Maya telah tiada. Tubuhnya tertusuk oleh dahan tajam yang melesat dengan kecepatan mengerikan-serangan dari monster tanaman yang kini menjadi sosok Rina. Samsul tak bisa melupakan pemandangan itu. Mata Maya yang perlahan kehilangan cahaya, senyumnya yang masih tersungging meski tubuhnya diliputi kesakitan, dan kata-kata terakhirnya yang membuat dada Samsul terasa sesak. Semua itu terjadi tepat di depan matanya.
Namun, sekarang bukan waktunya untuk larut dalam kesedihan. Samsul harus bertahan. la berlari sekencang mungkin, membawa kucing hitam di pelukannya, menghindari kejaran Rina yang telah berubah menjadi monster tanaman mengerikan.
Monster itu memang lambat dalam berjalan, tetapi serangan akarnya sungguh berbahaya. Akar dan dahan panjangnya bisa mencambuk udara dengan kecepatan luar biasa, menghantam apapun yang ada di jalurnya. Setiap kali akar itu menghantam dinding atau lantai, terdengar suara benturan keras, membuat debu dan pecahan kayu beterbangan di sekitar mansion yang mulai hancur.
Samsul terus berlari di lorong-lorong mansion, mencari jalan untuk menghindar. Sesekali ia berbelok tajam, berharap bisa menjauh dari kejaran monster itu. Namun, meskipun langkahnya lebih cepat, ancaman tetap ada. Dia harus segera menemukan tempat aman untuk menaruh kucing hitam ini sebelum merancang rencana balas dendamnya.
Setelah berlari cukup jauh, Samsul menemukan sebuah kamar di lorong mansion. la buru-buru masuk dan menutup pintu di belakangnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. la menaruh kucing hitam itu dengan hati-hati di atas meja. Kucing itu masih terluka akibat pertarungan sebelumnya.
"Kamu tunggu di sini," kata Samsul, mengusap kepala kucing itu dengan lembut. "Aku akan bertarung dengan monster itu."
Kucing hitam itu menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. "Berhati-hatilah, Samsul. Aku akan menunggu di sini," ucapnya pelan.
Samsul mengangguk, lalu berbalik dan membuka pintu. Begitu ia keluar, pemandangan yang mengerikan menyambutnya.
Di ujung lorong, Rina telah kembali ke bentuk manusianya. Namun, kini ada sesuatu yang berbeda. Matanya memancarkan cahaya kemarahan yang tak terukur. Rambutnya berantakan, dan tubuhnya masih dipenuhi sulur-sulur tanaman yang terus bergerak.
Dengan kecepatan luar biasa, Rina berlari ke arah Samsul. Akar-akar kecil mulai menjulur dari tangannya, siap menyerang.
Samsul mengangkat pistolnya dan menembak.
DOR! DOR!
Namun, Rina bergerak terlalu cepat. la mampu menghindari semua tembakan Samsul dengan lincah.
"KAU YANG MEMBUNUH MAYA! KAU YANG MEMBUNUH MAYA!" teriak Rina sambil terus berlari mengejarnya. Suaranya penuh dengan kebencian dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.
Samsul menggeram marah. "Dasar gak sadar diri! Kau sendiri yang membunuh MAYA!" teriaknya sambil terus berlari, berusaha menjauhi Rina yang semakin buas.
Meskipun Samsul lebih cepat, ia tetap kesulitan menghindari serangan akar-akar Rina. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena akar-akar itu menghantam lantai dan membuat pecahan kayu beterbangan.
Samsul terus berlari ke arah ballroom, berharap bisa menemukan bala bantuan di sana. Namun, begitu ia memasuki ruangan besar itu, ia dikejutkan oleh pemandangan yang lebih mengerikan.
Semua tentara yang bertarung melawan monster tanaman sebelumnya telah mati.
Mayat mereka tergeletak di lantai, beberapa masih menggenggam senjata, sementara yang lain telah hancur lebur akibat serangan monster. Ruangan itu dipenuhi aroma darah dan hangus.
Samsul tak punya waktu untuk berduka. Rina masih mengejarnya. la berlari menuju pintu belakang ballroom untuk mencari jalan keluar. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, seseorang muncul di hadapannya.
Itu Dani.
Dani berdiri dengan membawa ember di tangannya. Matanya dipenuhi ketegangan, namun ada keyakinan di dalamnya. Tanpa ragu, saat Rina semakin dekat, Dani mengangkat embernya dan melemparkan isinya ke arah monster itu.
