Ingatan Yang Terkubur

Nala kecil yang saat itu berusia sekitar delapan sampai sepuluh tahun, berdiri di sebuah ruangan luas yang dipenuhi dinding kaca. Cahaya putih terang menyelimuti seluruh ruangan, membuatnya merasa seperti terjebak di dalam bola cahaya yang tak berujung itu. Di luar kaca, beberapa orang berjubah putih tampak sibuk, mencatat sesuatu di buku kecil mereka. Tatapan mereka dingin, hampir seperti memandang sebuah benda bukan seorang anak kecil.

"Subjek 127 menunjukkan stabilitas emosional," suara seorang wanita terdengar. Sosoknya melangkah mendekati kaca, tubuhnya ramping dan tegas mengenakan kacamata tipis yang memantulkan cahaya ruangan. Ia tidak menatap Nala, melainkan mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Kita bisa melanjutkan ke tahap kedua."

Nala menatap wanita itu dengan bingung dan sedikit takut. Saat itu ia terlalu kecil untuk memahami arti dari kata-kata yang keluar dari mulut wanita tersebut.

Wanita itu pergi, meninggalkan Nala dengan tubuh orang-orang lain yang sama berjubah putih. Beberapa saat kemudian, seorang pria mendekati kaca dari luar. Tidak seperti yang lain pria ini tersenyum tipis, meskipun senyumnya tampak dipenuhi rasa bersalah.

"Kamu istimewa, Natala," ucapnya lembut. Ia berlutut, sehingga wajahnya sejajar dengan wajah kecil Nala. "Kami memilihmu karena kamu adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dunia di mana tidak ada lagi rasa sakit dan penderitaan."

Nala tidak mengerti, ia hanya ingin tahu mengapa dirinya berada di tempat ini. Sebelum ia sempat bertanya, pria itu berdiri, dan semuanya berubah.

---

Kilasan itu melompat cepat ke saat berikutnya. Nala terbaring di atas meja besi dingin, tubuh kecilnya terikat dengan tali kuat. Lampu-lampu terang menyala di atasnya, menyilaukan matanya yang kecil dan polos.

"Jangan takut, Natala," suara seorang wanita terdengar, mencoba menenangkan walau tak berpengaruh apapun. "Ini semua untuk masa depanmu, untuk masa depan dunia."

"Ibu..."

Ya orang tersebut adalah ibu Nala, seorang ilmuan jenius yang melahirkannya.

Ibunya berdiri di samping meja, mengenakan jubah putih seperti yang lainnya. Di sebelahnya, ayah Nala sibuk mengatur alat-alat canggih yang tidak pernah Nala lihat sebelumnya. Wajah keduanya tampak tegang tetapi penuh keyakinan, seolah-olah mereka percaya bahwa ini adalah jalan yang benar.

"Ayah, Ibu apa yang kalian lakukan?" suara kecil Nala bergetar. Air mata mengalir di pipinya, tetapi tidak ada respons. Orang tuanya tidak memberikan jawaban apa pun, hanya terus bekerja dengan fokus yang tidak ingin terganggu.

"Kamu akan membukanya, Natala." ucap ayahnya dengan yakin. "Sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan oleh siapa pun sebelumnya."

Ibunya menambahkan, "Kamu akan menjadi pionir, Natala. Kami percaya padamu."

Ruangan itu dipenuhi suara mesin berdengung. Cahaya-cahaya dari alat-alat canggih mulai menyala, menciptakan bayangan yang jelas di dinding. Nala kecil tiba-tiba mulai merasakan rasa sakit, berusaha memberontak walau tubuhnya terlalu lemah. Semua terasa semakin menakutkan.

"Tiga… dua… satu…" suara wanita dari pengeras suara menghitung mundur.

Tiba-tiba, tubuh kecil Nala terasa seperti ditarik oleh kekuatan besar. Rasa sakit yang tak terhingga menyerang seluruh tubuhnya. Ia berteriak, tetapi suaranya tertelan oleh gemuruh mesin. Pandangannya mulai kabur, dan sebelum ia menyadarinya ia tidak lagi berada di tempat itu.

