6.Kota Quantum dan Bayangan Sang Diri

Alam 2, yang dikenal sebagai Etherios Cosmos, bukanlah sekadar hamparan bintang dan kehampaan. Di sini, realitas dibentuk oleh kemungkinan dan ketidakpastian; kota-kota mengambang tersusun dalam labirin quantum, bangunan-bangunan yang seakan hidup, terus berubah bentuk menyesuaikan pengamatnya. Di atas jembatan transparan yang menghubungkan gedung-gedung itu, Kael dan Selene berdiri, menyaksikan sungai waktu yang mengalir mundur, membawa potongan-potongan masa lalu dan janji-janji masa depan yang tak terjangkau.

"Di sini, bahkan napas bisa menjadi senjata," bisik Selene dengan suara lembut namun penuh peringatan, matanya menelusuri langit yang dipenuhi persamaan matematis melayang seperti puisi kosmik. "Kau harus menekan keinginan untuk memikirkan kekerasan. Pikiranmu bisa terwujud menjadi bencana."

Kael, yang selama ini terbiasa dengan kekuatan destruktif di Alam 1, hanya bisa diam menatap bayangannya yang terpantul di sungai waktu di bawah. Bayangan itu tak meniru gerakannya secara sempurna. Di sana, sang bayangan duduk di atas singgasana megah, memegang sebuah tengkorak yang menyerupai wajah Selene. Wajah itu mengintai, menyiratkan kenyataan yang lebih pekat daripada sekadar refleksi.

"Apa yang kau lihat?" tanya Selene, nadanya mengandung kecurigaan yang mendalam.

Kael terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Di sakunya, segel Alam 2 berdenyut pelan, membawa pesan samar yang berbunyi, "Pilih realitas di mana kau memenggal kepalanya." Kata-kata itu seperti kutukan yang tak terelakkan, menekan setiap pikiran yang berusaha melawan takdirnya.

Di tengah kekacauan kemungkinan itu, langkah-langkah mereka mendekati pasar quantum, di mana para pedagang tak menjual barang-barang biasa, melainkan probabilitas dan fragmen realitas. Di sana, tiba-tiba, muncul sosok yang tak bisa disangkal keberadaannya—seorang klon yang sempurna, dengan mata biru elektrik yang berpendar dalam pola-pola fraktal. Sosok itu dikenal sebagai Kael Prime.

"Menyedihkan," ejek Kael Prime dengan nada sinis, sambil menatap Kael yang masih berpakaian compang-camping. "Kau lupa bagaimana caranya menari di tepi multiverse?"

Kata-kata itu menusuk, menyuarakan penilaian tentang kelemahan dan keraguan yang menggerogoti jiwa Kael. Di antara hiruk-pikuk pasar quantum, Kael Prime berdiri sebagai bayangan, penampakan dari kemungkinan-kemungkinan yang pernah ada dan yang mungkin tidak akan pernah terjadi.

Tak lama kemudian, realitas di sekitar mereka mulai terbelah. Kota mengambang itu pecah menjadi sepuluh realitas paralel; masing-masing realitas mengungkapkan takdir yang berbeda—di satu, Kael menjadi raja yang bijaksana; di lain, Selene dengan kejamnya menikam jantung Kael; di satu realitas lagi, Alam 1 telah musnah total; dan di realitas yang lain, mereka berdua terbungkus dalam cinta yang abadi.

Di tengah percabangan realitas itulah, Kael Prime tersenyum licik, menantang Kael untuk memilih. "Pilih satu, atau kau akan tetap menjadi sampah yang ragu-ragu," katanya, suaranya menggema bagai denting lonceng kematian. Kael menggigit bibirnya sampai berdarah, mendengar bisikan purba yang mendesak: "Musnahkan semua realitas."

Tanpa peringatan, pertempuran pun pecah di antara kemungkinan. Kael Prime mengacungkan jarinya, seolah mampu memilih realitas yang menghapus keberadaan Kael secara total. Sekejap, tubuh Kael terasa menghilang, seolah transparansi telah menyelimuti dirinya, namun ia dengan cepat membalas dengan memanfaatkan segel Alam 2. Dalam kekuatan itu, ia menciptakan sebuah realitas baru—realitas di mana keberadaan Kael Prime hanyalah ilusi belaka. Namun, Kael Prime tertawa, suara tawanya menggema seolah telah mengulangi permainan ini ribuan kali.

Keduanya terlempar ke dimensi antara, sebuah ruang yang penuh dengan paradoks di mana hukum sebab-akibat terbalik. Waktu dan ruang menjadi mainan, dan setiap gerakan bagaikan tarian kematian di atas permukaan cermin retak. Dalam kekacauan itu, Selene mencoba ikut campur, mengayunkan pedang biru Dinasti ke-7 dengan semangat yang membara. Namun, Kael Prime menangkap setiap kata yang terucapnya dengan ejekan tajam, mengingatkan Selene akan aroma darah yang pernah mengalir saat ia mencuri kehangatan dari pelukan Lysandra.

