mereka, tapi yang lebih menyakitkan adalah ketika aku sudah mengusahakan segalanya, mengumpulkan uang agar bisa pergi bersama mereka, tapi saat bertemu, mereka hanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Kalau akhirnya hanya diam dan main HP, kenapa tidak chatting saja?" ujar Samsul dengan ekspresi penuh kekecewaan.

Kucing itu mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Hmm... sudah lama aku tidak mendengar tentang ponsel. Tetapi dari ceritamu, sebenarnya kau hanya butuh teman untuk mengobrol, kan? Masalahnya, mereka tidak menyadari itu. Atau mungkin, mereka memang tidak menghargai keberadaanmu. Jika memang begitu, menjauhi mereka bisa jadi pilihan yang lebih baik."

Samsul menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. "Terima kasih, kucing. Kau sudah mendengar curhatanku yang kekanak-kanakan ini, hehehe," ucapnya sambil tersenyum kecil.

Kucing itu mengedipkan matanya. "Tidak masalah, Samsul. Ngomong-ngomong, siapa nama teman-temanmu itu?" tanyanya dengan nada ingin tahu.

Samsul berdiri, menepuk-nepuk pakaiannya, lalu berkata, "Itu rahasia."

"Hehe, suka menyimpan rahasia rupanya," balas kucing itu sambil menatapnya dengan tatapan iseng.

Samsul berjalan ke arah pintu. "Baiklah, aku harus pergi mencari beberapa barang untuk membuat sesuatu," katanya.

Kucing itu langsung menajamkan matanya. "Apa yang ingin kau buat?" tanyanya.

Samsul menoleh dan tersenyum samar. "Sudah pasti Bom molotov dong ."

Kucing itu mengangkat alisnya. "Aku mau ikut."

"Tidak, kau masih terluka," balas Samsul tegas.

Kucing itu menggeleng. "Tapi kau tidak tahu di mana mencari barang-barangnya, kan? Lagipula, tanganmu sedang tidak sibuk, kan?"

Samsul mengernyit. "Benar... memangnya kenapa?"

"Gendong aku. Aku mungkin kesulitan berjalan, tapi bukan berarti aku tidak bisa membantumu," kata kucing itu.

Samsul sedikit ragu. "Apa tidak apa-apa?"

"Jangan terlalu dipikirkan," jawab kucing itu tenang.

Akhirnya, Samsul mengalah. Ia mengangkat kucing itu dengan hati-hati dan menggendongnya. Bersama-sama, mereka keluar dari kamar dan menyusuri lorong gelap, mencari barang-barang yang dibutuhkan.

Apakah mereka akan berhasil mendapatkan semua yang mereka butuhkan? Atau justru ada bahaya yang menanti di ujung lorong?

To be continued...