Pintu Kedua ( silence) Terbuka

Tiga bulan telah berlalu sejak Samsul keluar dari pintu pertama, pintu yang penuh dengan ketakutan dan kegelapan yang hampir merenggut nyawanya. Kini, ia merasa sudah cukup mempersiapkan dirinya untuk kembali.

Sambil merapikan ranselnya yang penuh dengan peralatan survival sederhana, ia berbicara kepada dirinya sendiri, "Sudah saatnya aku kembali ke bunker itu… Aku telah mempelajari beberapa teknik bela diri dan berlatih fisik agar lebih kuat. Kali ini, aku tidak boleh lagi meremehkan situasi di dalam sana. Jika aku lengah, aku bisa mati tanpa sempat memahami apa yang terjadi."

Samsul melangkahkan kakinya meninggalkan rumahnya. Langkahnya tegas, penuh keyakinan. Tujuannya jelas menuju bunker misterius yang pernah membawanya ke dunia lain.

Saat ia berjalan melewati hutan yang lebat, berbagai pikiran muncul di benaknya. Kenangan buruk dari pengalaman pertamanya kembali menghantui. Ia mengingat satu per satu orang yang ia temui di dalam sana Antonio, Maya, Rina, dani, pak sobari dan bagaimana mereka semua harus berakhir dengan cara yang mengerikan.

Ia mengepalkan tangannya dengan erat. "Aku tidak boleh membiarkan hal seperti itu terjadi lagi… Aku tidak boleh dekat dengan orang lain. Jika aku berteman dengan seseorang di dalam sana, itu hanya akan menjadi beban emosional bagiku. Mereka bisa mati, dan aku tidak ingin merasakan kehilangan lagi."

Suara dedaunan kering yang terinjak oleh kakinya terdengar nyaring di antara keheningan hutan. Angin berhembus perlahan, menggerakkan dahan-dahan pohon yang tinggi. Namun, di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing.

Suara manusia.

Samsul berhenti berjalan. Alisnya mengernyit. "Siapa mereka?" gumamnya pelan.

Dengan langkah hati-hati, ia mendekati bunker itu. Dari luar, ia bisa mendengar suara beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di dalamnya. Ia mengintip perlahan dari celah pintu bunker yang sedikit terbuka.

Ternyata, mereka hanyalah sekelompok anak muda.

Ada sekitar 10 orang di dalam sana. Mereka terlihat santai, tertawa, dan tampak tidak menyadari bahaya yang mungkin tersembunyi di dalam tempat itu.

Namun, salah satu dari mereka tiba-tiba menyadari keberadaan Samsul dan langsung berdiri. "Hei! Kau siapa?! Ngapain lu di markas kami?" bentaknya dengan nada kasar.

Samsul keluar dari tempat persembunyiannya dan berdiri tegap di hadapan mereka. Dengan suara tenang namun tegas, ia menjawab, "Sejak kapan ini jadi markas kalian? Aku sudah menemukan tempat ini sejak beberapa bulan yang lalu."

Pemuda yang tadi membentaknya tampak semakin kesal. Ia maju selangkah dengan tatapan menantang. "Lu ngomong apa, ha? B*ngs*t! Kalo ini punya lu, ayo gelud sini! Gue hajar lu sekarang juga, anj*ng!"

Samsul menghela napas panjang. Ia menatap pemuda itu dengan pandangan datar, seolah tidak peduli dengan provokasinya. Samsul tahu, menghadapi orang seperti ini dengan emosi hanya akan membuang-buang energi.

Namun, sebelum pemuda itu benar-benar mendekat, teman-temannya segera menahannya. "Udah, Gus! Jangan kayak gitu! Orang ini nggak ngapa-ngapain, kok!" salah satu dari mereka berusaha menenangkan suasana.

Samsul hanya mengangguk kecil dan kembali berfokus pada pintu misterius yang berada di dalam bunker itu. Cahaya aneh masih terpancar dari dalamnya pintu kedua yang sejak tiga bulan lalu sudah menunggunya.

Salah satu anak muda itu, yang tampaknya lebih sopan dan tenang, mendekati Samsul. "Maaf ya, Bang… Teman saya emang kadang agak kasar orangnya," ucapnya dengan nada ramah.

