Setelah berhasil mengalahkan monster tanaman, Samsul dan para tentara segera bergerak menuju kamar tempat kucing hitam itu disembunyikan. Mereka harus memastikan tidak ada makhluk hidup lain yang tertinggal sebelum meninggalkan mansion ini. Saat mereka keluar dari kamar tersebut dengan kucing hitam dalam genggaman Samsul, tiba-tiba tanah dan lantai mansion mulai bergetar hebat. Getaran itu semakin lama semakin kuat, membuat mereka hampir kehilangan keseimbangan.
Tiba-tiba, dari balik lantai dan dinding-dinding mansion, muncul akar-akar besar yang menjalar dengan cepat. Akar-akar itu merambat ke segala arah, menutupi dinding, atap, bahkan lantai, seolah-olah mansion itu sedang berubah menjadi sebuah sarang iblis yang dipenuhi oleh kegelapan. Jendela-jendela yang tadinya menunjukkan dunia luar kini telah tertutup sepenuhnya oleh akar-akar tebal, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Udara yang awalnya hanya dipenuhi bau gosong dari monster yang terbakar kini berubah menjadi aroma tanah lembap yang bercampur dengan bau busuk, seperti sesuatu yang telah membusuk selama bertahun-tahun.
Mereka semua berdiri dengan tubuh tegang, bersiaga penuh menghadapi kejadian yang tidak mereka mengerti. Wajah mereka mencerminkan ketakutan dan kebingungan. Harapan untuk keluar dengan mudah setelah mengalahkan monster tanaman itu seketika sirna. Mereka baru saja menyadari bahwa pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.
"Apa-apaan ini...?! Kenapa dinding dan lantai mansion berubah menjadi akar yang merambat?" seru salah seorang tentara dengan suara bergetar. Matanya membesar, memandangi sekeliling dengan panik.
Pak Sobari, yang sejak tadi terdiam, akhirnya menghela napas berat dan berkata, "Daripada kita terlalu banyak berpikir, lebih baik kita cari jalan keluar secepatnya sebelum semua ini semakin buruk." Kemudian, dia menoleh ke arah Samsul. "Samsul, apakah kau masih ingat di mana pintu keluarnya?"
Samsul mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelum monster tanaman itu terbakar habis. "Aku ingat, saat aku dikejar monster tanaman... atau lebih tepatnya Rina, aku sempat mendekati pintu keluar. Tapi saat kubuka pintu itu, yang ada hanya kabut tebal. Tidak ada taman, tidak ada hutan, tidak ada dunia luar, seolah-olah mansion ini satu-satunya yang tersisa di dunia ini. Tapi kalau soal arah, aku masih ingat. Yaah, lumayan cukup jauh, karena mansion ini memang besar," jelasnya sambil mengatur napasnya.
Pak Sobari mengangguk dengan serius. "Baiklah... Kalau begitu, kita tidak boleh berlama-lama di sini. Aku punya firasat buruk jika kita tidak segera bergerak. Sebelum itu... Samsul, ini ada senter. Aku membawa beberapa cadangan, pakailah." Dia merogoh sakunya dan menyerahkan sebuah senter kecil ke Samsul.
Samsul menerima senter itu dan menyalakannya untuk memastikan berfungsi dengan baik. "Terima kasih, Pak."
Mereka semua kembali melangkah, lebih waspada dari sebelumnya. Senjata mereka digenggam erat, mata mereka mengawasi setiap sudut ruangan yang kini sudah sepenuhnya tertutupi akar. Harapan mereka hanya satu, yaitu bahwa monster tanaman itu benar-benar sudah mati dan tidak akan hidup kembali.
Saat melewati lorong yang remang-remang, Samsul tiba-tiba melihat sesuatu di lantai. Sebuah kapak yang tampak familiar, sebagian bilahnya tertutup darah yang sudah mengering. Hatinya mencelos saat menyadari kapak itu adalah kapak yang pernah ia berikan pada Maya untuk melindungi dirinya.
Dengan perlahan, Samsul membungkuk dan mengambil kapak itu. Ia menggenggamnya erat, matanya menerawang penuh emosi. Kenangan tentang Maya kembali menghantam dirinya seperti ombak besar yang menghancurkan ketenangan hatinya.
Pak Sobari, yang menyadari ekspresi Samsul, bertanya dengan suara tenang, "Kau menemukan sesuatu, Nak?"
