bertemu monster tanaman 2

Samsul keluar dari kamar dengan hati-hati, menggendong kucing hitam yang masih terluka di pelukannya. Udara di dalam mansion tua itu terasa berat, dipenuhi dengan aroma debu dan keheningan yang membuat bulu kuduknya merinding. Dengan langkah perlahan, ia mulai menelusuri lorong-lorong yang gelap, berusaha mencari bahan untuk membuat bom molotov.

"Jadi, sekarang kita harus ke mana dulu?" tanya Samsul, suaranya pelan namun tetap penuh kewaspadaan.

Kucing hitam itu menatapnya dengan mata kuning yang bersinar samar di kegelapan. "Bagaimana kalau kita mencari botol kaca dulu? Aku ingat pernah melihat beberapa botol di sekitar sini. Tempat ini dulu digunakan sebagai gudang penyimpanan minuman, jadi pasti masih ada yang tersisa," jawabnya sambil menggerakkan telinga ke arah yang dimaksud.

"Baiklah, kita akan ke sana bersama," balas Samsul, mempererat genggamannya pada kucing itu agar tidak jatuh.

Dengan penuh kehati-hatian, ia melangkah maju, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada sesuatu yang mengintai mereka. Lorong yang mereka lalui terasa begitu sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki Samsul yang menggema di sepanjang dinding batu yang dingin.

Setelah berjalan cukup jauh, Samsul melihat sebuah pintu besar yang setengah terbuka. Di depannya, ada tangga batu yang menurun ke dalam kegelapan. Ia berhenti sejenak, mengamati sekelilingnya dengan waspada. "Aku baru tahu kalau ada ruang bawah tanah di sini. Yaah, gimana mau tahu, wong aku selama ini cuma sibuk lari dari monster-monster di tempat ini," gumamnya, lalu menoleh ke kucing itu. "Hei, apa di dalam sana benar-benar ada botol kaca?"

"Tentu saja," jawab kucing itu dengan yakin. "Ruang bawah tanah ini adalah tempat penyimpanan minuman keras. Para pelayan dan penjaga sering minum di sini diam-diam. Sebenarnya, tidak ada larangan untuk minum di tempat ini, hanya saja mereka menghormati kepala keluarga bangsawan yang sekarang, Antonio, karena dia sendiri tidak pernah menyentuh alkohol. Jadi, botol kaca pasti ada di sana. Ayo, tunggu apa lagi? Cepat masuk!"

Samsul masih ragu. Lubang tangga itu terlihat begitu gelap, seolah siap menelannya kapan saja. Ada perasaan tidak nyaman di dadanya, seperti firasat buruk yang mulai merayap di pikirannya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia butuh botol kaca untuk membuat molotov.

Sebelum turun, ia meletakkan kucing itu di tempat tersembunyi, di dalam sebuah kendi besar yang ada di dekat pintu masuk ruang bawah tanah. "Tunggu di sini, jangan kemana-mana," bisiknya.

Setelah memastikan kucing itu aman, Samsul mulai menuruni tangga batu itu dengan perlahan. Setiap langkah yang ia ambil menghasilkan gema yang panjang, menciptakan kesan bahwa lorong ini jauh lebih dalam dari yang terlihat. Udara di dalam semakin dingin, dan bau lembap memenuhi hidungnya. Namun, semakin dalam ia melangkah, bau itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Begitu mencapai dasar tangga, matanya langsung membelalak. Ia menutup mulutnya erat-erat, menahan rasa mual yang tiba-tiba menyerangnya.

Di hadapannya, terbentang pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya tumpukan mayat yang membusuk berserakan di lantai. Beberapa dari mereka tampak seperti sudah berada di sana selama berminggu-minggu, sementara yang lain masih cukup segar, dengan darah yang mulai mengering di sekitarnya. Lalat-lalat beterbangan, memenuhi udara dengan dengungan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Samsul menguatkan hatinya. Ia harus tetap fokus. Dengan langkah cepat, ia mencari botol-botol kaca di antara tumpukan mayat itu. Tangannya gemetar saat ia mengangkat salah satu botol, memastikan bahwa masih ada sedikit alkohol di dalamnya. Ia menemukan beberapa botol lain yang kosong, namun tetap membawanya. Semakin lama ia berada di tempat itu, semakin sulit baginya untuk menahan rasa mual.

