Telah lama waktu berlalu. Sekarang umurku mencapai 5 tahun. Fisikku juga mulai matang untuk belajar beladiri. Dan disisi lain dengan imajinasiku yang hebat terhadap sihir yang membuatku bisa melakukan sihir tanpa mantra. Alhasil ibu menganggapku memiliki bakat terhadap sihir, dia sering berpikir jika masa depanku pasti cerah jika aku menjadi penyihir kerajaan
Tetapi aku tidak ingin seperti itu. Aku amat sangat ingin berlatih hal yang ada didalam duniaku dulu yaitu beladiri, teknik, dan berbagai ilmu lainnya. Namun, ibu malah sering menolak karena takut aku terluka.
"Yvonne, didalam sihir kamu cukup berbakat"
"kenapa kau ingin berlatih beladiri dan ilmu pedang juga?" ucap Luminia dengan wajah resah khawatir akan masa depanku
Wajar saja jika ibuku selalu berpikir jika lebih baik aku menjadi penyihir murni saja
"ibu, didunia ini sihir itu hal yang umum, tetapi aku tidak ingin bergantung pada satu hal saja"
"aku ingin belajar banyak hal" sahutku, mataku mengkilap sambil berharap agar ibuku menyetujui hal itu
"kamu tiap hari selalu mengatakan itu, huft baiklah kamu boleh melakukanny, didunia ini memangny ada orang tua yang menang melawan anakny?" gumam ibu sambil memperlihatkan senyum kecil kepadaku
Pada awalny saat lahir didunia ini, hatiku ditutupi oleh kebencian. Namun, perlahan tapi pasti hal itu mulai hilang karena kasih sayang hebat yang diberikan oleh keluarga keduaku. Aku pun sekali lagi mulai merasakan kehangatan kasih sayang orang tua. Maka aku kan bertekad akan melindungi mereka
Yahh akhirny aku diperbolehkan berlatih beladiri. Sekarang tiap hari mulai berlatih gerakan dasar yang dulu ku pelajari. Dan saat berumur 7 tahun tubuhku sudah mampu melakukan semua teknik beladiri yang dulu kukuasai. Tak lupa juga aku selalu membaca buku yang berbeda tiap hari, entah buku apapun itu. Karena dirumah kami memiliki perpustakaan, akan sia sia jika tak digunakan
Waktu telah lama berlalu. Kini diriku berumur 10 tahun. Fisikku terlihat seperti gadis kecil lembut dan cantik, berambut kuning pirang, rambut sependek bahu, kulit putih bening bak mutiara dari samudra
Tetapi ada yang aneh juga dari tubuhku. Saat aku berlatih agar fisikku lebih kuat, memang tenaga dan kekuatanku berkembang. Tetapi ukuran ototku tidak berubah. Ini seperti kualitas yang berkembang, dan kuantitas yang tertinggal. Agak diluar nalar
Karena sihir adalah hal yang wajar didunia ini. Berarti semua orang bisa mengunakan sihir. Tetapi ada 2 perbedaan identik
Yaitu orang yang mendalami jalan pedang dan menerapkan sedikit sihir didalamnya, biasany mereka memiliki daya tampung mana yang kecil. Dan orang yang mendalami sihir dan tak meningkatkan kekuatan fisiknya. Tetapi ada sedikit juga orang yang mendalami keduanya
Juga didunia ini dibuatlah berbagai tingkatan penyihir. Tingkatan dinilai dari kapasitas mana dan kualitas sihirnya. Jika dari yang terlemah maka ada une (awal), deuxy (umum), troise (lanjutan), quatre (prajurit), cinq (korps komandan), sixtra (penyihir kerajaan), septra (legendaris), huitra (mitos), dan neufra (???)
