Ketika Samsul akhirnya tiba di perkotaan yang sunyi dan dipenuhi kabut tebal, ia langsung merasa ada yang tidak beres. Saat matanya menelusuri jalan-jalan yang sepi, ia melihat sosok-sosok samar berdiri diam di kejauhan. Mereka bukan hanya satu atau dua, melainkan dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari yang ia perkirakan.
Mereka berdiri kaku, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. Meskipun tubuh mereka tidak bergerak, Samsul tahu bahwa keheningan mereka bukan berarti mereka tidak berbahaya.
Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya saat ia dengan hati-hati mundur selangkah. "Apakah mereka Sonovore?" gumamnya pelan, hampir tidak bersuara. Ia tahu bahwa makhluk-makhluk itu adalah predator yang berburu dengan pendengaran mereka yang luar biasa tajam. Satu suara kecil saja bisa menjadi undangan maut.
Samsul menarik napas dalam-dalam dan mulai berjalan pelan, menyusuri jalan dengan langkah senyap, mencari cara untuk menghindari para makhluk itu. Dalam beberapa menit, ia berhasil melewati mereka tanpa menarik perhatian. Dengan hati-hati, ia terus bergerak maju, tetap berwaspada terhadap setiap suara yang terdengar di sekitarnya.
Di tengah perjalanan, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Di tengah kabut, beberapa Sonovore sedang berkumpul, membelakangi dirinya. Mereka tampak membungkuk ke tanah, gerakan mereka pelan tapi jelas mereka sedang memakan sesuatu.
Samsul menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih kencang saat pikirannya mulai membayangkan kemungkinan buruk. "Apa yang mereka makan? Hewan? Atau..." Ia tidak berani melanjutkan pikirannya.
Ia menggelengkan kepala, menepis kemungkinan buruk yang ada di benaknya. Ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu. Ia harus tetap fokus pada tujuannya: menemukan anak-anak muda yang menghilang.
Dengan langkah yang lebih cepat namun tetap senyap, ia bergerak maju. Namun tiba-tiba..
"CRANG!"
Suara pecahan botol kaca bergema di udara, menghancurkan kesunyian yang mencekam. Samsul langsung berhenti dan menoleh dengan waspada, mencari sumber suara itu. Sonovore yang sebelumnya diam kini mulai bergerak, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara dengan cepat.
Samsul mengutuk dalam hati. "Sial... suara itu akan menarik mereka ke sini!"
Dan benar saja. Sonovore mulai berjalan mendekat, mencari tahu dari mana suara itu berasal. Mata Samsul segera menangkap sosok di kejauhan.
Agus.
Anak itu berdiri di toko yang sudah cukup hancur, wajahnya dipenuhi ekspresi jahil yang menjengkelkan. Samsul mengerutkan dahi, mengingat betapa nakalnya anak itu sebelum kejadian ini. Mereka sudah hampir berkelahi sebelumnya, dan sekarang bocah itu malah mencari gara-gara lagi.
Sebelum Samsul sempat bergerak, Agus kembali melemparkan botol kaca lain ke arah yang lebih dekat dengannya.
"CRANG!"
Sonovore langsung menoleh ke arah Samsul, lalu mengeluarkan suara geraman menyeramkan. Dan dalam sekejap, mereka mulai berlari ke arahnya.
"Brengsek! Anak itu benar-benar cari mati!"
Samsul langsung berlari sekencang mungkin, berusaha menjauh dari para monster yang kini mengejarnya. Langkah kakinya yang tergesa-gesa membuat suara berisik di jalanan yang sepi, semakin menarik perhatian Sonovore lain yang ada di sekitar.
"Kalau aku terus lari seperti ini, mereka semua akan mengejarku!" pikirnya dengan panik.
Dalam situasi genting ini, Samsul harus mengambil risiko. Ia mengingat kembali teknik ninjutsu yang pernah dipelajarinya, lalu mencoba melangkah dengan lebih senyap, menyesuaikan napasnya, dan mengendalikan setiap gerakannya agar tidak menimbulkan suara yang berlebihan.
Dengan sigap, ia melompat ke samping dan masuk ke gang sempit di antara dua gedung. Sonovore yang mengejarnya terus berlari lurus, tidak menyadari bahwa mangsanya sudah menghilang dari pandangan mereka.
Samsul bersandar pada dinding, menahan napas, menunggu beberapa saat hingga suara langkah kaki para monster itu perlahan menjauh.
