Langit masih kelam, menyisakan jejak merah di cakrawala seperti luka yang belum sembuh. Angin dingin berembus, membawa bisikan samar yang berputar di sekitar Arvid dan Lina. Mereka berdiri di tengah reruntuhan desa yang telah ditinggalkan, napas mereka masih berat setelah pertempuran terakhir.
Cahaya dari cincin Arvid kini lebih redup, seolah lelah setelah digunakan melawan bayangan yang hampir menelan mereka. Sementara itu, orb hitam yang dipegang oleh penyihir tadi telah lenyap, meninggalkan hanya serpihan kecil yang bergetar di tanah seperti jantung yang masih berdetak pelan.
"Kita masih hidup," kata Lina, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin.
Arvid mengangguk, tapi matanya tetap tertuju ke kejauhan, ke arah bayangan yang masih bersembunyi di balik kabut. Mereka mungkin telah menang kali ini, tapi dia tahu ini bukan akhir. Hanya jeda sebelum badai berikutnya.
Lina meremas tangannya, merasa cemas dengan keheningan Arvid. "Apa yang kau pikirkan?"
Arvid menarik napas dalam. "Aku merasa... ada sesuatu yang masih menunggu kita di depan."
Lina mengerutkan kening. "Maksudmu?"
Arvid menunduk, menatap serpihan orb hitam di kakinya. Energi gelap yang terpancar darinya masih terasa, meskipun melemah. "Kegelapan ini... tidak berasal dari penyihir itu." Dia mengambil serpihan tersebut, merasakan getaran aneh di telapak tangannya. "Dia hanya pembawa pesan. Sumber kekuatan ini ada di tempat lain."
Lina menggigit bibirnya. "Jadi kita belum benar-benar menang."
Arvid mengangguk pelan. "Dan jika kita tidak segera menemukan sumbernya... dunia ini mungkin tidak akan pernah pulih."
Sebuah suara samar terdengar di kejauhan, seperti langkah kaki yang nyaris tak terdengar di antara kabut. Lina langsung menegang, dan Arvid segera mencabut pedangnya. Mereka berdua memandang sekeliling, tapi yang mereka lihat hanyalah reruntuhan yang sunyi.
"Siapa di sana?" seru Arvid, suaranya bergema di antara bangunan yang hancur.
Tidak ada jawaban.
Lina menyentuh lengan Arvid, memberi isyarat agar tetap waspada. Mereka berjalan perlahan melewati puing-puing, mengikuti suara samar yang terdengar semakin dekat. Langkah kaki yang hampir seperti bisikan, seperti seseorang—atau sesuatu—yang mengawasi mereka dari balik bayangan.
Tiba-tiba, dari balik dinding yang runtuh, sebuah bayangan muncul. Namun, bukan sosok hitam yang mereka lawan sebelumnya. Itu adalah seorang gadis yang rambutnya panjang berantakan, wajahnya pucat, dan matanya kosong seperti kaca. Pakaiannya robek, dan tubuhnya dipenuhi luka yang tampak seperti cakaran.
Lina terengah. "Astaga… kau baik-baik saja?"
Gadis itu tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, diam, menatap mereka dengan mata yang tampak kosong namun juga penuh ketakutan.
Arvid maju selangkah. "Siapa namamu?"
Gadis itu membuka mulutnya, tetapi suara yang keluar bukanlah suara manusia. Itu adalah bisikan yang terdengar seperti banyak suara berbicara sekaligus. Suara yang terlalu dalam, terlalu kuno, seolah berasal dari sesuatu yang lebih tua dari dunia itu sendiri.
"Kegelapan… sudah melihat kalian."
Arvid merasakan bulu kuduknya meremang.
Lina mundur selangkah. "Apa maksudmu?"
Mata gadis itu tiba-tiba berubah, menjadi hitam pekat, tanpa bagian putih sama sekali. Mulutnya bergerak tanpa suara, tetapi tiba-tiba, kabut di sekitar mereka semakin tebal. Udara menjadi lebih dingin, dan dari kejauhan, terdengar suara erangan panjang, seperti sesuatu yang baru saja terbangun dari tidurnya.
Arvid segera mencengkeram pedangnya lebih erat, sementara Lina mengangkat tangannya, bersiap untuk menggunakan sihirnya.
Namun sebelum mereka bisa bertindak, gadis itu tersenyum—senyum yang tidak seharusnya ada di wajah manusia—dan dalam sekejap, tubuhnya menghilang menjadi kabut, lenyap seperti bayangan yang tertiup angin.