konon katanya neufra hanya bisa dicapai oleh seorang penyihir didalam party pahlawan yang mengalahkan raja iblis pada 800 tahun lalu. Kekuatan penyihir tersebut digadang gadang dapat menghentikan waktu bahkan membelokkan ruang
Jalanku tentu masih jauh untuk mencapai tahap itu. Aku sekarang masih mencapai tingkatan penyihir quatre. Tubuhku juga ramping namun fisikku benar benar kuat. Agak aneh rasany karena tidak ada banyak otot yang terlihat padaku
Hal itu membuat semua orang berpikir jika aku adalah seorang Atreya. Didunia ini Ada sebutan khusus untuk orang orang yang berbakat hebat yaitu Atreya. Berbagai bakat Atreya seperti mampu bergerak sangat cepat, memiliki skill memasak yang hebat, suara yang sangat merdu seperti menggetarkan jiwa, dapat berkomunikasi dengan hewan. atau pun memiliki kekuatan fisik super
Saking hebatny bakat pada Atreya mereka dikenal sebagai anak dewa, atau juga anak yang memiliki darah dewa. Yahh ada ritual khusus untuk menguji seseorang itu Atreya atau bukan. Nama ritual tersebut adalah Maitreya. Jika diringkas maka inti prosesny seperti ini, berikan setetes darahmu kedalam altar ritual. Bila darahmu menguap sampai habis maka kamu seorang Atreya
Dan sekarang aku dan keluargaku sedang pergi ke ke kuil terdekat untuk melakukan ritual Maitreya. Tesnya cukup mahal sih, biayanya kira kira 5 koin perak. Walau bagiku gelar itu tak terlalu penting, cuma seperti daun yang jatuh. Namun pandangan ibu berbeda, ia berkata jika aku punya gelar itu maka aku bisa bekerja dengan mudah di kerajaan. Yahh intinya masa depanku akan cerah. Gelar itu benar benar diidolakan disini
Sekarang aku sudah sampai dikuil tersebut. Didepan kuil ada pendeta yang datang menyambut kami dengan ramah. Pendeta tua renta berpakaian putih sedikit kotor dimakan waktu, dan dengan tongkat kayu untuk bantu jalan, sepertiny dia sangat tua
"selamat datang tuan, apakah benar anda tuan Eric yang akan melakukan ritual itu? uhuk uhuk" sapa pendeta tersebut dengan suara sedikit serak
"Yap benar itu aku, baiklah ini uangnya tuan"
"Yang akan melakukan ritual tersebut adalah putriku, bukan aku" jawab ayahku sambil memberikan 5 koin perak
"baiklah mari kita langsung mulai saja pak"
Pendeta membimbing kami memasuki kuil. Didalamnya rasany sedikit sejuk. Mungkin karena dindingnya terbuat dari batu dan kami ditengah hutan
Pendeta pun memegang tanganku untuk memanduku memasuki altar. Sementara ibu dan ayah menungguku sambil melihatku diluar altar. Mereka menunggu hasil seolah mengetahui apa yang akan terjadi
Pendeta pun mulai merapalkan mantra untuk mengunakan sihir suci
[Wahai dewa angin, dewa hutan dan dewa bumi, berikanlah kekuatan untuk diriku yang lemah ini, bantulah aku untuk mencari tahu siapakau darahmu"
Pada saat itu ada sebuah cahaya berkilau dari langit² kuil. Dan terciptalah lingkaran sihir pada lantai altar. Turunlah sebuah pisau kecil bak turun dari dunia lain dengan perlahan. Muncul juga sebuah cawan kecil dari bawah altar. Wadah tersebut seperti terpanggil dari dimensi yang berbeda. Saat kulihat, itu cukup menegangkan
"maaf nak mungkin ini sedikit sakit, tolong tahan sebentar"
tegas pendeta tersebut sambil mengambil pisau kecil yang sedang diam melayang
Dia pun mulai menyayat sedikit jari telunjukku. Darahku diteteskan pada cawan kecil tadi. Saat melihat darahku sendiri rasany agak pusing. Beberapa menit telah berlalu, kami telah menunggu cukup lama. Dan yahh hasilnya mengejutkan
"yaampun darahny tidak menguap"
"maaf nak, sepertinya kau bukan seorang Atreya" kata pendeta tua tadi kepadaku
Kamu berdua keluar dari altar dan ibuku mengelus elus kepalaku
"tidak apa apa nak, kamu sudah hebat dengan kekuatanmu sendiri"
"ibumu benar, kamu juga ahli kok dalam ilmu pedang dan pertarungan jarak dekat"