---

Nala kini berdiri di sebuah ruang putih yang tak berujung. Tidak ada dinding, tidak ada langit, hanya hamparan kosong yang menyilaukan. Cahaya putih memancar dari segala arah membuat ruangan ini tampak tak ada batasnya. Langkah kakinya tidak menghasilkan suara apa pun, seolah-olah tempat ini menyerap semua bunyi. Keheningan itu tidak nyaman, tetapi juga tidak menakutkan. Lebih seperti kekosongan yang menunggu untuk diisi.

Di tengah ruang putih itu berdiri sebuah pintu kayu kokoh yang menarik perhatian. Pintu itu tidak memiliki bingkai, seolah-olah tergantung begitu saja di udara. Cahaya lembut memancar dari sekeliling pintu, membuatnya tampak seperti sesuatu yang hidup, sesuatu yang bernafas. Nala merasakan ada daya tarik yang tak terlihat, sebuah dorongan untuk mendekati pintu tersebut.

Ia melangkah perlahan dengan langkah yang terasa berat, bukan karena lelah tetapi seperti ada sesuatu yang menahan. Tangannya gemetar saat ia meraih gagang pintu. Gagang itu terasa dingin di tangannya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu mencoba membuka pintu itu.

Namun pintu itu tidak bergeming. Ia mencoba memutar gagangnya, menariknya, bahkan mendorongnya dengan seluruh tenaga yang ia punya. Tetapi semua usahanya sia-sia, pintu itu tetap tertutup tidak memberikan sedikit pun celah.

Kebingungan mulai menguasai dirinya. "Kenapa ini tidak bisa dibuka?" pikirnya. Ia mengetuk pintu itu dengan pelan, lalu lebih keras, tetapi tidak ada respons. Bahkan tidak ada gema dan tidak ada suara, pintu itu seolah menolaknya.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di telinga Nala. Suara itu tidak seperti dari dalam ruangan itu, suaranya lebih seperti datang dari dalam dirinya. Berbisik seolah memerintahkan sesuatu yang mutlak.

"Natala..."

"Natala, kamu harus membukanya. Membuka pintu itu untuk kami."

Nala terdiam, kata-kata itu berputar-putar di benaknya. Ia sudah berusaha, lalu bagaimana kalau memang pintu itu tidak mau terbuka?

Setelah mencoba kembali Nala akhirnya menyerah, pintu itu tak mau terbuka. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai putih yang dingin. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain merenung. Cahaya dari pintu itu tetap bersinar lembut, seolah menunggu. Nala lalu menatap pintu itu dengan mata yang mulai basah. Ya, mau bagaimanapun ia hanyalah anak kecil, saat usahanya tak membuahkan hasil pasti ia akan menangis.

---

Kilasan demi kilasan lain menghantam Nala, seperti gelombang pasang yang tak berujung. Kali ini ia kembali ke laboratorium, tempat yang menjadi bagian dari mimpi buruknya selama bertahun-tahun. Namun kali ini ia sudah beranjak dewasa. Tubuhnya kini milik seorang pemuda 21 tahun yang tampak rapuh meskipun berdiri tegak. Ia mengenakan pakaian putih sederhana, seragam wajib yang selalu mengingatkannya bahwa ia bukan manusia bebas melainkan subjek eksperimen.

Matanya kosong penuh dengan rasa lelah yang mendalam. Begitu banyak yang telah ia alami di tempat ini, terlalu banyak rasa sakit, kehilangan, dan kegelapan.

"Kamu adalah satu-satunya yang bisa melakukannya, Natala." suara Dr. Johnny memecah keheningan. Pria itu berdiri di hadapannya, wajahnya dingin dan datar tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain, seperti iba mungkin. "Kamu hampir membuka dimensi itu sebelumnya, dan kamu akan melakukannya lagi. Dunia kita membutuhkanmu."

