Samsul terjebak di ballroom, napasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Monster tanaman itu berdiri di hadapannya, mengeluarkan suara mengerikan yang bergema di seluruh ruangan. Bau busuk menyeruak dari tubuhnya yang tertutup lumut dan akar membusuk. Samsul merasa tidak ada jalan keluar.
Namun, tepat ketika monster itu hendak menyerangnya..
"DOR! DOR! DOR!"
Suara tembakan menggema dari arah pintu belakang ballroom. Samsul menoleh dan melihat sekumpulan tentara yang baru saja menerobos masuk. Di barisan depan, Pak Sobari berdiri dengan senapan di tangannya. Matanya penuh ketegasan dan fokus pada monster yang mulai mendekat.
"Nak, kesini!!"
Pak Sobari dengan cepat menyalakan kain yang tersumpal di botol kaca dan melemparkan bom molotov ke arah monster itu.
BRAKK!
Botol itu pecah tepat di tubuh monster, membuat api langsung menyebar di sekujur tubuhnya. Jeritan mengerikan terdengar saat monster itu meronta, tubuhnya terbakar hebat. Beberapa bagian tubuhnya mulai meleleh, mengeluarkan bau hangus yang semakin membuat Samsul ingin segera pergi dari tempat ini.
Pak Sobari menoleh ke arahnya. "Sekarang waktunya kau pergi, nak! Pergi ke dapur dan cari minyak lebih banyak! Kita butuh lebih banyak molotov!"
Samsul mengangguk cepat. Tanpa membuang waktu, ia langsung berlari menuju pintu belakang, meninggalkan pertempuran sengit antara monster dan para tentara.
Samsul berlari secepat yang ia bisa, melewati lorong-lorong panjang yang sudah ia lewati sebelumnya. Suara ledakan dan tembakan masih terdengar dari belakangnya, tapi ia tidak berani menoleh. Ia harus fokus pada misinya menemukan minyak dan kembali dengan cepat.
Saat ia melewati sebuah meja besar di sudut lorong, ingatannya langsung kembali. Kucing hitam!
Ia berhenti sejenak dan membuka lemari kecil di bawah meja itu.
Begitu pintu lemari terbuka, kucing hitam itu langsung menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.
"Hei, apakah kamu baik-baik saja? Di mana monster itu?" tanyanya.
Samsul menghela napas dan mengusap kepala kucing itu. "Monster itu sedang bertarung dengan tentaranya Pak Sobari. Kita harus segera mencari minyak dan kembali membantu mereka."
Kucing itu mengangguk kecil, lalu melompat ke dalam gendongan Samsul. Mereka kembali melanjutkan perjalanan, kali ini dengan tujuan utama: dapur.
Lorong demi lorong mereka lewati, suasana semakin mencekam. Sekali-kali, suara gemuruh terdengar di kejauhan, membuat Samsul semakin mempercepat langkahnya. Kucing hitam itu dengan sigap menunjukkan arah, seolah memiliki peta seluruh mansion ini dalam kepalanya.
Setelah beberapa menit berlari, akhirnya mereka menemukan dapur.
Samsul melangkah masuk dengan hati-hati. Dapur ini terlihat cukup hancur beberapa lemari terguling, pecahan piring berserakan di lantai, dan bau busuk dari makanan yang sudah membusuk memenuhi udara. Namun, kondisinya tidak seburuk ruang bawah tanah yang pernah ia masuki sebelumnya.
Ia menelusuri setiap sudut, membuka lemari satu per satu, mencari minyak yang bisa digunakan untuk membuat bom molotov. Kucing hitam itu melompat ke atas meja dan mulai mengendus-endus, ikut membantu mencari.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya mereka menemukan minyak jelantah dalam sebuah wadah besar. Samsul mengangkatnya dengan hati-hati, lalu menuangkan minyak itu ke dalam beberapa botol kaca yang ia bawa. Dengan sigap, ia menyumpalkan kain ke dalam botol-botol itu, membuat beberapa bom molotov tambahan.
Saat ia memasukkan molotov ke dalam tasnya, kucing itu bertanya.
"Hei, apakah kau sudah selesai?"
Samsul menoleh, melihat kucing hitam itu menatapnya dengan ekspresi serius.
"Aku sudah selesai," jawabnya sambil mengangkat tasnya. "Baiklah, kita harus segera kembali ke ballroom untuk membantu yang lainnya!"
Namun, saat ia hendak berbalik dan pergi, ia merasakan sesuatu menyentuh pundaknya.
Jantungnya langsung berdegup kencang.
Dengan waspada, ia menoleh perlahan, bersiap menghadapi ancaman baru. Namun, saat ia melihat siapa yang berdiri di belakangnya, ia langsung terkejut.
Maya.
Pelayan mansion itu berdiri di sana, wajahnya terlihat khawatir.