Mereka memujiku, bahkan saat itu mereka memelukku. Rasany hangat dan nyaman seperti berada di surga. Semoga pelukan ini selalu bisa kurasakan nanti. Karena tak ada urusan lagi, kami sekeluarga kembali kerumah
Sampainya kami didesa. Aku cukup terkejut, karena ada para warga desa dicambuk oleh prajurit baron wilayah ini. Dicambuk hingga sobek, sehingga pungung mereka menjadi merah lebam, bahkan ada juga yang darahnya hingga keluar, terciprat membasahi jalanan
Darah mengalir dari pungungnya, luka sobek pun tak terelakkan. Mereka merintih kesakitan dan bersujud memohon ampun tetapi tak dihiraukan. Suara cambukan mengelegar ditelingga seperti petir menyambar. Teriakan dan tangis kurasakan diindraku
Ayahku mengajakku pergi agar tak merasa iba seolah itu hal yang wajar, ekspresi wajahnya teramat kesal karena tak bisa melakukan apa apa
"tidak apa apa nak, kita tak akan menjadi seperti itu"
"keluarga kita mempunyai kebun kecil, dan itu cukup untuk membayar pajak bulanan"
rintih ayah sambil menutup mataku dan mengajakku pulang
Hari telah berlalu dan kami makan malam bersama. Ayah pergi kekamarnya seperti akan mengambil sesuatu. Ibu juga mendekatiku dengan senyum cantiknya seperti seorang peri. Dia memberikan sebuah hadiah kecil untukku
"sayang, besok kamu ulang tahun, tak terasa sudah sepuluh tahun aku merawatmu"
"kemarikan tanganmu, ibu punya liontin kecil untukmu"
Liontin tersebut benar benar imut dan cantik. Terlihat sebuah permata kecil berwarna merah merona
"liontin ini peningalan keluarga kita, kamu harus selalu menyimpannya untuk mengetahui siapa dirimu"
"ibu juga punya baju untukmu, desainnya cukup lucu karena perutmu sedikit terlihat"
Aku tak kuat menahan tangis air mataku. Tanpa kusadari air mata sudah mengalir membasahi mukaku. Beruntungnya aku bisa mendapat kasih sayang melimpah seperti ini. Entah apa yang akan terjadi jika aku hidup tanpa mereka
"terima kasih ibu, aku menyayangimu" jawabku sambil memeluk ibuku dengan erat, baju ibu basah karena air mataku
Lalu ayah muncul dari belakangku dan memberikanku sebuah pedang kecil. Pedang ringan dan berdesain simpel. Terlihat sederhana namun tajam
"ayah membuat ini sendiri loh, ini untukmu, semoga kamu bisa lebih hebat dalam belajar ilmu pedang" papar ayah sambil mengelus elus kepalaku
Aku diangap seperti kelinci yang butuh perlindungan. Itu cukup memalukan tetapi membuatku bahagia. Ku sangat mencintai mereka berdua
"terimakasih ayah, kamu yang terbaik"
Saat kami makan malam kami banyak membahas hal bersama. Canda tawa ria menghiasi ruangan tersebut. Dan hari sudah cukup larut sehingga kami tidur
Kesunyian purnama menyelimuti tidurku. Hawa dingin menyelimuti perlahan hilang. Ternyata, seisi desa telah dibakar para tentara. Rumah mereka dijarah dan dihancurkan. Mereka membunuh dan membakar rumah rumah warga
Sontak aku terbangun karena suara teriakan dan segera menemui keluargaku
"ibu, ayah! apakah kalian baik² saja?" teriakku dari kejauhan sambil berlari kearah mereka
syukurlah mereka menyadarinya dan bangun duluan
"Yvonne, Luminia, ayo segera keluar"
"lebih baik kita melarikan diri"
Seru ayahku sambil membimbing kami keluar dari rumah
Beruntungnya rumah kami belum ikut terbakar, namun para tentara segera menghunuskan pedang kearah kami
"mereka mencoba kabur, cepat penggal mereka juga"
Teriak seorang prajurit sembari berlari menerjang kearah kami
Walau tanpa senjata, dengan sigap ayahku mematahkan tangannya. Dia membuka jalan untuk kami kabur dan menyuruh kami meninggalkannya
"Yvonne, Luminia, kalian pergilah duluan"
"Aku akan segera menyusul"
Teriak ayahku sembari menghadang para prajurit
Sudah cukup jauh dari ayahku. Cukup jauh dari para prajurit yang menyerang. Begitu jauh juga dari kobaran api. Aku tiba tiba teringat sesuatu yang tak menyenangkan
Bagaimana jika Ayahku terbunuh?. Bagaimana jika ibu terkena anak panah lagi?. Lalu bagaimana jika hal yang dulu terulang kembali?.
