Samsul menatap pemandangan di hadapannya dengan rasa ngeri. Laboratorium milik Rina, monster tanaman itu, dipenuhi dengan akar-akar yang menjalar di setiap sudut, berdenyut seperti makhluk hidup yang mengintai mangsanya. Cahaya temaram dari lampu yang berkedip-kedip semakin menambah kesan mencekam. Aroma busuk menyeruak dari cairan hijau yang menetes dari tabung-tabung kaca besar, tempat makhluk-makhluk aneh seperti manusia tumbuh dalam kepompong berbentuk akar.
Di sampingnya, Antonio yang saat ini dalam wujud kucing hitam berdiri diam, menatap ke arah dinding yang ditumbuhi sulur-sulur tajam. Samsul menghela napas dalam, mencoba meredakan ketakutannya. Mereka tak punya waktu untuk terpaku di tempat ini. Jika mereka tidak segera bertindak, mansion ini akan menjadi kuburan mereka.
Namun, sebelum mereka bisa mengambil langkah lebih jauh, suara gemuruh bergema di seluruh ruangan. Getaran hebat mengguncang lantai, membuat peralatan laboratorium bergeser dan berjatuhan. Dari kejauhan, terdengar jeritan yang mengerikan, seakan berasal dari makhluk yang sedang merasakan kesakitan luar biasa.
"Apa itu?!" Samsul menutup telinganya karena suara yang memekakkan.
Antonio langsung menegakkan tubuhnya dan berkata cepat, "Itu pasti Rina! Sepertinya dia menyadari apa yang kita rencanakan!"
Mereka tidak bisa lagi menunda waktu. Tanpa berpikir panjang, Samsul dan Antonio segera berlari keluar dari laboratorium, mencari tas yang berisi bom molotov satu-satunya cara untuk membakar akar-akar merambat yang semakin memenuhi mansion ini.
"Samsul, kau harus mengikuti aku! Aku tahu jalan ke luar dari sini!" teriak Antonio, berlari lebih dulu di depan.
Samsul mengikutinya dengan cepat, tetapi baru beberapa langkah, akar-akar merambat muncul dari dinding dan lantai, bergerak seakan memiliki kesadaran sendiri. Ujungnya yang tajam menyambar ke arah mereka, mencoba menjerat kaki Samsul.
"Sial! Mereka makin banyak!" Samsul melompat ke samping, nyaris terkena salah satu akar yang menebas udara di sampingnya.
Mereka harus lebih cepat. Dengan sekuat tenaga, mereka terus berlari melewati lorong gelap yang penuh dengan ranting dan akar. Beberapa kali Samsul tersandung, tetapi dia tetap memaksa dirinya bangkit dan berlari lagi.
Setelah melewati koridor sempit yang berliku, mereka sampai di tangga melingkar yang menuntun ke penjara bawah tanah mansion. Napas Samsul tersengal, tetapi dia tidak bisa berhenti sekarang. Mereka menaiki tangga dengan terburu-buru, sementara akar-akar terus mengejar mereka, menembus dinding dan lantai seakan berusaha mencekik mereka hidup-hidup.
Ketika akhirnya mereka mencapai pintu besar di ujung tangga, Samsul segera menarik gagangnya dan membanting pintu itu tertutup begitu mereka berdua berhasil keluar.
Namun, kelegaan mereka hanya bertahan sesaat. Begitu mereka berbalik, mereka mendapati sesuatu yang lebih mengerikan.
Di hadapan mereka, berdiri makhluk-makhluk berbentuk manusia, tetapi tubuh mereka terbuat dari tanaman dan kayu. Kulit mereka menyerupai batang pohon, dengan akar kecil yang menjalar dari tubuh mereka seperti urat. Mata mereka kosong, tidak memiliki ekspresi, tetapi tubuh mereka bergerak perlahan, menyerupai boneka kayu yang kehilangan kendali.
Samsul menelan ludahnya. "Jangan bilang... mereka adalah korban eksperimen Rina?"
Antonio menggeram rendah, telinganya merunduk. "Tidak ada waktu untuk mengasihani mereka! Kita harus pergi sekarang!"
Samsul tidak perlu diberi tahu dua kali. Mereka segera berlari, mencoba menghindari para monster tanaman yang mulai bergerak mendekat. Untungnya, tidak seperti Rina yang memiliki kecepatan dan akar panjang yang bisa menyerang dari kejauhan, monster-monster ini lebih lambat. Mereka berjalan dengan gerakan kaku dan tersentak-sentak, meskipun jumlah mereka semakin banyak, seakan muncul dari bayangan setiap lorong yang mereka lewati.
