Jeritan Samsul menggema di lorong gelap mansion yang dipenuhi akar merambat.
"Aaaaaaa!"
Samsul meronta, mencoba melepaskan diri dari lilitan akar yang begitu kuat. Tubuhnya tertarik ke dalam kegelapan yang semakin pekat, seakan menelannya ke dalam kehampaan yang tak berujung. Semakin dalam dia terseret, semakin dingin tubuhnya terasa, seakan dirinya hanyut dalam kehampaan yang tak mengenal waktu dan ruang.
Lalu, semuanya menjadi sunyi.
"Samsul... Samsul... Bangun..."
Suara yang tidak asing samar-samar terdengar membangunkannya. Samsul perlahan membuka matanya, kesadarannya masih kabur. Pandangannya buram, dadanya terasa berat, dan kepalanya berdenyut hebat. Saat pikirannya mulai kembali jernih, ia menyadari dirinya berada di sebuah ruangan yang sempit, kosong, dan dingin.
"Aku... di mana?" gumamnya, suaranya parau dan lemah.
Ia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku. Dinding ruangan ini terbuat dari batu kasar yang lembap, tanpa jendela, tanpa cahaya alami. Hanya ada satu pintu besi tua yang tampak berkarat di depannya. Udara di dalam begitu pengap, seakan ruangan ini sudah lama tidak digunakan.
Lalu, suara itu kembali terdengar.
"Samsul, aku ada di sini..."
Samsul segera menoleh ke kiri dan kanan, mencari sumber suara yang memanggilnya. Matanya bergerak liar, mencari sosok yang berbicara. Hingga akhirnya, saat ia menatap ke atas, ia melihatnya.
Seekor kucing hitam duduk di atas ventilasi, matanya menyala dalam kegelapan.
"Ming-Ming?!" Samsul hampir tidak percaya.
"Iya, ini aku, Ming-Ming," jawab kucing itu dengan nada santai, tetapi sedikit kesal. "Dari mana saja kau?, kenapa kau meninggalkanku di dalam tas yang penuh bom molotov dan bau minyak menyengat?"
Samsul tersentak. Ingatannya kembali perlahan. Ia ingat, terakhir kali ia melihat kucing itu saat ia memasukkannya ke dalam tas. Tapi setelah itu, semuanya terjadi begitu cepat mansion yang penuh akar merambat, pelariannya yang panik, dan akhirnya kegelapan yang menelannya.
"Aku... aku tidak sengaja, aku harus lari dari akar itu..." Samsul mencoba menjelaskan, meskipun dirinya sendiri masih sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Kucing hitam itu melompat turun dengan anggun dari ventilasi, kemudian menjatuhkan sesuatu di lantai di depan Samsul.
Samsul menatap benda itu sebuah kunci besi.
"Gunakan itu untuk keluar dari sini," kata Ming-Ming singkat.
Tanpa berpikir panjang, Samsul meraih kunci itu dan segera membuka gembok pintu besi yang mengurungnya. Dengan sedikit usaha, gembok itu terbuka dengan bunyi klik yang menggema di ruangan kosong itu. Samsul segera mendorong pintu dan keluar dari penjara kecilnya.
Begitu ia keluar, ia melihat lorong panjang dan gelap di depannya. Bau lembap bercampur dengan aroma logam menyengat hidungnya.
Samsul menoleh ke arah kucing itu. "Baiklah... Sekarang, tasku ada di mana?" tanyanya dengan nada serius.
Namun, kucing hitam itu hanya diam. Ia tidak menjawab, melainkan langsung berlari dengan sangat cepat menuju lorong yang lebih gelap.
"Hei! Tunggu! Bagaimana mungkin kucing yang terluka masih bisa berlari sekencang ini?!" Samsul berteriak sambil berusaha mengejar.
Samsul terus berlari, napasnya mulai berat, tetapi kucing itu tidak memperlambat langkahnya sedikit pun. Seakan ia tahu ke mana harus pergi. Samsul hanya bisa mengikuti, meskipun perasaan tidak enak mulai menjalar dalam dirinya.
Hingga akhirnya, kucing itu berhenti di depan sebuah pintu besar.