Minyak.
Cairan berminyak membasahi tubuh Rina, membuatnya berhenti sejenak. la menatap Dani dengan tatapan penuh kebencian.
Akar-akar di tubuhnya mulai bergerak liar.
Samsul bisa melihatnya-Rina akan menyerang.
"DANI, AWAS!" teriak Samsul.
Namun, terlambat.
Akar tajam menembus tubuh Dani dengan cepat. Mata Dani membelalak. la tak sempat berkata apa-apa sebelum tubuhnya terangkat ke udara, lalu terjatuh dengan keras ke lantai. Darah mulai menggenang di sekelilingnya.
Samsul menggertakkan giginya. Ini kesempatan.
Dengan tangan gemetar karena kemarahan, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan korek api. la menyalakannya dan menatap api kecil yang berkobar di ujungnya.
Tanpa ragu, Samsul melemparkan korek api itu ke arah Rina.
FWOOSH!
Api langsung menyambar tubuh Rina yang basah oleh minyak. Dalam sekejap, nyala api berkobar hebat, membakar tubuhnya.
Rina menjerit. Suaranya menggelegar, membuat seisi ruangan bergetar. la meronta-ronta, mencoba memadamkan api yang melalap kulit dan akar-akarnya.
Aroma daging terbakar memenuhi udara.
Namun, api itu terlalu besar.
Mansion mulai ikut terbakar. Tirai, karpet, dan furnitur yang sudah lama mengering langsung menyala dalam kobaran api yang semakin membesar.
Samsul melangkah mundur, menyaksikan monster itu terbakar hidup-hidup.
Namun, ia tahu ini belum selesai.
Mansion ini akan segera runtuh.
Dan ia harus keluar dari sini-sebelum semuanya terlambat.
Monster tanaman itu terus mengamuk, mengayunkan akar-akar besarnya ke segala arah dengan liar. Api yang membakar tubuhnya membuatnya mengerang kesakitan, tetapi amarahnya yang membara tak membiarkannya berhenti. la terus menyerang, merobohkan dinding-dinding mansion dan membakar segala yang dilewatinya.
Samsul berlari secepat yang ia bisa, mencari jalan keluar dari mimpi buruk ini. Namun, setiap langkahnya terasa sia-sia. Saat ia sampai di depan pintu utama, harapan yang tersisa dalam dirinya sirna begitu saja.
"Tidak... Ini tidak mungkin..."
bisiknya lirih, matanya membelalak penuh ketakutan.
Pemandangan di luar mansion sama sekali tidak seperti yang ia ingat. Tidak ada taman hijau, tidak ada pepohonan tinggi, tidak ada pagar besi seperti saat ia pertama kali tiba. Yang ada hanyalah kabut putih pekat yang menyelimuti segalanya, seolah dunia di luar telah lenyap, ditelan oleh kehampaan. Mansion ini kini seperti mengambang dalam kekosongan tanpa batas.
"Sial!" Samsul mengumpat, menoleh ke belakang.
Monster tanaman itu semakin mendekat, akar-akar tajamnya merobek lantai kayu, menghancurkan perabotan, dan membuat mansion semakin hancur. Samsul tak punya pilihan lain selain terus berlari, mencari jalan lain meskipun ia tidak tahu ke mana.
Saat ia berbelok ke sebuah pertigaan di dalam mansion-
DOR!
Terdengar suara tembakan yang menggema di lorong panjang. Samsul tersentak, lalu dengan cepat menoleh ke sumber suara.
Di ujung lorong, ia melihat sosok
yang tak asing-Pak Sobari, berdiri
dengan pistol di tangan. Bersamanya ada beberapa tentara yang tersisa, wajah mereka penuh kelelahan dan luka, tetapi tatapan mereka masih menyala dengan semangat bertahan hidup.
Samsul segera berlari ke arah mereka. "Pak! Kita harus keluar dari sini! Monster itu masih mengejar saya!" serunya panik.
Pak Sobari dan para tentara menatap monster tanaman yang semakin mendekat dengan ekspresi tegang. Namun, apa yang Samsul katakan berikutnya membuat mereka lebih terkejut.
"Monster itu... adalah Putri bangsawan mansion ini. Namanya Rina!"
Mata mereka membelalak. Bagaimana mungkin wanita yang mereka kenal sebagai sosok anggun dan lemah lembut ternyata adalah makhluk mengerikan ini?
Namun, tak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Monster itu terus maju, merobohkan apa pun di jalannya. Para tentara segera mengangkat senjata dan menembak tanpa ragu.