Samsul menoleh ke arahnya dan memberikan senyum tipis. "Santai saja. Selama dia tidak memukulku duluan, aku tidak akan memperdulikannya," jawabnya sambil melirik Agus pemuda yang tadi mencoba memprovokasinya.

Anak muda yang sopan itu mengangguk. "Oh iya, Bang… Saya penasaran. Dari kemarin-kemarin, pintu itu lampunya terus menyala. Abang mau masuk ke dalam ya?" tanyanya dengan nada penasaran.

Samsul menatap pintu itu sejenak sebelum mengangguk. "Iya. Aku akan memasuki pintu ini," jawabnya dengan mantap.

Pemuda itu semakin tertarik. "Wah, serius? Emang abang pernah masuk sebelumnya?"

Samsul menghela napas sebelum menjawab, "Ya… Aku sudah masuk ke pintu pertama. Itu adalah pengalaman yang hampir membunuhku."

Anak muda itu tampak semakin penasaran. "Wah… Boleh tahu, Bang, di dalam sana ada apa?"

Samsul tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pintu itu dengan tatapan kosong, seakan pikirannya masih berada di dalam dunia yang ia tinggalkan tiga bulan lalu. "Sulit untuk dijelaskan… Tapi satu hal yang pasti, di dalam sana tidak ada tempat untuk orang lemah."

Anak muda itu menelan ludah. Ia bisa merasakan ketegangan dalam suara Samsul.

Samsul kemudian menatap mereka satu per satu dan bertanya, "Ngomong-ngomong, siapa nama kalian?"

Mereka mulai menyebutkan nama mereka satu per satu.

Pemuda yang kasar tadi bernama Agus. Pemuda yang sopan dan ramah bernama Rafli. Sementara yang lainnya masing-masing bernama Dani, aldi, Jaka dll.

Samsul mengangguk pelan, mencatat nama-nama mereka dalam pikirannya.

Samsul berdiri tegak, menatap kelompok anak muda itu dengan ekspresi serius. Ia tahu bahwa tempat ini bukan sekadar bunker biasa. Ada sesuatu yang mengintai di balik pintu bercahaya itu sesuatu yang mungkin lebih mengerikan daripada yang pernah ia alami sebelumnya.

"Baiklah, kalau begitu..." Samsul menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Kalian semua, tolong pergi dari sini. Tempat ini cukup berbahaya. Aku tidak ingin ada yang terluka atau terjebak dalam sesuatu yang tidak bisa kalian pahami."

Namun, seperti yang sudah diduga Samsul, tidak semua dari mereka mau mendengarkan peringatannya. Agus, anak yang sejak awal sudah menunjukkan sikap sombong, hanya tertawa meremehkan.

"Hah… Berbahaya, katanya?" Agus mencibir sambil melipat tangannya di dada. "Lu itu sebenarnya mau ngelakuin ritual sesat, kan? Mentang-mentang tempat ini sepi, lu bisa bebas ngelakuin hal-hal aneh. Atau jangan-jangan..." Agus menyeringai. "Lu bawa cewek ke sini buat hal yang gak beres, ya?"

Belum sempat Agus melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Agus, membuatnya tersentak kaget. Semua orang terdiam, menatap orang yang baru saja memukul Agus.

Ternyata, tamparan itu berasal dari salah satu temannya sendiri, seorang pemuda bertubuh atletis bernama Aldi.

"Lu gua diemin lama-lama makin kurang ajar!" Aldi menggeram. "Gak ada sopan-sopannya sama orang yang lebih tua!"

Agus memegang pipinya yang terasa panas. Ia menatap Aldi dengan penuh amarah. "Brengsek lu, Di!"

Rasa sakit itu membuat Agus semakin marah. Dengan emosi yang memuncak, ia langsung berdiri dan meraih kerah baju Aldi. Kedua mata mereka saling menatap tajam, siap meledak kapan saja.

Mereka hampir saja terlibat baku hantam sebelum suara Samsul yang lantang menghentikan mereka.

"DIAM!"

Suara Samsul menggema di dalam bunker, membuat semua orang terdiam. Bahkan angin yang berhembus terasa ikut berhenti.