Samsul mengerutkan kening. "Kenapa kamu di sini? Bukankah aku sudah bilang untuk tetap tinggal di kamar?" tanyanya dengan nada cemas.
Maya menundukkan kepala, suaranya terdengar pelan. "Maaf... Aku hanya ingin membantumu. Saat kalian pergi bersama Squad A, aku mendengar suara tembakan dan teriakan monster. Aku takut terjadi sesuatu padamu, jadi aku memutuskan untuk keluar dan mencarimu."
Samsul terdiam. Ia merasa bersalah karena telah membuat Maya khawatir. Perlahan, ia mengangkat dagu Maya dengan lembut, membuat wanita itu menatapnya langsung.
"Maafkan aku... Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Terima kasih sudah mencariku," ucapnya dengan tulus.
Maya langsung membuang muka, pipinya sedikit memerah.
Samsul terkejut dengan reaksinya, tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Maya kembali berbicara dengan suara sedikit bergetar.
"Aku... Aku mendengar sesuatu dari Ketua Squad A," katanya pelan. "Katanya, aku mirip dengan pujaan hatimu. Apa itu benar?"
Mendengar pertanyaan itu, wajah Samsul langsung memanas.
"A-apa? D-dasar Ketua Squad A! Dia suka sekali berbohong!" jawab Samsul dengan gagap.
Maya menatapnya, lalu tersenyum kecil. Ia menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa pelan, seolah menikmati kepolosan Samsul.
Samsul semakin gugup. "S-sudahlah, kita harus segera kembali ke ballroom!" katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Namun, sebelum ia bisa melangkah pergi, Maya tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arah Samsul. Dengan pipi yang semakin memerah, ia berkata dengan suara pelan tapi jelas:
"Kalau begitu... Jika kita berhasil keluar dari mansion ini, bagaimana kalau kita menikah?"
Samsul terdiam. Otaknya langsung kosong. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya terasa tersangkut di tenggorokan.
Bagaimana bisa Maya mengatakan hal seperti itu begitu saja?!
Ia ingin mengatakan "ya", ingin menerima perasaan Maya... tapi ada satu masalah besar.
Ia bukan berasal dari dunia ini.
Ia tidak seharusnya ada di sini. Ia tidak seharusnya merasa nyaman atau terikat dengan seseorang di tempat ini.
Semuanya berawal ketika ia memasuki pintu misterius bertuliskan "Ketakutan" di bunker bawah tanah. Ia tidak tahu bagaimana, tapi saat ia melewati pintu itu, ia terjebak di mansion ini...
Dan ia tidak tahu apakah ada jalan untuk kembali ke dunianya.
Maya masih menatapnya, menunggu jawaban.
Samsul hanya bisa menatapnya balik, terjebak dalam dilema yang semakin dalam.
Wanita itu terdiam. Mata indahnya meredup, bahunya sedikit menurun. la mengira Samsul tidak menerima perasaannya. Dengan suara pelan namun penuh kekecewaan, ia berkata, "Jadi... kamu tidak menginginkanku?"
Samsul terdiam. Hatinya ingin menjawab, ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi kenyataan yang dihadapinya terlalu rumit. Akhirnya, dengan suara penuh penyesalan, ia hanya bisa mengucapkan, "Maafkan aku..."
Maya tersenyum pahit dan berbalik. Saat ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki yang cepat dan tegas. Seorang wanita bangsawan muncul dari balik bayangan dapur yang remang-remang. Gaun putih panjangnya sedikit robek, rambutnya yang biasanya tertata rapi kini sedikit berantakan.
Rina, sang bangsawan, berdiri di sana dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan amarah yang membara. Namun, kemarahannya bukan ditujukan pada Maya, melainkan pada Samsul.
"Maya..." Suaranya gemetar menahan emosi, lalu tatapannya berubah tajam. "Apa maksudnya ini? Kau ingin menikah dengan Samsul?"
Maya tersentak. Ini pertama kalinya ia melihat nona Rina yang anggun berubah begitu emosional, hampir seperti seseorang yang siap menerkam dan menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.
"Nona... kenapa Anda bicara seperti itu?" tanya Maya dengan suara ragu.
"Jawab aku!" Rina membentak. "Apakah benar kau ingin menikah dengan dia?"
Maya menggigit bibirnya, wajahnya merah padam. Dengan suara bergetar, ia mengakui perasaannya. "B-benar, nona. Aku... aku menyukai dia. Dia telah menyelamatkanku beberapa kali, dan aku... mendengar dari para tentara bahwa dia menyukaiku juga. Aku menyukainya balik... karena dia seperti seorang ksatria yang selalu hadir untuk melindungiku."
Rina terdiam. Tangannya mengepal, tubuhnya sedikit bergetar. Tak lama kemudian, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Maya..." suaranya melemah, berubah menjadi tangisan yang pilu. "Kenapa kau memilih dia...?