Ku mencoba berpikir jernih, dan akhirnya pilihanku yaitu membantu ayahku, agar terhindar dari dewa kematian
"Ibu larilah dulu selamatkan dirimu"
"aku akan membantu ayah"
Sontak ucapanku cukup membuatnya terkejut, tetapi respon ibu mendukungku
"Baiklah, jangan remehkan ibu"
"Walau keliatan biasa saja, tetapi ibu penyihir tingkat quatre"
[wahai dewa air, berikanlah setetes kekuatanmu tuk membantu pelayanmu ini, berikan pengawalanmu untuknya]
Ucapan mantra dari ibu sepertinya ditujukan untukku. Sebuah mantra untuk memperkuat fisik seseorang. Aku merasakan tubuhku menjadi ringan. lebih cepat bergerak mengalir dalam diriku
"Jaga dirimu baik² ibu"
Sahutku sembari berbalik arah menuju ayahku
Ku berlari sekuat tenaga. Rasanya ada angin sepoi disampingku. Suara angin juga berhembus menyapa telingaku. Saat sampai ketempat ayah, langsung kutendang seorang prajurit dari belakang. Aku mematahkan lengannya dan merebut pedangnya
"Kalian, kenapa kalian tiba tiba menyerang warga desa?" Bentakku kepada seorang prajurit
"Ahh, terserah lah" Teriakku sembari menebas perutnya dan merebut pedangny
"Ayah, gunakan ini" Pedang prajurit barusan kulemparkan kepada ayahku
Semua prajurit disini jelas tahu ayahku kuat dalam seni pedang. Hingga satu prajurit pun mencoba menangkap pedang tersebut. Tetapi ayahku menendangnya
"Yvonne, pergilah selamatkan warga desa"
"Disini bisa kuatasi" Ucap ayah sembari mengalirkan mana kedalam pedang. Kini pedang tersebut seperti diselimuti api. Tak pernah kulihat mata ayah begitu percaya diri. Oleh karena itulah aku yakin meninggalkannya
"Baiklah, aku pergi dlu"
Aku berlari mengelilingi desa. Ditengah kobaran api juga sambil melawan para prajurit yang datang. Beberapa sihir serangan juga bisa kutangkis dan kuhindari. Tetapi Walau aku pergi kesana kemari. Tak terlihat sedikit pun yang selamat. Wanita maupun anak anak, mereka dibunuh dengan brutal. Kepala mereka terpisah dari badan.
Prasaan mual kurasakan. Hatiku begitu gundah. Rasa sakit tiba tiba kurasakan dihati, ketidaknyamanan yang sulit kujelaskan. Pikirku ada sesuatu yang aneh. Lalu aku berniat kembali ke ayahku, tetapi...
Kulihat pisau kecil tertancap didadanya. Darahnya mengalir mengingatkanku akan traumaku
*"Huaa"*
Teriakanku terdengar disuara gemercik rumah terbakar
"Ayah bertahanlah, akan kuambilkan perban dirumah"
"Sudah hentikan saja, aku tak kuat lagi menahan rasa terbakar didalam tubuh ini"
"Sepertiny ini batasku"
"Maafkan ayah karena pergi tanpa pamit, kamu anak yang kuat berarti jagalah ibumu"
"Semoga kamu bisa menjadi penyihir dan petarung yang hebat" bisik ayahku pelan walau rasa sakit menyelimuti tubuhnya. Ayah tetap memelukku walau aku menangis keras didadanya
"Diatas loteng ada sebuah peti, disana ada harta keluarga kita, gunakanlah untuk hidup dengan ibumu"
"Sudah sudah, jangan menangis putri kecilku"
Tangan ayahku terasa cukup kasar saat mengusapi tangisanku. Tak terbayang dia berlatih begitu keras hingga tangannya mengepal. Tekas ayahku tuk melindungi keluarga seperti tertulis ditangannya. Perlahan tangan yang menopangku pun jatuh. Pertanda bahwa ayah sudah pergi meninggalkanku
"Ayah, aku berjanji akan membalaskan kematianmu"
Sembari menangis aku melangkah memasuki rumah
Ku mencoba melakukan wasiat terakhirnya, mengambil harta diloteng. Akan tetapi saat berjalan aku berpikir hal yang aneh. Hal yang seharusnya tak bisa kuperkirakan
Terlintas didalam pikiranku jika mata ayah sangat percaya diri dengan kekuatannya, berarti dia merasa bisa mengalahkan para prajurit itu yang. Dinilai dari posisi pisau, yang berarti saat itu ayah sedang menunduk. Sementara itu tubuh ayah cukup tinggi, jadi ketinggian pisau pada ayahku pasti saat dia sedang menunduk