Nala hanya berdiri di sana, diam. Kata-kata itu kosong baginya sekarang. Janji-janji besar tentang "menyelamatkan dunia" atau "menjadi kunci harapan umat manusia" telah kehilangan artinya sejak lama. Ia tahu lebih dari siapa pun, bahwa yang mereka pedulikan bukanlah dirinya. Ia hanyalah alat, boneka hidup yang dipaksa memainkan peran dalam rencana mereka.

Nala tentu saja sangat ingin menolak. Bahkan Tuhan tahu betapa seringnya ia ingin melawan, ingin berteriak bahwa ia sudah muak menjadi subjek eksperimen mereka. Tetapi tubuhnya tidak lagi mendengarkan hatinya. Ia seperti boneka dengan tali tak terlihat yang dikendalikan oleh orang-orang.

Tak sekali dua kali Nala ingin mengakhiri semuanya. Namun, setiap ia mencoba orang-orang dari Black Roses selalu mengetahuinya, mereka menghentikan Nala yang ingin mengakhiri hidupnya. Bagi Nala orang-orang ini sangat menyakitinya, tidak hanya fisik tetapi juga mental, menghancurkan sisa-sisa dirinya yang tersisa.

"Aktivasi dimulai," suara wanita dari speaker terdengar, memecahkan keheningan yang Nala ciptakan. Itu adalah suara yang selalu ia dengar sejak kecil, suara yang memberinya perintah tanpa ampun.

Kemudian rasa sakit itu datang lagi. Tubuh Nala terasa seperti dirobek-robek, jiwanya ditarik dengan kasar, seolah-olah ia adalah benang yang sedang ditenun paksa menjadi sesuatu yang lain. Setiap detik terasa seperti akhir hidupnya, dan setiap kali ia merasa hampir menyerah mesin itu akan menariknya kembali, memaksa tubuhnya bertahan.

Sudah bertahun-tahun Nala menjalani ini, menjadi subjek eksperimen yang tak berakhir. Ia telah kehilangan hitungan berapa kali ia dipaksa untuk berdiri di depan pintu ini, berapa kali ia merasa dirinya hampir hancur menjadi abu. Kadang, ia berharap mesin itu akan gagal, membawanya mati di tengah eksperimen, tetapi harapan itu selalu sia-sia. 

Hingga akhirnya, Nala menyerah. Ia tidak lagi melawan, tidak lagi mencoba kabur, tidak lagi berharap. Ia seperti cangkang kosong, boneka hidup yang hanya mengikuti perintah. Rasa sakit telah menjadi bagian dari hidupnya seperti nafas yang tak terhindarkan. Ia tidak lagi menangis, tidak lagi memohon.

Mereka ingin ia membuka pintu yang menghubungkan dimensi itu, dan itulah yang akan ia lakukan karena tidak ada pilihan lain. Nala sudah mati rasa. Dalam hatinya sebuah suara kecil berbisik, "Kapan ini akan berakhir?"

---

Kilasan terakhir datang seperti ombak besar yanh menghantam Nala. Kesadarannya bergolak, tubuhnya terasa seperti dihempas ke berbagai arah hingga tiba-tiba semuanya berhenti. Saat ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tempat yang asing tetapi terasa nyaman. Langit biru cerah membentang, suara lalu lintas terdengar di kejauhan, dan aroma aspal basah bercampur dengan wangi toko roti terhirup oleh indra penciumannya.

Nala kini berada di sebuah kota besar yang penuh dengan gedung-gedung tinggi, jalan-jalan sibuk, dan kehidupan yang bergerak cepat. Ia berdiri di trotoar, mengenakan seragam sekolah yang rapi. Di dunia ini Nala merasa dirinya menjadi lebih muda.

Di tengah kebingungan saat melihat kehidupan perkotaan, dapat Nala rasakan perlahan ingatannya tentang semua yang telah ia lalui terkubur jauh di dalam benaknya, seperti tidak pernah ada. Bayangan laboratorium, rasa sakit yang menghancurkan tubuhnya, dan eksperimen kejam yang membentuk hidupnya kini hilang tanpa jejak. Yang tersisa hanyalah kekosongan, digantikan oleh perasaan bahwa ia memang seharusnya berada di sini.