Gang itu sangat sempit, nyaris tidak bisa dilewati. Ia harus berjalan miring agar bisa melewatinya. "Untung aku nggak buncit," pikirnya, mencoba bercanda dengan dirinya sendiri meski situasi masih menegangkan.
Beberapa menit berlalu. Samsul masih bisa mendengar langkah kaki Sonovore di kejauhan. Mereka masih berada di sekitar area itu, mencari mangsa. Ini membuatnya tidak bisa langsung keluar dari tempat persembunyiannya.
Namun, ia tidak bisa terus berdiam diri di sini. Ia harus keluar dengan sangat hati-hati. Dengan langkah perlahan dan tubuh tetap merendah, Samsul mulai bergerak keluar dari gang sempit itu. Ia memastikan setiap gerakannya tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Ketika ia akhirnya berhasil keluar, ia harus memastikan bahwa Sonovore tidak lagi menjadi ancaman langsung.
Samsul menghitung ada lima Sonovore yang masih berkeliaran di sekitar jalanan. Salah satu dari mereka berdiri membelakangi Samsul. Ini adalah kesempatan.
Dengan gerakan cepat dan senyap, Samsul mendekati makhluk itu dari belakang. Tangannya erat menggenggam belati yang sejak tadi ia simpan. Dalam satu gerakan cepat dan presisi, ia menebas leher makhluk itu dengan kejam. Sonovore itu jatuh ke tanah tanpa sempat mengeluarkan suara.
Darah hitam mengalir dari lehernya, namun Samsul tidak terpancing untuk membunuh yang lain. Menghabisi mereka satu per satu hanya akan membuang waktu.
"Aku harus pergi dari sini secepatnya," gumamnya sambil menyarungkan kembali pisaunya.
Ia mengambil jalan memutar, menghindari area di mana Sonovore lainnya masih berkeliaran. Setelah memastikan jalanan cukup aman, ia mulai bergerak kembali menuju ke tempat Agus berada.
Samsul menggertakkan giginya.
"Kali ini, anak itu tidak akan lolos begitu saja."
Samsul kembali berjalan dengan langkah hati-hati, tetap waspada terhadap bahaya yang mengintai di setiap sudut kota sunyi ini. Ia menelusuri jalanan yang dipenuhi kabut tebal, di mana siluet-siluet makhluk misterius itu masih berkeliaran. Sonovore, makhluk yang lebih mirip bayangan hidup, berdiri tanpa arah, seolah tak peduli dengan keberadaan Samsul. Namun, ia tahu lebih baik daripada menganggap mereka tidak berbahaya. Setiap gerakan ceroboh bisa menarik perhatian mereka, dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.
Dengan penuh kewaspadaan, Samsul mencapai persimpangan jalan yang dipenuhi reruntuhan dan kendaraan yang telah lama ditinggalkan. Ia melihat sebuah toko tua di seberang jalan, toko yang menjadi tempat Agus anak nakal itu bersembunyi sebelumnya. Dada Samsul kembali dipenuhi sedikit kemarahan saat mengingat bagaimana Agus melempar botol kaca ke arahnya, membuat monster-monster itu bereaksi.
Ia menghela napas dalam, menenangkan dirinya. "Baiklah, aku harus menemukannya. Entah untuk menyelamatkannya atau memberinya sedikit pelajaran," gumam Samsul sambil melangkah masuk ke dalam toko itu.
Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu yang berderit, lalu mulai menyusuri setiap sudut toko tersebut. Rak-rak kayu berdebu, lantai penuh pecahan kaca, dan aroma kelembapan yang pekat memenuhi ruangan. Ia memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi persembunyian, dari balik meja kasir hingga ke dalam gudang kecil di bagian belakang. Namun, tak ada tanda-tanda Agus di sana.
"Kemana anak itu pergi?" gumamnya pelan, sedikit frustrasi.
Samsul keluar dari toko itu dan mengamati sekitar, mencoba mencari petunjuk ke mana Agus lari. Ia bukan seorang pelacak profesional, tetapi ia memiliki sedikit keterampilan analisis dan tracking yang ia pelajari bulan lalu. Dengan mengamati jejak kaki yang samar di atas debu dan tanah, ia mulai mengikuti arah perginya Agus.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan sebuah pintu apartemen yang terbuka lebar. Samsul menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Anak ini masuk ke sini, huh?" pikirnya, sambil melangkah mendekati pintu apartemen yang terbuka itu.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, ia tersenyum kecil dengan tatapan yang sedikit gila. "Mwehehe… lebih baik kututup pintu dulu. Baiklah, anak nakal, Papah datang," gumamnya dengan nada bercanda, seolah-olah ia adalah seorang psikopat dalam film thriller.