Berarti lawanny cukup pendek atau anak kecil sehingga seperti itu kejadiannya. Tak mungkin ayahku menunduk mendekati lawan, lalu? bagaimana jika lengah?. Dan dari dalamnya pisau, takkan cukup untuk menyentuh jantung walau seujung jari sekalipun. Yang berarti dia mati karena racun pada pisau, ayah juga merasakan panas. Kemungkinan racunny berasal dari red snake yang tertulis dibuku
Masuk akal jika ayah telah menghabisi semua prajurit. Lalu ada anak kecil yang menangis ketakutan. Ayahku mencoba menenangkannya namun dia ditusuk pisau oleh anak itu. Dan entah dia kabur kemana
Sejenak, pikiranku sudah mengetahui kronologinya. Entah sejak kapan deduksiku sehebat ini. Untuk sekarang sepertiny aku akan pergi daerah barat dahulu. Tempat tinggal para beast memiliki sumber daya melimpah. Aku juga membawa koin emas warisan ayah sebagai persiapan. Bajuku yang selamat dari api juga kumasukkan kedalam tasku. Pedang kecil pemberian ayahku juga sudah kuamankan, sekarang waktunya pergi ke ibu
Lagi lagi hatiku tersayat. Melihat ibu duduk bersandar tak berdaya. Terkena beberapa sayatan diseluruh tubuhnya. Ibu memanggilku dan berkata
"Yvonne, syukurlah kamu datang saat dia sudah pergi"
"Dia kuat, gerakanny juga teratur tidak seperti ayahmu, jika kamu bertemu dengannya sekarang, pasti kamu tidak akan selamat" Bisik ibuku dengan suara lemah tak berdaya
Lelah, letih, rasa sakit yang dulu kurasakan telah menimpaku lagi. Seperti dewa sedang menyiksaku. Kejadian ini membuatku tak yakin apakah dewa pengatur semesta benar benar ada. Atau mungkin mereka hanya ada dibenak saja
Ibuku mencoba mengangkat tangannya seolah dia mencoba mengapai udara. Ada batasan transparan yang membatasi pergerakan ibu. Ibu berupaya mendorongnya dan menunjukkan padaku
"Yvonne, kamu lihat ini?"
"Ini adalah barrier yang digunakan untuk mengurung kita"
"Makany ibu tidak bisa kabur"
Aku duduk disebelah ibu. Dia membelaiku, memelukku dengan penuh kehangatan sambil berkata
"Yang bisa lewat barrier ini hanyalah yang memasangnya, atau yang diizinkannya"
"Tidak apa apa, Kamu bisa melewati ini"
"Karena kamu telah...."
Ucapan ibu terhenti. Pelukannya pun kini sudah tak mengeluarkan tenaga. Harapan terakhirku musnah. Hatiku hancur seketika. Hidupku seperti bangkit dari kecelakaan, selamat tetapi cacat seumur hidup
Mereka orang tua yang baik. Membelaiku, mengajariku bahasa, membacakan buku cerita. Terkadang juga ibu bernyanyi untuk membantuku tidur nyenyak. Dan ayah selalu ada saat aku kesulitan. Kukembali ketempat ayah, dan membaringkannya disamping ibuku. Dalam diam kubersihkan tubuh mereka. Dan memberi pemakaman yang layak. Semoga mereka tidur dengan nyenyak. Tetapi satu satunya hal yang membuatku bingung hanyalah perkataan ibuku barusan. Aku telah? telah apa? tak bisa kusimpulkan lanjutan perkataan ibu
Lagi lagi deduksiku bekerja. Luka ibu tersayat cukup dalam, berarti dia dilukai dengan pedang. Dan dari jejak pertarungannya. Tanahnya hancur dibeberapa bagian, Akibat serangan dari atas. Dan kulihat ada bekas sihir serangan milik ibuku. Sihir itu sepertinya dihindari dengan baik. Orang yang terampil telah membunuh ibuku
Setelah itu aku bersumpah akan membersihkan seisi kerajaan kotor ini. Entah satu demi satu, daerah dan daerah. Bahkan bangsawan sekalipun. Tetapi untuk sekarang aku memperlukan informasi, jadi lebih baik kusiapkan dulu perjalanan jauh ini. Aku akan pergi ke barat, hutan itu penuh dengan sumber daya,
*Sekarang, aku telah keluar dari sangkar. Keluar dari rantai yang membelenggu. Bukan dengan rasa bebas melainkan penuh amarah dan dengki*