Samsul menghela napas panjang sebelum kembali berbicara dengan nada tegas, "Kalau kalian tidak mau pergi, ya silakan. Aku tidak peduli. Tapi aku sudah memperingatkan kalian. Apapun yang terjadi setelah ini, itu tanggung jawab kalian sendiri."

Semua orang terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Samsul. Namun, bukannya mundur, Agus malah semakin menantang.

"Emang kenapa kalau gua gak pergi, hah?" Agus melipat tangannya. "Gua curiga lu mau masuk ke pintu itu, kan? Jangan-jangan di dalam sana udah ada sesajen, ya?" Ia tertawa sinis. "Pasti ada yang gak beres di tempat ini."

Samsul hanya menatapnya tanpa ekspresi. Lalu, dengan suara tenang, ia berkata, "Kalau lu mau masuk, silakan saja."

Agus tersenyum penuh kemenangan. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju dan membuka pintu itu.

BRAK!

Seketika, sesuatu yang tidak terlihat menarik mereka semua ke dalam.

Angin kencang berhembus, menciptakan pusaran misterius yang menghisap mereka ke dalam kegelapan. Samsul mencoba bertahan, tetapi tarikan itu terlalu kuat. Ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Pandangannya berputar, dunia di sekelilingnya terasa seperti tersedot ke dalam kehampaan.

Lalu...

Keheningan.

Ketika Samsul membuka matanya, ia menyadari bahwa ia berada di tempat yang benar-benar berbeda. Ia segera bangkit dan melihat sekeliling.

Namun, ada yang janggal.

Tidak ada siapa-siapa.

Anak-anak muda itu Agus, Aldi, Rafli, Dani, Jaka dll semuanya menghilang.

"Hah…?" Samsul bergumam, mencoba memahami situasinya. "Ke mana mereka pergi? Apakah kami terpisah?"

Namun, saat ia memperhatikan lebih jauh, ia menyadari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Dunia di sekelilingnya tampak seperti kota yang mati.

Gedung-gedung menjulang tinggi, namun semuanya dalam keadaan hancur dan kosong. Jalanan yang terbentang luas tidak memiliki satu pun tanda kehidupan. Tidak ada kendaraan, tidak ada manusia, bahkan tidak ada suara burung atau hewan lainnya.

Hanya ada suara angin yang berhembus pelan sebuah keheningan yang terasa lebih menyeramkan daripada suara teriakan manusia.

Samsul menelan ludah. Tubuhnya merinding.

"Tempat ini… jauh lebih mengerikan daripada dunia sebelumnya," gumamnya.

Ia mulai berjalan perlahan. Setiap langkah yang ia buat terdengar begitu jelas, menggema di antara bangunan-bangunan kosong.

TAP… TAP… TAP…

Ia berhenti sejenak.

Suaranya sendiri terdengar terlalu keras.

"Apa-apaan ini?" bisiknya pelan. "Bahkan suara langkah kakiku sendiri seperti dipantulkan ke seluruh kota."

Samsul mencoba mengetukkan jarinya ke dinding salah satu bangunan.

TOK!

Suaranya menggema seakan seluruh tempat ini hanyalah ruangan kosong yang luas tanpa batas.

"Tempat ini benar-benar tidak wajar…"

Ia terus berjalan, memperhatikan sekeliling dengan penuh kewaspadaan.

Semakin lama, rasa gelisah mulai menyelimutinya.

Bukan hanya karena keheningan ini yang terasa begitu mencekam… tetapi juga karena ia merasa sedang diawasi.

Jantungnya berdetak lebih cepat.

Ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.

Namun, entah mengapa, perasaan itu tetap ada.

Ia menelan ludah lagi. "Sial… Aku harus tetap tenang."

Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh…

Sesuatu mulai bergerak di kejauhan.

Samsul terdiam. Ia menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih jelas.

Ada sesuatu di tengah jalan.

Sebuah bayangan.

Bayangan itu tidak memiliki bentuk yang jelas, tetapi perlahan mulai bergerak mendekat.

Samsul mundur satu langkah.

"Lalu… Apa yang akan aku hadapi kali ini?" gumamnya dengan suara pelan.

To be continued...