Mereka terus berlari, mencoba memotong jalan, tetapi di setiap belokan, semakin banyak monster yang muncul, seakan mansion ini sengaja mengurung mereka.
Samsul mulai panik. "Antonio, di mana tasku?! Kita tidak bisa keluar tanpa molotov itu!"
"Kita hampir sampai!" jawab Antonio, berlari ke arah pintu keluar yang diisi dengan tanaman merambat yang lebih tebal dari sebelumnya. Di sudut ruangan, sebuah tas tampak tergeletak di lantai, nyaris tertutupi oleh akar-akar yang menggeliat di sekelilingnya.
Samsul segera berlari ke sana dan menarik tasnya dengan sekuat tenaga. Dia merogoh ke dalamnya, mencari botol kaca yang berisi cairan mudah terbakar. Tangannya gemetar ketika dia menemukan salah satunya.
"Dapat!" Samsul segera mengeluarkan koreknya, menyalakan sumbu molotov, dan bersiap melemparkannya ke pintu yang tertutup akar.
Namun, tepat saat botol itu mengenai akar yang melilit pintu, suara jeritan melengking menggema di seluruh ruangan.
"AAARRRGGHHHHH!!!"
Suara itu begitu nyaring dan mengerikan, seakan berasal dari makhluk yang tengah mengalami kesakitan luar biasa. Mansion kembali bergetar hebat, membuat dinding-dindingnya retak dan lantainya bergemuruh.
Samsul terhuyung ke belakang, menatap pintu yang mulai terbakar, sementara akar-akar di sekeliling mereka menggeliat liar seperti ular yang sekarat. Dari kegelapan lorong di belakang mereka, suara langkah berat mendekat, disertai dengan suara napas yang dalam dan mengancam.
Saat mereka menoleh ke belakang, sosok yang tak asing lagi muncul dari kegelapan. Rina. Namun, tubuhnya kini bukan lagi manusia seutuhnya. Seluruh kulitnya telah berubah menjadi jaringan tanaman yang menjalar, merambat di sepanjang tubuhnya seperti akar yang terus hidup. Mata kosongnya menatap tajam ke arah mereka, penuh dendam dan kebencian yang tak terlukiskan. la tidak sendirian. Di belakangnya, gerombolan monster manusia-tanaman bergerak dengan langkah lambat, menyeret tubuh mereka yang sudah terdistorsi oleh eksperimen mengerikan.
"KAU YANG MEMBUNUH MAYA! KAU YANG MEMBUNUH MAYA!"
Suara itu menggema dalam keheningan, berulang kali keluar dari mulut mereka yang telah kehilangan bentuk manusiawi.
Mereka terus melangkah mendekat, mata mereka menyalakan api kebencian yang tak bisa dipadamkan.
Sementara itu, api yang membakar akar-akar di pintu keluar masih menyala dengan lambat, seakan-akan enggan memberikan jalan keluar bagi Samsul dan Antonio.
"Ayo cepatlah...," ucap Samsul dengan suara yang bergetar. la bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketakutan mulai mencengkeramnya lagi.
Namun, Antonio tiba-tiba berubah kembali ke bentuk manusianya dan menatap Samsul dengan ekspresi serius. "Samsul, apakah kamu masih punya bom molotov?"
Samsul menoleh dengan wajah bingung. "Aku hanya punya dua lagi. Kenapa?"
Antonio tersenyum samar, namun ada kesedihan di dalam matanya. "Berikan semuanya kepadaku. Sekalian dengan koreknya."
Samsul semakin bingung, tetapi tanpa banyak bertanya, ia menyerahkan kedua bom molotov tersebut.
Saat itu juga, Antonio menoleh ke arah Rina dan para monster, lalu berteriak dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.
"Wahai adikku, Rina... Kamu adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Aku tahu selama ini kau melakukan hal yang tidak manusiawi, tapi sebagai kakakmu, sebagai kepala keluarga kita, aku tak pernah bisa menghentikanmu.
Aku tak punya keberanian untuk menangkap atau bahkan membunuhmu. Aku terlalu lemah, aku terlalu egois."
Suaranya mulai melemah, dipenuhi rasa bersalah yang begitu dalam.
"Kepada para korban... aku meminta maaf. Aku adalah penjahat sebenarnya. Karena aku membiarkan adikku membunuh kalian... karena aku tidak pernah menghentikannya... karena aku membiarkan tempat ini terus ada.