Pintu itu berbeda dari pintu lainnya. Warnanya kehitaman dengan ukiran akar yang menjalar di sekelilingnya. Ada aura mengerikan yang terpancar darinya, seakan sesuatu di dalamnya bukanlah sesuatu yang ingin ditemui oleh manusia.
Samsul yang masih terengah-engah akhirnya berhasil mengejar kucing itu. "A... apa-apaan kau ini? Bisa-bisanya kau bisa berlari secepat itu!" ucapnya dengan nada protes.
Ming-Ming tidak menoleh ke arah Samsul. Ia hanya menatap pintu itu dengan mata serius.
"Bukalah pintu itu," katanya, suaranya terdengar dingin.
Samsul mengernyit. "Apa? Kenapa?"
"Percayalah, kau harus melihatnya sendiri," jawab Ming-Ming.
Samsul ragu sejenak, tetapi nalurinya mengatakan bahwa ia harus membuka pintu itu. Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangannya ke pegangan pintu dan menariknya perlahan.
Saat pintu terbuka, bau tajam dan busuk langsung menyergap hidungnya. Samsul tersentak dan mundur sedikit, tetapi ia tetap memaksa dirinya untuk melihat ke dalam.
Apa yang ia lihat di dalam membuat bulu kuduknya berdiri.
Ruangan ini tidak seperti ruangan biasa. Itu adalah sebuah laboratorium.
Namun, bukan laboratorium biasa ini adalah tempat eksperimen.
Tabung-tabung kaca besar berjajar di sepanjang dinding, masing-masing berisi sosok manusia yang sudah berubah menjadi sesuatu yang bukan manusia lagi. Beberapa dari mereka masih bergerak lemah, tetapi tubuh mereka telah tertutupi akar dan daging yang menyatu dengan tanaman.
Di sudut ruangan, ada meja operasi yang dipenuhi alat-alat tajam berlumuran darah.
Samsul menelan ludah, tubuhnya mulai gemetar. "Apa-apaan ini..." gumamnya.
Ia berjalan lebih dalam ke ruangan itu, menatap dengan ngeri eksperimen-eksperimen mengerikan yang ada di sana.
Kucing hitam itu seketika berubah menjadi manusia, yang ternyata itu adalah antonio.
Samsul berdiri di depan Antonio, napasnya tersengal, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi aneh yang baru saja terungkap. Kucing hitam yang sejak tadi membantunya ternyata adalah Antonio seorang bangsawan yang selama ini menghilang dari mansion.
Antonio menghela napas panjang, tatapannya penuh kelelahan dan kepedihan. "Samsul, apakah kau benar-benar tidak mengingat siapa aku?" tanyanya pelan.
Samsul menelan ludah, kepalanya sedikit berdenyut saat dia mencoba mengingat. "Jadi... selama ini kau adalah Antonio?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
"Iya," jawab Antonio singkat, namun cukup untuk membuat jantung Samsul berdegup lebih kencang.
"Kalau begitu... apakah kau tahu bahwa adikmu sendiri telah menjadi monster tanaman yang membunuh dan bereksperimen dengan manusia?" Samsul bertanya, kali ini nada suaranya lebih tegas, penuh kemarahan yang tertahan.
Antonio tidak langsung menjawab.
Keheningan pun menyelimuti ruangan itu, menciptakan suasana yang semakin mencekam.
Tidak tahan dengan sikap Antonio yang hanya diam, Samsul segera melangkah maju dan mencengkeram kerah baju Antonio.
"HEI!! APA KAU TIDAK DENGAR UCAPANKU?!" teriaknya, matanya menatap tajam ke dalam mata Antonio yang masih tetap tenang.
Namun, detik berikutnya, Antonio menepis tangan Samsul dengan kasar dan membalas dengan teriakan yang tak kalah lantang, "IYA, AKU TAHU ADIKKU ADALAH MONSTER TANAMAN! MEMANGNYA KENAPA?!"
Ruangan itu terasa semakin mencekam dengan ketegangan antara keduanya. Antonio menghela napas berat, kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih rendah dan penuh kesedihan. "Aku tahu bahwa Rina telah berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Aku tahu dia telah melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan manusia. Tapi aku tidak bisa membunuhnya... dia adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa setelah orang tua kami meninggal."
