Saat Samsul tertidur, beberapa jam kemudian terdengar suara teriakan mengerikan dari luar rumahnya. Suara itu begitu nyaring dan penuh ketakutan, menggema di tengah keheningan malam. Samsul terbangun seketika, napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa suara itu datang dari dekat rumahnya, bukan dari hutan seperti sebelumnya.
Tanpa membuang waktu, Samsul meraih pistol dengan silencer yang selalu ia siapkan di dekatnya. Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia merunduk mendekati jendela, mengintip ke luar untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Cahaya bulan yang redup tidak cukup untuk melihat dengan jelas, sehingga ia mengangkat senter kecilnya dan menyalakannya, mengarahkannya perlahan ke sumber suara.
Saat cahaya remang-remang itu menyorot ke depan, ia melihat sosok manusia terjebak dalam salah satu perangkap yang ia pasang sebelumnya. Sosok itu tampak berusaha melepaskan diri, merintih kesakitan, dan napasnya terengah-engah. Samsul masih belum yakin apakah itu benar-benar manusia biasa atau sesuatu yang lebih berbahaya.
Sebelum keluar, ia mengambil napas dalam-dalam, tetap waspada, dan berbicara dengan suara tegas. "Hei! Siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanyanya sambil tetap membidik sosok itu dengan pistolnya.
Orang itu, yang ternyata seorang wanita, mendongak menatap Samsul dengan wajah penuh penderitaan. Dalam cahaya redup, terlihat ekspresi lelah dan kesakitan di wajahnya. "Aku... aku hanya orang yang tersesat," jawabnya dengan suara lemah. "Aku melihat ada cahaya di tempat ini, jadi aku datang mendekat... tapi aku tidak sengaja masuk ke dalam jebakanmu. Tolong, bisakah kau membantuku?" katanya dengan nada memohon.
Samsul tetap berdiri di tempatnya, masih belum sepenuhnya percaya. Ia menatapnya tajam, mencoba menilai apakah wanita ini benar-benar hanya seorang pengembara yang tersesat atau memiliki niat lain yang berbahaya.
Setelah beberapa saat yang terasa lama, akhirnya Samsul memberanikan diri untuk membuka pintu. Namun, ia tetap berjaga-jaga, pistolnya masih diarahkan ke wanita itu. Dengan langkah perlahan dan penuh kehati-hatian, ia mendekati sosok tersebut. Pikiran buruk berkelebat di benaknya bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika wanita itu bukan manusia biasa?
Ketika ia semakin dekat, barulah ia bisa melihat dengan lebih jelas. Wanita itu tampak lelah, pakaiannya kotor penuh debu dan sobekan. Kakinya terluka akibat jebakan, darah segar mengalir dari lukanya. Samsul tetap tidak menurunkan kewaspadaannya saat ia membuka perangkap itu dengan hati-hati.
"Jangan coba-coba macam-macam," ujarnya dengan nada dingin.
Wanita itu hanya mengangguk pelan. Setelah jebakan terbuka, Samsul membantunya berdiri, lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Ia menyuruh wanita itu duduk di sudut ruangan sementara dirinya tetap berjaga, tidak membiarkan pistolnya jauh dari genggaman.
Wanita itu segera membalut lukanya dengan kain yang ia bawa sendiri. Samsul memperhatikannya dengan seksama. Saat wanita itu masih sibuk dengan lukanya, Samsul kembali membidiknya dengan pistol. Wanita itu terkejut dan langsung mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bahwa ia tidak berniat macam-macam.
"Aku tanya sekali lagi," ujar Samsul dengan suara lebih tajam. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa bisa ada di tempat ini malam-malam seperti ini? Tempat ini bukan tempat biasa, dan aku yakin kau tahu itu."
Wanita itu terdiam sejenak. Wajahnya tampak ragu, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menghela napas panjang dan mulai berbicara.
"Aku... namaku isma," katanya dengan suara pelan. "Aku dan beberapa temanku adalah orang-orang yang tersesat di tempat ini. Awalnya, kami hanya mencari tempat untuk beristirahat sebelum malam tiba. Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi..."
Samsul menyipitkan mata, menunggu kelanjutan ceritanya.
"Salah satu teman kami..." Isma melanjutkan dengan suara sedikit gemetar, "dia... dia dikejar oleh makhluk yang disebut 'Deafer'. Kami semua panik dan berlari menyelamatkan diri. Dalam kekacauan itu, kami terpisah. Aku tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak..."