Semuanya salahku."
Tiba-tiba, Antonio membuka bom molotov dan menyiramkan isinya ke seluruh tubuhnya.
Samsul terkejut, matanya melebar. "Hei! Apa yang kau lakukan?! Kau ingin mati?!"
Tapi Antonio hanya tersenyum seperti seorang pria yang telah menerima nasibnya. "Samsul... Bukankah kau ingin aku membunuh adikku sendiri? Ini tanggung jawabku. Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut."
"Tapi tidak seperti ini!" teriak Samsul, suaranya dipenuhi kepanikan dan kemarahan. "Ini bukan membunuh, ini bunuh diri!"
Antonio menatap Samsul untuk terakhir kalinya, lalu berkata dengan suara pelan, "Samsul... terima kasih telah memberiku sedikit keberanian. Aku takut selama ini, tapi kau mengajarkanku untuk menghadapi ketakutan itu. Sebagai balasannya... biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri. Pergilah dari sini... dan selamatkan dirimu."
la kemudian menyalakan api, membakar dirinya sendiri, dan dalam sekejap, ia berubah menjadi seekor kucing hitam yang menyala dalam kobaran api. Dengan kecepatan luar biasa, ia menerjang ke arah Rina dan para monster. Api yang membungkus tubuhnya menjalar ke setiap makhluk yang disentuhnya, membakar mereka hingga tak tersisa.
Samsul hanya bisa melihat semuanya dari kejauhan. Mansion itu mulai runtuh dalam kobaran api.
Dengan langkah berat, ia akhirnya keluar dari mansion terkutuk itu. Di luar, api telah melahap sebagian besar bangunan. Malam yang dingin bertolak belakang dengan panasnya api yang membakar segalanya. Samsul menatap api itu dengan ekspresi campur aduk-sedih, marah, putus asa.
la merasa gagal. la masih belum bisa mengalahkan ketakutannya sendiri.
Namun, meskipun begitu, ia tetap berusaha. la telah mencoba.
Saat ia berbalik, pintu itu muncul kembali, pintu yang dulu membawanya ke tempat ini.
Dengan tangan yang gemetar, Samsul membukanya... dan tiba-tiba, ia kembali ke bunker tempat ia pertama kali datang ke dunia ini.
Samsul menutup pintu itu perlahan, lalu duduk. Dadanya naik turun, napasnya berat.
Tanpa bisa menahannya lagi, ia menangis.
Tangisannya menggema di dalam bunker yang sunyi.
Tiba-tiba, suara kecil mengganggu keheningan.
"Meong."
Samsul menoleh, dan di hadapannya, seekor kucing hitam duduk dengan tenang, membawa sebuah surat di mulutnya.
Dengan tangan gemetar, Samsul mengambil surat itu dan membukanya.
TERUNGKAP!!
Mansion yang terbakar beberapa hari lalu ternyata adalah tempat eksperimen manusia dan tanaman yang tidak manusiawi. Dilaporkan ada 100 korban 20 di antaranya adalah penjelajah, 50 pekerja di mansion, dan 30 tentara di bawah komando Pak Sobari.
Mayatnya ditemukan di antara reruntuhan, namun anehnya, tubuhnya tidak sepenuhnya hangus.
Hingga kini, siapa dalang dari eksperimen mengerikan ini masih dalam penyelidikan kepolisian.
Kota Morti, Negara Manjer, Planet Eresia, Tahun 1718.
Samsul menutup surat itu, lalu menatap kucing hitam di hadapannya.
"Apa itu kau, Antonio?" bisiknya, mengusap kepala kucing itu dengan lembut.
Kucing itu hanya mengeong pelan.
Samsul menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke satu-satunya pintu yang kini menyala terang di bunker itu.
Pintu kedua.
la tidak akan langsung masuk seperti sebelumnya.
Sebelumnya, ia hampir mati berkali-kali. Kali ini, ia harus lebih siap.
Dengan tekad yang mulai terbentuk, Samsul menatap pintu itu dan berkata dengan suara tegas,
"Tunggu aku beberapa bulan lagi... Aku akan kembali dengan persiapan yang matang. Aku tidak tahu apa yang ada di balik pintu ini, tetapi sebisa mungkin... aku tidak boleh menjadi beban lagi."
la kemudian berbalik, melangkah pergi meninggalkan bunker.
Namun, pertanyaan terbesar masih menggantung di udara...
Apakah Samsul akan kembali?
Ataukah ini adalah akhir dari perjalanan yang belum selesai?
To be continued.