Dengan hati-hati, ia memasuki apartemen yang sudah lama kosong itu. Suasananya gelap dan mencekam, dengan sisa-sisa perabotan berdebu dan dinding yang penuh coretan. Samsul mulai menyusuri setiap ruangan satu per satu, memeriksa kamar pertama, lalu masuk ke kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Agus.
Namun, saat ia hendak keluar dari kamar itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan nyaring dari lantai atas. Suara itu menggetarkan suasana sunyi apartemen itu, membuat Samsul langsung berhenti dan menajamkan pendengarannya.
"Itu… apakah suara monster?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Rasa penasaran bercampur dengan kewaspadaan membuatnya segera menaiki tangga dengan langkah senyap. Ia menempelkan tubuhnya ke dinding, berusaha menghindari lantai kayu yang mungkin berderit.
Saat ia tiba di lantai berikutnya, matanya membelalak saat melihat pemandangan mengerikan di depannya. Sesosok Sonovore berdiri di tengah lorong, membelakangi Samsul. Namun, yang lebih mengejutkan adalah sosok Agus yang berjongkok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Anak itu benar-benar sialan," pikir Samsul.
Tanpa banyak pikir, ia meraih sepatu tua yang tergeletak di lantai dan melemparkannya ke arah Agus. Sepatu itu melayang di udara dan mengenai kepala Agus dengan cukup keras.
"Aduh!" pekik Agus spontan.
Suara itu langsung menarik perhatian Sonovore, yang sebelumnya berdiri tanpa tujuan. Seketika, makhluk itu berbalik dengan gerakan cepat, mengeluarkan suara mengerikan, lalu berlari ke arah Agus.
Samsul tertawa kecil dalam hati, merasa puas karena akhirnya anak itu merasakan akibat dari kenakalannya sendiri.
Agus yang panik langsung berteriak histeris, berlari ke salah satu kamar apartemen dengan napas tersengal-sengal. Ia membanting pintu di belakangnya, namun Sonovore mulai mencakar dan mencabik-cabik pintu itu dengan keganasan yang mengerikan.
Samsul mengikuti dari belakang, tetapi bukan untuk menyelamatkan Agus dulu. Sebagai gantinya, ia dengan tenang mengangkat pistolnya yang sudah dilengkapi peredam suara, lalu mengarahkan moncongnya ke kepala monster itu.
Dor! Dor! Dor!
Beberapa tembakan melesat, mengenai kepala dan tubuh Sonovore. Butuh tiga hingga empat tembakan untuk benar-benar melumpuhkannya. Makhluk itu jatuh ke lantai dengan suara berat, darah hitam mengalir dari luka-lukanya.
Setelah memastikan keadaan aman, Samsul berjalan ke arah kamar tempat Agus bersembunyi. Ia mengetuk pintu dengan keras.
"Tok, tok, tok."
Sengaja ia mengetuk dengan ritme yang lambat dan mengerikan.
Dari dalam kamar, Agus menjerit panik. "Tolong! Jangan makan aku!"
Samsul menahan tawa, merasa puas bisa sedikit mengerjai anak nakal itu. Setelah puas menakut-nakutinya, ia akhirnya membuka pintu dan melihat Agus yang sudah terkapar pingsan di lantai karena ketakutan.
Dengan sedikit menghela napas, Samsul mengangkat tubuh Agus ke pundaknya. "Hadeuh, bocah ini merepotkan sekali," gumamnya.
Ia berjalan keluar dari apartemen dengan hati-hati, menghindari Sonovore yang mungkin masih berkeliaran di sekitar. Tujuannya jelas: kembali ke basecamp secepat mungkin.
Namun, saat ia hampir sampai di luar gedung, matanya menangkap sebuah sosok yang berdiri di ujung jalan.
Seorang pria tua, mengenakan mantel lusuh dan membawa kapak besar yang berlumuran darah.
Samsul menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia mengenali pria ini mereka pernah bertemu sebelumnya di hutan. Tapi siapa sebenarnya pria tua ini?
Apakah dia seorang penyintas seperti dirinya? Atau justru ancaman baru yang lebih berbahaya daripada Sonovore?
To Be Continued…