Setelah mengumpulkan cukup botol, ia segera berlari menaiki tangga, napasnya tersengal. Begitu sampai di atas, ia langsung membungkuk, mencoba menghirup udara yang lebih bersih. Walaupun udara di mansion ini juga tidak bisa dibilang segar, setidaknya masih lebih baik dibandingkan bau busuk dari ruang bawah tanah tadi.

"Hah... hah... akhirnya aku keluar dari tempat yang mengerikan itu," gumamnya, masih berusaha menenangkan diri.

Kucing itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Kamu kenapa? Memangnya ada apa di bawah sana?"

Samsul menatap kucing itu dengan mata penuh keterkejutan. "Di bawah sana... ada tumpukan mayat. Banyak sekali. Mereka sudah mati sejak lama," jawabnya, suaranya sedikit bergetar.

Kucing itu menghela napas pelan. "Jadi begitu... Tidak heran aku mencium bau busuk dari kejauhan. Aku merasa kasihan pada mereka," ucapnya dengan nada sedih.

Samsul menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus bayangan mengerikan itu dari pikirannya. "Baiklah, kita harus lanjut. Kau tahu di mana dapur? Alkohol yang kubawa masih kurang untuk membuat molotov," katanya sambil menggendong kucing itu kembali.

Kucing itu mengangguk. "Tentu saja. Aku tahu jalan ke sana. Ikuti aku, tapi tetaplah berhati-hati."

Dengan penuh kewaspadaan, mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan, menelusuri lorong-lorong gelap di dalam mansion terkutuk itu. Samsul masih belum tahu apa yang menantinya di depan, tapi satu hal yang pasti ia harus terus maju jika ingin bertahan hidup

Samsul berjalan menyusuri lorong gelap dengan langkah hati-hati, mengikuti arahan dari kucing hitam yang masih ia gendong. Udara di dalam mansion terasa semakin berat, dipenuhi aroma kayu tua yang lembap dan kesunyian yang menyesakkan. Setiap langkahnya menimbulkan gema samar, seolah mengingatkan bahwa mereka benar-benar sendirian di tempat ini.

Namun, sebelum mereka sampai di dapur, sebuah suara aneh terdengar dari ujung lorong.

"Srek... Srek... Srek..."

Samsul langsung menghentikan langkahnya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengenali suara itu. Itu adalah suara langkah seret dari monster yang selama ini terus mengincarnya. Napasnya memburu, matanya langsung mencari tempat persembunyian, tapi lorong ini begitu terbuka. Tidak ada ruangan atau pintu di sekitarnya hanya dinding panjang yang dingin dan lantai yang mulai dipenuhi debu.

Dari kejauhan, Samsul bisa melihat sosok mengerikan itu. Cahaya samar dari lilin di dinding menampilkan bayangan tubuhnya yang besar dan tak wajar. Monster itu bergerak perlahan, kepalanya menunduk, tampak mencium udara, seolah mencoba menangkap bau mangsanya.

Samsul mulai panik. Jika ia tetap berdiri di sini, monster itu pasti akan menemukannya dalam hitungan detik. Pandangannya menyapu sekitar, lalu matanya tertuju pada sebuah meja besar dengan lemari kecil di bawahnya. Tanpa pikir panjang, ia membuka lemari itu dan menyelipkan kucing hitam ke dalamnya.

"Diam di sini, jangan keluar sampai aku kembali," bisiknya.

Kucing itu hanya menatap Samsul dengan mata penuh kekhawatiran sebelum ia menutup lemari dengan hati-hati.

Namun, tak lama setelah itu—

"GRAAAAAHHHH!!!"

Monster itu mengeluarkan suara mengerikan. Samsul tersentak kaget. Ia tidak tahu bagaimana, tapi monster itu berhasil menemukannya!

Tanpa pikir panjang, ia langsung berbalik dan berlari secepat mungkin. Napasnya berat, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia berusaha menemukan jalan keluar atau setidaknya ruangan lain untuk bersembunyi.

Monster itu mengejarnya dengan langkah berat dan menyeret, tetapi kecepatan serangannya jauh lebih tinggi dari yang ia bayangkan. Suara geramannya menggema di seluruh lorong, membuat jantung Samsul semakin berdebar.