Dalam dunia ini, Nala menjalani kembali kehidupan seperti seorang remaja biasa. Bahkan Nala sekarang memiliki hobi, ia sangat suka memotret momen apapun yang ada di depannya. Tak jarang juga ia memotret dirinya sendiri, sedikit narsis.

Di sini Nala tinggal di apartemen kecil. Setiap pagi Nala pergi ke sekolah, berjalan kaki melewati jalanan sibuk dengan senyum di wajahnya. Ia menikmati pelajaran terutama seni dan fisika. Meskipun ia tidak terlalu menonjol, ia adalah murid yang rajin dan disukai banyak orang.

Di sekolah, ia memiliki seorang teman dekat bernama Taro. Taro adalah seseorang yang baik dan ceria. Ia selalu ada di sisi Nala, baik saat mereka berbagi tawa maupun ketika Nala merasa sedih tanpa alasan yang jelas. Mereka sering menghabiskan waktu sepulang sekolah, mencoba cafe baru, bermain di taman, atau belajar bersama untuk ujian.

Waktu pun terus berjalan di dunia itu, hingga akhirnya Nala lulus dari sekolah menengah. Nala melanjutkan pendidikannya ke universitas di kota itu dan memilih jurusan teknik informatika. Taro juga diterima di universitas yang sama dan di jurusan yang sama pula. Persahabatan mereka semakin erat seiring berjalannya waktu. Taro sering bercanda bahwa ia akan memastikan dirinya dan Nala lulus dengan nilai terbaik, walaupun mereka tidak begitu bagus dalam bidang akademik.

Namun, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh Nala. Kadang-kadang di tengah kesibukannya ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sebuah kekosongan kecil di dalam dirinya yang tidak dapat ia pahami. Ada saat-saat ia menatap jendela kamar apartemennya melihat kota yang bersinar di bawah lampu-lampu jalanan. Lalu tak lama Nala merasa seperti ia sedang menunggu sesuatu meskipun ia tidak tahu apa itu.

Di sisi lain, organisasi Black Roses tidak pernah melupakannya. Nala adalah subjek eksperimen paling berharga mereka, kunci untuk membuka dimensi yang selama ini mereka cari. Ketika akhirnya Nala berhasil membuka pintu dimensi itu, Black Roses merasa kemenangan sudah di depan mata.

Tetapi ada satu masalah besar, hubungan mereka dengan Nala tiba-tiba terputus sepenuhnya. Semua perangkat pemantauan mereka tidak berfungsi di dimensi baru ini. Benang penghubung yang seharusnya memungkinkan mereka mengendalikan Nala telah hilang begitu saja.

"Hubungannya terputus!" Salah satu ilmuwan melaporkan dengan suara panik. "Kami tidak bisa menjangkaunya! Semua sistem pengawasan hilang begitu saja."

Dr. Johnny yang memimpin eksperimen itu menatap layar kosong di hadapannya dengan rahang mengeras. "Itu tidak mungkin, dia masih hidup dan dia ada di sana. Kembalikan hubungan dengan Natala secepatnya!"

Namun setiap usaha mereka gagal, mereka tidak dapat melacak keberadaan Nala di dimensi itu. Benang penghubung yang biasanya mengikat tubuh dan kesadarannya ke perangkat para ilmuan itu terputus begitu saja, seperti tali yang dipotong dengan sempurna. Dimensi baru itu tampaknya menelan Nala sepenuhnya, menyembunyikannya dari dunia lama.

Sementara di kehidupan barunya, Nala terus menjalani kehidupan tanpa gangguan. Ia tertawa bersama sahabatnya. Walau terkadang di dalam mimpinya Nala melihat kilasan-kilasan aneh tentang suara seorang pria yang memanggil namanya, dan rasa sakit yang begitu nyata. Ia selalu terbangun dengan jantung berdebar. Saat mencoba mengingat tentang mimpi itu lagi tiba-tiba semuanya lenyap seperti kabut di pagi hari.

-To be Continued-