Samsul mengangguk pelan, suaranya terdengar serak saat menjawab, "Kapak ini... Aku memberikannya pada Maya... untuk melindungi dirinya. Tapi sekarang... kapak ini kembali padaku." Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk dalam dadanya.
Para tentara yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Mereka memahami betapa beratnya kehilangan seseorang di tengah situasi mengerikan seperti ini. Namun, mereka tidak bisa membiarkan kesedihan menahan langkah mereka. Mereka harus terus bergerak.
Mereka kembali berjalan menyusuri lorong yang semakin lama semakin terasa seperti labirin. Udara semakin dingin, suara gemerisik akar yang bergerak perlahan membuat bulu kuduk mereka meremang. Hanya suara langkah kaki dan tarikan napas mereka yang terdengar, hingga akhirnya, setelah melewati beberapa belokan, mereka melihatnya pintu keluar.
Hati mereka seakan dipenuhi sedikit harapan. Tanpa ragu, mereka mempercepat langkah, ingin segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Namun, tepat saat mereka hampir mencapai pintu itu, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Dengan suara gemuruh, akar-akar raksasa tiba-tiba menjalar dengan cepat dari segala arah dan menutupi pintu keluar sepenuhnya. Akar-akar itu menggeliat dan berdenyut seperti daging hidup, seolah memiliki kesadaran sendiri. Seakan-akan mansion ini tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja.
Mereka semua terhenti, tubuh mereka kembali tegang. Harapan yang sempat muncul kini berubah menjadi keputusasaan.
Mereka semua semakin putus asa melihat kenyataan bahwa satu-satunya jalan keluar telah tertutup sepenuhnya oleh akar-akar merambat yang begitu tebal. Keheningan yang menekan menyelimuti mereka, hanya terdengar suara napas berat dan detak jantung yang berpacu cepat. Namun, di tengah rasa putus asa itu, Pak Sobari tetap berusaha berpikir jernih. Ia tahu bahwa jika mereka menyerah begitu saja, maka mereka benar-benar akan menjadi mangsa kegelapan yang semakin melingkupi mansion ini.
Dengan suara lantang dan penuh wibawa, Pak Sobari mencoba membangkitkan semangat mereka, "Hei, kalian semua!! Dengarkan aku baik-baik!! Apakah kalian akan berdiam diri di sini seperti mayat hidup? Apakah kalian akan menyerah setelah semua perjuangan yang telah kita lalui?! Kita sudah mengorbankan banyak hal, menghadapi ancaman yang tak masuk akal, dan bertahan sejauh ini! Tapi hanya karena rintangan baru, kalian langsung kehilangan harapan?! Apakah itu pantas untuk kita semua?!"
Suasana menjadi sunyi, hanya suara gema dari teriakan Pak Sobari yang memenuhi lorong mencekam ini. Para tentara terdiam, merenungkan kata-kata pemimpinnya. Mereka tahu bahwa pria itu benar. Mereka telah berjuang terlalu keras hanya untuk berakhir dengan ketakutan dan keputusasaan. Namun, dalam keheningan itu, salah satu tentara tiba-tiba berdiri, ekspresinya menunjukkan amarah yang tak bisa ia bendung lagi.
"Pak, dengan segala hormat... APAKAH ANDA TIDAK MELIHAT SEKITAR KITA?!" teriak tentara itu, matanya melotot penuh emosi. "Seluruh lorong, jendela, dan pintu tertutup oleh akar-akar ini! Kita seperti terjebak dalam perut monster yang menunggu untuk mencabik-cabik kita kapan saja! Anda berbicara seolah-olah ini hanyalah ujian kecil, padahal kenyataannya kita sudah terperangkap di sini! Ini bukan tentang keputusasaan, ini tentang kenyataan! Semua jalan sudah tertutup, Pak! HANYA ADA KEGELAPAN DAN TANAMAN MERAMBAT DI MANA-MANA!!"
Kemarahan tentara itu memicu pertengkaran di antara mereka. Beberapa tentara lain langsung membalas, merasa bahwa pernyataan itu tidak pantas diucapkan di hadapan pemimpin mereka.