Dengan putus asa, ia berlari melewati sebuah pintu besar dan masuk ke sebuah ruangan luas. Begitu ia melangkah masuk, matanya membelalak.

Ruangan ini ternyata ballroom.

Lantainya berlapis marmer yang sudah mulai pecah, dan lampu gantung di atasnya bergoyang samar karena getaran langkah mereka. Sejenak, Samsul berpikir bahwa mungkin monster itu tidak akan masuk ke ruangan ini. Mungkin ada batasan tertentu yang membuatnya tidak bisa melewati setiap pintu.

Tapi dugaan itu salah.

Dengan suara benturan keras, monster itu menerobos masuk ke dalam ballroom, pintu di belakangnya bergetar hebat akibat tubuh besarnya. Samsul mundur beberapa langkah. Ruangan ini cukup luas, tapi tidak ada tempat untuk bersembunyi. Ia benar-benar terpojok.

"Ini sudah berakhir..." pikirnya.

Monster itu melangkah maju. Nafasnya kasar, tatapannya penuh kebencian. Samsul bisa melihat dengan jelas bentuknya yang mengerikan disekitar tubuhnya ada dedaunan dan kayu yang menutupinya, kulitnya yang terkelupas, gigi runcing yang menjulur dari mulutnya yang selalu menganga dan akar atau dahan pohon yang selalu menjadi senjatnya.

Samsul mundur perlahan dan menutup matanya, bersiap menerima akhir yang mengerikan.

DOR! DOR! DOR!

Suara tembakan tiba-tiba memenuhi ruangan. Samsul tersentak dan membuka matanya. Dari pintu belakang ballroom, beberapa pria berseragam tentara muncul, senapan mereka diarahkan ke monster itu. Salah satu dari mereka berdiri paling depan, dengan sikap tegas dan penuh kewibawaan.

Pria itu menoleh ke Samsul. "Hei, nak! Dari mana saja kau?!" tanyanya dengan suara lantang.

Samsul masih terengah-engah, mencoba mengatur napasnya. "Aku... Aku sedang berkeliling mencari bahan untuk membuat molotov," jawabnya jujur.

Pria itu mengernyit. "Apakah kau sudah membuatnya?"

Samsul mendekatinya sambil buru-buru membuka tasnya, mengambil botol yang ia temukan di ruang bawah tanah. Ia menyumpalkan kain ke dalamnya dan menyerahkannya pada pria itu.

"Terima kasih, nak. Ini akan sangat berguna," kata pria itu sambil menerima botol tersebut. "Dengar baik-baik. Ketika aku melempar molotov ini, kau harus berlari ke pintu belakang dan cari minyak. Kita akan butuh lebih banyak bahan bakar untuk membakar makhluk ini."

Samsul mengangguk. "Baiklah!"

Monster itu mulai bergerak lagi, matanya yang kosong menatap mereka dengan kebencian yang tak terbendung. Pria itu, yang bernama Pak Sobari, menyalakan api dan menyulut kain pada molotov tersebut. Begitu nyala api mulai membakar kain itu, ia langsung melemparkannya ke arah monster dengan akurasi yang sempurna.

BRAK!

Molotov itu menghantam tubuh monster, dan dalam hitungan detik, api menyebar ke seluruh tubuhnya. Monster itu mengeluarkan jeritan mengerikan, tubuhnya meronta-ronta saat api mulai membakar daging busuknya. Bau menyengat menyebar ke seluruh ruangan.

Tanpa menunggu lebih lama, Samsul langsung berlari ke arah pintu belakang, sesuai instruksi Pak Sobari. Ia berlari secepat yang ia bisa, menghindari puing-puing yang berserakan di lantai.

Begitu sampai di lorong lain, ia menyadari bahwa sekarang ia harus kembali ke dapur untuk mengambil minyak. Ia harus membuat lebih banyak molotov sebelum monster itu berhasil bertahan dari api yang membakarnya.

Dengan napas terengah-engah, ia terus berlari melewati koridor yang panjang dan gelap, sementara suara pertempuran masih terdengar dari belakangnya.

Perjuangannya masih jauh dari selesai.

To Be Continued...