"KAU TELAH MEMBUNUH MAYA... KAU TELAH MEMBUNUH MAYA!"
raung monster itu, suaranya menggelegar di seluruh mansion.
Peluru-peluru terus menghantam tubuhnya, tetapi tak cukup untuk menghentikannya. Api yang semula membakar tubuhnya perlahan mulai meredup. Namun, langkahnya semakin lambat, seolah kekuatannya semakin melemah.
Samsul memperhatikan ini dengan seksama. "Terus tembak! Kita hampir menang!" serunya.
Langkah monster itu semakin berat. Gerakannya semakin lamban. Hingga akhirnya, ia berhenti.
Asap pekat membubung dari tubuhnya yang kini menghitam, terbakar habis hingga hanya menyisakan bentuk arang.
Sisa-sisa tubuhnya rapuh, mudah hancur seperti kayu lapuk.
Dengan napas terengah-engah, Samsul melangkah maju. Matanya penuh dengan kemarahan dan kesedihan.
Tanpa ragu, ia mengangkat kakinya dan menghantam kepala monster itu.
"KAULAH..." Injakannya menghancurkan sebagian kepala itu.
"YANG MEMBUNUH..." Retakan terdengar saat kepingan arang beterbangan.
"MAYA!!" Injakannya terakhir menghancurkan kepala monster itu sepenuhnya, hingga serpihannya beterbangan seperti pasir tertiup angin.
Samsul berdiri diam, napasnya masih memburu. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca.
:
Rasa kehilangan yang begitu besar menekan dadanya, membuatnya ingin berteriak, tetapi ia menahannya dalam diam.
Tiba-tiba, sesuatu terjadi.
Jendela-jendela mansion yang sebelumnya tertutup oleh kabut pekat kini mulai menampakkan dunia luar. Taman yang semula tersembunyi kini terlihat kembali. Pohon-pohon yang menghilang perlahan muncul. Kabut itu memudar, seakan-akan terbunuhnya monster tanaman itu adalah kunci untuk membebaskan mereka.
Pak Sobari menghela napas lega dan menepuk pundak Samsul.
"Kita berhasil, kawan. Tapi sebelum pergi, apakah masih ada yang perlu kita selamatkan?" tanyanya.
Samsul menatapnya dengan tatapan penuh beban. "Ada..." katanya pelan. "Seekor kucing hitam. Aku meninggalkannya di salah satu kamar. Dan kita juga harus mengubur mayat tentara, penjaga, dan pelayan yang sudah mati di sini."
Pak Sobari mengangguk. "Baiklah. Mumpung kita masih di sini, kita selesaikan tugas kita dahulu."
Mereka pun berpencar, menyusuri mansion yang sudah separuh hancur. Beberapa bagian masih terbakar, tetapi api perlahan mulai padam. Asap mengepul di sudut-sudut ruangan, menambah kesan suram di tempat ini.
Samsul kembali ke kamar tempat ia meninggalkan kucing hitam.
Saat ia membuka pintu, kucing itu masih di sana, berbaring di atas kasur tua yang penuh debu.
Matanya yang berwarna emas menatap Samsul dengan tenang.
"Ayo, kita pergi dari sini," kata Samsul sambil mengangkatnya.
Kucing itu mengeong pelan, seolah mengerti bahwa bahaya belum sepenuhnya usai.
Namun, saat Samsul keluar dari kamar, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Tanah tiba-tiba bergetar hebat.
Dinding-dinding mansion bergetar seakan hendak runtuh.
"Pak Sobari! Ada yang tidak beres!" teriak Samsul.
Seketika, dari lantai yang mulai retak, muncul akar-akar besar yang melesat ke segala arah. Akar-akar itu merayap di dinding, menjalar di lantai, dan menyusup ke dalam celah-celah bangunan.
Para tentara langsung siaga, mengangkat senjata mereka.
"Apa-apaan ini?! Bukankah monster itu sudah mati?!" salah satu tentara berteriak panik.
Namun, sebelum ada yang bisa menjawab, akar-akar itu bergerak lebih cepat. Mereka menyebar ke seluruh mansion, menutup semua jalan keluar.
Samsul menatap pemandangan mengerikan itu dengan ngeri.
Apakah mereka benar-benar telah membunuh monster itu? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang belum mereka ketahui?
Mereka terjebak. Dan bahaya yang lebih besar mungkin baru saja dimulai.
To be continued...