Samsul terdiam sejenak. Kata 'Deafer' membuat bulu kuduknya berdiri. Ia tidak tahu pasti apa itu, tapi dari nada suara isma, jelas bahwa makhluk itu bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng.
"Aku berlari tanpa arah," lanjut isma. "Sampai akhirnya, aku mendengar suara teriakan seseorang. Aku berpikir mungkin itu temanku yang masih selamat, jadi aku berlari ke arahnya. Tapi ternyata, suara itu berasal dari tempatmu dan... pria tua yang membawa kapak."
Mata Samsul menyipit. "Kau melihat pria tua itu juga?"
Isma mengangguk. "Ya. Dia tampak menyeramkan. Aku tidak tahu apakah dia orang baik atau tidak. Aku terlalu takut untuk mendekatinya, jadi aku hanya bersembunyi di balik pepohonan, mengamati dari kejauhan."
Samsul menghela napas panjang. Malam ini benar-benar penuh misteri. Pria tua dengan kapak berdarah, suara jeritan misterius, dan kini seorang wanita yang mengaku dikejar oleh sesuatu yang disebut 'Deafer'.
Ia masih belum tahu apakah isma bisa dipercaya atau tidak...
"Terus kenapa kau malah mengikutiku?" tanya Samsul dengan nada curiga, matanya masih memperhatikan setiap gerak-gerik wanita di depannya.
Isma menundukkan kepala, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. "Aku... awalnya berpikir kau dan pak tua itu yang membunuh temanku," katanya pelan, masih dengan ekspresi yang penuh kehati-hatian. "Aku mengawasi dari kejauhan, menunggu sampai kalian pergi. Tapi saat aku mendekati tempat itu, aku tidak menemukan mayat temanku... tidak ada tanda-tanda perkelahian, tidak ada bercak darah, bahkan tidak ada jejak pertarungan sama sekali."
Samsul menyipitkan matanya. "Dan itu membuatmu berpikir kalau aku tahu sesuatu?"
Isma mengangguk. "Ya... karena itu terasa aneh. Bagaimana bisa seseorang yang berteriak ketakutan tiba-tiba menghilang tanpa jejak? Aku tidak tahu harus percaya pada siapa, jadi aku memutuskan mencari jawaban. Aku mencoba mencari kau atau pak tua itu... Tapi saat aku sampai di rumah pak tua itu, aku malah disambut oleh mereka."
"Mereka?" Samsul mengangkat alis. "Siapa mereka?"
Isma tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak tahu pasti siapa mereka... Tapi ketika aku sampai di sana, aku tidak menemukan mayat temanku, tidak ada jejak apapun. Yang ada hanyalah hewan buruan yang sedang mereka potong. Aku tidak bisa memastikan apakah mereka terlibat atau tidak, tapi naluriku mengatakan ada sesuatu yang janggal di tempat ini."
Samsul terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan isma. Ada sesuatu yang tidak beres. Dan sekarang, dia ingin tahu lebih banyak.
"Terus, kenapa kau berpikir aku tahu sesuatu?" Samsul bertanya lagi, kali ini suaranya lebih tegas. "Dan siapa itu Deafer? Dia makhluk seperti apa? Bagaimana kau bisa sampai di sini?"
Isma menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku tidak punya bukti kalau kau tahu sesuatu... Aku hanya merasa bahwa kau mungkin memiliki jawaban atas apa yang terjadi. Tapi soal Deafer..." Isma menelan ludah, tampak ketakutan hanya dengan menyebut namanya. "Dia adalah makhluk buta... Tapi jangan salah paham. Walaupun dia tidak bisa melihat, pendengarannya sangat tajam, jauh lebih tajam daripada manusia mana pun. Satu suara kecil saja bisa membuatnya melesat ke arahmu dalam hitungan detik. Jika dia mendengar sesuatu, dia akan memburu sumber suara itu tanpa ampun."
Samsul merasakan bulu kuduknya berdiri. Bahkan hanya dengan mendengar deskripsi isma , dia sudah bisa membayangkan betapa mengerikannya makhluk itu. Ia belum pernah bertemu dengan Deafer secara langsung, tapi dari cerita isma, makhluk itu terdengar seperti predator yang sempurna buta, tapi mampu memburu dengan cara yang lebih menakutkan dari sekadar penglihatan.