"Hei, jaga ucapanmu!" bentak salah satu tentara yang lain. "Kau pikir kami tidak tahu seberapa buruk situasi ini?! Tapi setidaknya kita masih punya pemimpin yang berusaha mencari jalan keluar! Daripada marah-marah seperti pengecut, lebih baik gunakan kepalamu untuk berpikir!"
"Apa kau bilang?!" tentara yang marah semakin emosional, kini mulai mendekati rekannya dengan sikap mengancam.
Mereka semua mulai bertengkar, saling berteriak tanpa peduli dengan situasi yang semakin memburuk di sekitar mereka. Suasana menjadi semakin tegang, hampir berubah menjadi baku hantam.
Namun, sebelum semuanya benar-benar lepas kendali...
"DIAM SEMUA!!"
Suara lantang Pak Sobari bergema di seluruh ruangan, memantul di antara akar-akar yang menutupi dinding. Mereka semua langsung terdiam, bahkan Samsul yang sejak tadi hanya duduk diam dengan wajah penuh keputusasaan pun terkejut mendengar teriakan itu.
Pak Sobari menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. "Cukup sudah... Kita semua berada dalam situasi yang mengerikan, aku paham. Tapi aku tidak akan membiarkan kita hancur hanya karena kita kehilangan akal sehat. Kita ini tentara. Kita adalah pelindung. Namun, apa yang kulihat sekarang? Orang-orang yang bertengkar seperti anak-anak di tengah bahaya yang belum kita pahami sepenuhnya?!"
Mereka semua kembali terdiam. Rasa malu menyelimuti mereka setelah mendengar ucapan pemimpin mereka.
Samsul akhirnya berdiri, menatap Pak Sobari dengan tatapan penuh harapan yang kembali muncul. "Jadi... Apa rencananya, Pak?" tanyanya dengan suara yang masih terdengar lemah namun mulai menunjukkan tekadnya.
Pak Sobari berpikir sejenak, lalu hendak menjawab. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu—
"Aaaaaaaa!! Tolong!!"
Teriakan memilukan tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.
Semua refleks langsung menoleh ke arah sumber suara, mengangkat senter mereka untuk melihat apa yang terjadi.
Namun, mereka hanya melihat kegelapan.
Sampai akhirnya...
"AAAAH!!"
Satu tentara tiba-tiba terseret ke dalam bayangan gelap oleh akar yang melesat dengan kecepatan luar biasa. Tidak ada waktu untuk bereaksi.
"Hati-hati!!" teriak salah satu tentara lainnya, tapi—
"ARGH!!"
Tentara kedua juga terseret oleh akar-akar itu, tubuhnya menghilang ke dalam kegelapan yang menelan segala sesuatu tanpa ampun.
Mereka semua langsung panik. Tangan mereka gemetar saat mencoba mengangkat senjata, tetapi ancaman itu datang terlalu cepat.
Samsul, Pak Sobari, dan tentara yang tersisa berusaha melarikan diri, tapi akar-akar itu terus mengejar mereka, seolah-olah memiliki kesadaran sendiri. Mereka berlarian melewati lorong-lorong yang semakin menyempit, tanpa menyadari bahwa mansion ini sudah sepenuhnya berubah menjadi labirin mengerikan yang tak lagi mengikuti hukum dunia nyata.
Namun, satu per satu mereka jatuh.
Pak Sobari, sang pemimpin yang telah berjuang sampai akhir, tiba-tiba diseret oleh akar yang mencengkeram kakinya. "Lari...! Samsul!!" teriaknya sebelum tubuhnya benar-benar menghilang dalam bayangan pekat.
Tentara-tentara yang tersisa juga mengalami nasib yang sama. Jeritan mereka memenuhi udara, hanya untuk diakhiri dengan keheningan yang mencekam.
Samsul kini berdiri sendirian.
Napasnya tersengal. Tangannya gemetar. Kucing hitam yang tadi bersamanya entah menghilang ke mana.
Apakah dia juga telah ditelan oleh kegelapan ini...?
Samsul merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kegelapan semakin mendekat.
Dan akhirnya...
Akar-akar itu melesat ke arahnya dengan kecepatan yang mustahil dihindari.
Samsul hanya bisa menatap dalam diam, sebelum tubuhnya pun ikut terseret ke dalam jurang kegelapan yang tak berujung.
Apakah Samsul dan yang lain akan selamat?
Ataukah... ini benar-benar akhir mereka?
To be continued...