Apakah kau sudah tidak menyayangiku lagi? Apakah kau sudah tidak ingin menjagaku seperti dulu?"
Maya terkejut mendengar nada suara penuh kesedihan itu. "T-tidak, nona. Aku tetap menyayangi Anda dan tetap akan menjaga Anda, karena aku pelayan Anda..."
katanya dengan suara terbata-bata.
Namun, jawaban itu justru membuat Rina semakin marah. "KAMU BOHONG!" teriaknya.
Mata Rina semakin dipenuhi kegilaan. la melangkah maju, menatap Maya dengan intens.
"Apakah kau ingat, Maya? Dulu, saat orang tuaku meninggal... hanya kau yang selalu berada di sisiku. Saat semua pelayan menjauhiku karena mereka menganggapku aneh, kau tetap bertahan. Kau satu-satunya yang tak pernah meninggalkanku!"
Maya menelan ludah. Ia tidak menyangka perasaan Rina begitu dalam terhadapnya.
Rina melanjutkan dengan suara penuh kemarahan. "Kau memang pelayan tercantik di mansion ini. Para penjaga dan pelayan lainnya selalu mencoba mendekatimu, tapi kau menolak mereka. Aku selalu mengagumi keanggunanmu! Aku bahkan diam-diam menyingkirkan mereka yang mengganggumu! Aku membunuh mereka... dan menjadikan mereka bagian dari eksperimenku!"
Kata-katanya membuat udara di dapur menjadi semakin mencekam.
Namun, kini ekspresi Rina berubah menjadi kepedihan. "Dan sekarang... kau malah memilih dia? Samsul... kau telah merebut Maya dariku. Aku tak akan memaafkanmu!"
Tiba-tiba, dahan-dahan pohon menjulur dari tubuh Rina, seperti cambuk tajam yang siap menghancurkan Samsul. Dengan kecepatan yang luar biasa, dahan itu melesat ke arahnya.
Samsul yang terkejut tak sempat bereaksi. Serangannya terlalu cepat, dan ia tidak punya waktu untuk menghindar.
Namun, sesuatu terjadi.
Maya, tanpa ragu, mendorong Samsul ke samping. Dahan itu menembus tubuhnya.
"Waaahh!" Maya tersentak, darah segar mengalir dari luka di tubuhnya.
Rina terkejut, wajahnya pucat pasi. "Maya! Tidak...! Tidak...! Kenapa kau melakukan ini?!"
Maya menahan rasa sakitnya. Dengan senyuman lemah, ia menjawab, "Karena... aku ingin menyelamatkan Samsul, walaupun hanya sekali."
Samsul menatapnya dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Maya menambahkan dengan suara semakin lirih, "Nona... Kamu benar, aku memang tidak pernah menyukai siapa pun sebelumnya. Tapi... hanya ada satu orang yang benar-benar aku cintai..." la menarik napas, menatap Rina dengan penuh kasih. "Dan itu... adalah kamu."
Rina membeku di tempatnya.
Maya mengangkat tangannya yang bergetar, mencoba menyentuh wajah Rina, tetapi kekuatannya habis. Perlahan-lahan, matanya tertutup, dan tubuhnya jatuh ke tanah.
Samsul terdiam. la tidak bisa berkata-kata. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mendidih.
la menatap Rina. Tapi bukannya melihat sosok yang kejam, ia justru melihat wanita yang lebih shock dari dirinya. Rina menatap tangan berlumuran darahnya sendiri, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Kesunyian melingkupi mereka.
Tiba-tiba, suara kucing hitam memecah keheningan. "Samsul! Ayo lari! Sekarang!"
Samsul tersadar. la meraih kucing hitam itu dan berlari secepat mungkin.
Namun, saat itu juga, Rina menjerit dengan suara menggelegar.
Amarah dan kesedihannya bercampur menjadi satu, tubuhnya mulai berubah.
Cakar tumbuh dari jari-jarinya, matanya bersinar hijau terang, dan seluruh tubuhnya ditelan oleh akar dan daun yang menyatu menjadi sosok monster tanaman yang lebih mengerikan dari sebelumnya.
Tanpa menoleh ke belakang, Samsul terus berlari. Hatinya mendidih oleh emosi yang campur aduk.
la tahu siapa musuhnya sekarang.
la tahu siapa yang harus ia lawan.
Tapi ia juga tahu... bahwa melawan Rina sekarang sama saja dengan bunuh diri.
"Aku harus menyusun rencana," pikirnya dalam hati. "Aku tidak boleh gegabah... Aku akan membalas dendam, tapi aku harus melakukannya dengan cara yang benar!"
Mereka berlari melewati koridor yang gelap, meninggalkan mansion yang kini dipenuhi teriakan kemarahan dan dahan-dahan yang merambat liar.
Mereka tidak tahu ke mana harus pergi.
Namun satu hal yang pasti...
Pertarungan belum berakhir.
To Be Continued...