"Tapi Deafer selalu ada di kota, bukan?" Samsul memastikan. "Jadi mereka seharusnya tidak ada di sekitar sini..."
Isma menggeleng lemah. "Bukan berarti mereka tidak bisa sampai ke perkampungan atau daerah pinggiran. Kita tidak tahu seberapa jauh mereka bisa berburu. Yang jelas, jika kita tidak hati-hati, kita bisa jadi mangsa mereka berikutnya."
Samsul menghela napas panjang. Semakin banyak dia tahu, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Tapi untuk saat ini, dia tidak ingin memikirkan terlalu banyak hal sekaligus.
Ia menurunkan pistolnya, lalu berjalan ke arah rak kecil di sudut ruangan. Dari sana, ia mengambil gulungan perban dan kembali ke isma. "Ini, obati lukamu dengan benar," katanya sambil menyerahkan perban itu. "Jangan sampai infeksi."
Isma menerima perban itu dengan anggukan pelan. Saat ia mulai membalut lukanya, Samsul berjalan ke dalam kamarnya, mengambil sebuah selimut, lalu kembali menghampiri isma.
"Nih," katanya, menyerahkan selimut itu kepadanya. "Lebih baik kau istirahat dulu. Besok pagi, aku akan pergi ke kota untuk mencari orang-orang yang selamat. Sementara itu, kau tetap di sini. Jangan pergi ke mana-mana."
Isma menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik... Aku mengerti."
Ketika fajar menyingsing, Samsul terbangun dan mendapati isma sudah bangun lebih dulu. Ia tampak duduk di dekat perapian, menatap api yang masih menyala dengan tatapan kosong.
Samsul mengucek matanya, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Tanpa banyak bicara, ia menuju kamar mandi, mencuci muka dan bersiap untuk harinya yang panjang. Beberapa menit kemudian, ia keluar dan berjalan menuju dapur.
Ia mulai memasak ikan yang ia tangkap kemarin. Tapi saat ia melirik ke arah isma, ia menyadari sesuatu wanita itu juga sedang memasak sesuatu. Ternyata, ia tengah memasak nasi di panci kecil.
Samsul mendekatinya, merasa sedikit terkejut. "Kau bisa masak?" tanyanya singkat.
Isma tersenyum tipis. "Aku tidak mau hanya duduk diam. Lagipula, kita butuh tenaga untuk hari ini, kan?"
Samsul tidak menjawab. Ia hanya duduk dan mulai makan bersama isma dalam keheningan. Setelah selesai, ia menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang ada di dapur, lalu berkata, "Aku akan pergi ke kota hari ini. Kau tetap di sini. Sementara aku pergi, kau bisa memancing di danau. Ketika aku kembali, aku harap kau sudah mendapatkan banyak ikan."
Isma mengangguk tanpa protes. "Baik, aku akan mencoba."
Samsul mengemasi peralatannya senjata, pisau, beberapa perlengkapan darurat lalu meninggalkan rumah, menuju kota yang sunyi dan berbahaya.
Perjalanan ke kota tidak pernah terasa mudah. tempat itu telah berubah menjadi labirin kesunyian yang mencekam. Bangunan-bangunan kosong yang tampak hancur, jalanan penuh dengan mobil-mobil yang ditinggalkan, dan udara terasa lebih berat dari biasanya.
Samsul berjalan dengan hati-hati, matanya terus mengawasi sekeliling. Setiap sudut bisa menjadi tempat persembunyian sesuatu yang berbahaya.
Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti kota, ia melihat sesuatu. Sebuah bayangan.
Ia langsung berhenti, tubuhnya menegang. Bayangan itu berdiri diam, siluetnya samar karena tertutup kabut. Samsul mengerutkan dahi. Apakah itu manusia? Atau sesuatu yang lebih berbahaya?
Ia mencoba melangkah perlahan, menjauh dari sosok itu. Tapi belum sempat ia menghela napas lega, ia melihatnya lagi.
Bayangan lain, kali ini di sisi berlawanan.
Samsul mulai merasakan ketegangan merayapi tubuhnya. Ia tidak hanya melihat satu... Tapi banyak.
Dari dalam kabut, semakin banyak sosok yang muncul. Mereka tidak bergerak cepat, tapi kehadiran mereka saja sudah cukup untuk membuat Samsul merasa tidak nyaman.
"Ini tidak bagus..." gumamnya dalam hati.
Apakah mereka manusia? Atau Deafer yang sedang berburu?
To be continued...