Samsul terdiam. Rasa kesalnya masih membara, tetapi setelah mendengar nada sedih di suara Antonio, amarahnya perlahan mereda. Untuk pertama kalinya, dia melihat Antonio sebagai seseorang yang juga menderita, bukan hanya sebagai bangsawan sombong yang menyembunyikan rahasia.
Namun, Samsul tetap tidak bisa memahami sepenuhnya. "Kalau begitu, kenapa kau tidak membunuhnya sejak awal? Bukankah itu lebih baik daripada membiarkannya melakukan semua eksperimen mengerikan ini?" tanyanya, kali ini lebih lembut, tetapi tetap mendesak.
Antonio menatap Samsul dengan mata yang lelah, kemudian berkata, "Apa kau pikir itu semudah membalikkan telapak tangan? Aku hanyalah kakaknya. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Bahkan ketika aku mencoba melawannya, dia menjadikanku eksperimen mengutukku dalam wujud kucing ini. Jika aku menyuruh para pelayanku membunuhnya, mereka tidak akan percaya kepadaku.
Mereka hanya akan melihatku sebagai monster dan membunuhku lebih dulu."
Samsul mendecak kesal, "Tapi kau bisa berubah menjadi manusia! Kenapa kau tidak menggunakan kesempatan itu untuk memerintah mereka?!"
Antonio kembali terdiam, lalu menundukkan kepalanya. "Kau benar-benar tidak memahami apa artinya menjadi seorang bangsawan dan kepala keluarga, ya?" gumamnya.
Tiba-tiba, tubuh Antonio kembali bertransformasi menjadi kucing hitam. "Aku tidak bisa mempertahankan wujud manusia terlalu lama. Mungkin kau ingat saat pertama kali tiba di mansion ini, aku menyambutmu bersama Maya dan Dani, pelayan kebun. Tapi kenyataannya, itu bukan aku. Itu hanyalah ilusi buatan Rina. Ilusi yang tidak sempurna, tapi cukup untuk menipu kalian."
Samsul tertegun. Semua mulai masuk akal. Sejak awal, yang dia temui di mansion ini bukanlah Antonio, Maya, atau Dani yang asli, melainkan boneka dan ilusi yang dikendalikan oleh Rina.
Samsul menghela napas berat dan mengalihkan pandangannya ke sekitar ruangan laboratorium yang dipenuhi eksperimen mengerikan. "Baiklah... untuk saat ini, yang lebih penting adalah menemukan tasku. Untung saja aku masih punya korek api di dalamnya sebagai cadangan. Jika kita bisa menemukannya, aku bisa menggunakan molotov yang ada di dalamnya untuk membakar pintu keluar," katanya, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang semakin menegangkan.
Namun, tepat setelah Samsul mengucapkan rencana itu, seluruh mansion tiba-tiba bergetar hebat. Dinding-dindingnya mengeluarkan suara gemuruh yang mengerikan, lantai seolah berguncang di bawah kaki mereka.
"Hah... hah... suara apa itu?!" Samsul bertanya dengan napas tersengal, kedua tangannya menutupi telinganya dari suara bising yang menusuk.
Antonio, masih dalam wujud kucingnya, mengangkat kepalanya, matanya menyipit waspada. "Kemungkinan besar itu suara Rina... Kau harus tahu bahwa kita semua terperangkap di dalam dunianya. Jika dia mendengar sesuatu yang mengancamnya, dia pasti akan bertindak," jelasnya dengan nada serius.
Samsul meneguk ludah. Dia tidak ingin membayangkan seperti apa 'tindakan' yang akan diambil oleh Rina.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita harus segera menemukan tasku sebelum tanaman merambat itu menelannya!" Samsul berkata dengan tegas, lalu segera berlari meninggalkan ruangan laboratorium, berharap bisa menemukan tasnya sebelum terlambat.
Antonio, yang masih dalam bentuk kucing, langsung melompat dan mengikuti Samsul dari belakang, berlari secepat mungkin di atas lantai mansion yang mulai retak dan dipenuhi akar-akar merambat yang bergerak liar.
To be continued...