Arvid dan Lina hanya bisa berdiri diam, merasakan hawa dingin yang merayap ke tulang mereka.
"Kita harus pergi," kata Arvid akhirnya, suaranya datar.
Lina mengangguk, tapi perasaan gelisah masih menempel di hatinya. "Kemana?"
Arvid memandang ke arah cakrawala yang masih dipenuhi awan merah gelap. "Ke tempat di mana semua ini dimulai."
Lina menelan ludah. Dia tahu apa yang dimaksud Arvid.
Mereka harus kembali ke gua tempat bayangan pertama kali muncul.
Tapi sebelum mereka sempat melangkah, terdengar suara gemuruh pelan di kejauhan. Seperti sesuatu yang bergerak di bawah tanah.
Arvid dan Lina saling bertukar pandang.
Sesuatu… sedang mengikuti mereka.
Kabut semakin tebal, suara langkah samar terus terdengar di belakang mereka. Apakah ini hanya bayangan yang tersisa, atau ada sesuatu yang lebih besar yang telah memperhatikan mereka sejak awal?
**
Langkah kaki samar itu semakin jelas. Tidak hanya satu, karena terlihat jika mereka mendengar banyak.
Arvid dan Lina langsung berjaga, punggung mereka hampir bersentuhan saat mereka bersiap menghadapi apa pun yang mendekat. Kabut di sekitar mereka semakin padat, seakan memiliki nyawa sendiri, bergerak perlahan seperti tangan tak terlihat yang mencoba meraih mereka.
Tiba-tiba, dari dalam kabut, terdengar suara napas berat. Bukan seperti napas manusia, tapi lebih dalam, lebih bergetar, seolah berasal dari makhluk yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
Lina menelan ludah, matanya berusaha mencari sumber suara itu. "Arvid… kau mendengarnya?"
Arvid mengangguk pelan, rahangnya mengeras. "Bersiaplah."
Lalu, sesuatu bergerak di depan mereka.
Awalnya hanya bayangan samar, tapi kemudian, perlahan-lahan, sesosok makhluk muncul dari balik kabut. Tubuhnya tinggi, terlalu tinggi untuk ukuran manusia, dengan lengan panjang yang kurus, hampir seperti tulang yang diselimuti kulit abu-abu. Matanya? Hitam legam, kosong, tanpa kelopak, tampak hanya dua lubang gelap yang memancarkan keheningan yang mengerikan.
Makhluk itu tidak bergerak dengan cara yang wajar. Gerakannya tersentak, seperti boneka yang ditarik oleh tali tak terlihat. Setiap kali ia melangkah, tanah di bawahnya tampak layu, seperti dirampas kehidupannya.
Arvid merasakan cincin di jarinya berdenyut keras, merespons energi kegelapan yang begitu pekat. Lina menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan napasnya yang mulai memburu.
Lalu, makhluk itu berbicara.
Bukan dengan suara manusia, bukan juga dengan suara binatang. Suaranya terdengar seperti banyak orang berbicara sekaligus, bisikan yang datang dari segala arah.
"Kalian… tidak seharusnya ada di sini…"
Lina merasakan tubuhnya menegang. "Arvid… kita harus pergi."
Arvid mengangguk, tapi sebelum mereka sempat bergerak, suara lain terdengar dari belakang mereka.
Bukan hanya satu.
Banyak.
Mereka tidak sendirian.
Kabut di sekitar mereka bergolak, dan dari setiap sudut, muncul makhluk-makhluk lain yang serupa. Tubuh-tubuh kurus dengan mata kosong, berdiri diam seperti patung, mengelilingi mereka perlahan.
Tidak ada jalan keluar.
Lina meraih tangan Arvid dengan erat, jantungnya berpacu kencang. "Apa yang harus kita lakukan?"
Arvid mengangkat pedangnya, menatap makhluk-makhluk itu dengan rahang mengatup rapat. "Bertahan."
Saat itu juga, makhluk pertama melangkah lebih dekat, dan dari kegelapan, terdengar suara sesuatu yang melata, dan sesuatu yang lebih besar sedang mendekat.
Dikelilingi oleh makhluk-makhluk tak dikenal, dan dengan sesuatu yang lebih besar mendekat dari dalam kabut, apakah Arvid dan Lina akan bisa keluar hidup-hidup? Ataukah mereka baru saja melangkah ke dalam jebakan kegelapan yang sesungguhnya?
**