Selene membeku sejenak, di mana ingatan—entah palsu atau nyata—membanjiri pikirannya dengan bayang-bayang masa lalu. Di saat itulah, Kael memanfaatkan kebekuan itu untuk merampas probabilitas dari sebuah toko quantum, menciptakan realitas di mana Kael Prime tak pernah ada. Namun, tawanya kembali bergema, mengejek segala usaha yang telah ia lakukan. "Kau pikir itu ide orisinal? Aku telah mencobanya berkali-kali," katanya, nada suaranya menantang waktu.

Di puncak pertempuran, saat segala kemungkinan mulai saling bertabrakan, Kael Prime mengungkapkan kebenaran pahit. Dengan suara yang penuh amarah dan keputusasaan, ia berkata, "Aku bukan sekadar klon. Aku adalah versi kau yang tidak pernah jatuh ke dalam kegelapan Alam 1, yang tetap berada di Alam 9, menyaksikan kau merusak segalanya!"

Kata-kata itu menghantam Kael bak badai, mengingatkan bahwa setiap kehancuran yang pernah terjadi adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Dengan gerakan yang penuh kesungguhan, Kael Prime melemparkan sebuah fragmen masa lalu—Memory Shard—yang bersinar samar dalam kegelapan. Fragmen itu membawa kilasan ingatan: Kael asli, di Alam 9, dengan wajah yang penuh kelelahan, sengaja membuang ingatan dan kekuatannya untuk menghibur dirinya sendiri, karena keabadian telah membuatnya bosan. Setiap kehancuran di Alam 1 hingga Alam 8 hanyalah bagian dari permainan yang ia ciptakan, dan bahkan pertemuannya dengan Lysandra dan Selene hanyalah sandiwara untuk menciptakan konflik dramatis.

"Kau bukan korban, kau adalah penyiksaan berjalan!" teriak Kael Prime, suaranya menggema di antara reruntuhan realitas. Kael terjatuh, merasakan segel Alam 2 yang selama ini menjadi penopang kekuatannya retak sepenuhnya. Energi quantum mengalir deras melalui tubuhnya, namun kali ini ia menolak untuk menyerah. Dengan suara yang hampir tak terdengar di tengah kekacauan, ia berkata, "Aku... tidak percaya," meskipun dalam hatinya ia merasakan kehancuran yang mendekat.

Di saat itu pula, di antara celah-celah retakan dimensi, suara tangisan kecil terdengar dari sebuah sudut yang terlupakan. Dari reruntuhan Alam 1 yang telah terinfeksi energi hitam, muncul koloni raksasa yang berbentuk seperti bayangan masa kecil Kael—sebuah kumpulan makhluk yang menyerupai Davian dalam wujud yang mengerikan. Dengan suara serak yang terdengar seperti seruan dari dalam lubang hitam, mereka berkata, "Ayah... mengapa kau tinggalkan kami?" Teriakan itu bergema, membawa beban kesedihan yang tak terucapkan, dan mengingatkan Kael bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang jauh lebih dalam.

Kael Prime, yang mendengar teriakan itu, mengerutkan kening dengan campuran kemarahan dan keputusasaan. "Kau bahkan meracuni realitas dengan versi kekanakan dirimu. Betapa memalukannya." Namun, dalam kekacauan yang kian mendalam itu, Kael asli—yang selama ini tersembunyi di balik bayang-bayang kekuatan—melihat kesempatan. Dengan sisa kekuatannya, ia menyatukan energi quantum dan infeksi hitam menjadi sebuah singularitas yang mengancam untuk menelan seluruh dimensi. Dengan suara penuh tekad, ia berseru, "Jika aku memang monster, izinkan aku memperkenalkan diri."

Dalam sekejap, ledakan dahsyat mengguncang seluruh Alam 2. Sebuah blackhole kecil terbentuk, menghisap hampir tiga puluh persen dari realitas yang ada, menarik segala sesuatu ke dalam kegelapan yang tak terhingga. Kael Prime terpental, terlempar jauh ke dalam kekosongan, sementara Selene terkapar dalam keadaan tak berdaya. Kael asli, seolah dengan sengaja, membiarkan dirinya ditelan oleh kegelapan, menghilang dalam ruangan yang hanya dipenuhi cahaya hitam dan bisikan masa depan.

Di antara reruntuhan quantum yang tersisa, Kael Prime berdiri, jubahnya berkibar di angin kosmik, sambil menyuarakan celaan tajam kepada dirinya sendiri. "Kau masih memilih untuk lari? Kau tidak pernah berubah," gumamnya, suaranya dipenuhi oleh amarah dan penyesalan yang mendalam. Sementara itu, Selene perlahan terbangun, tatapannya dipenuhi luka, tatapan matanya kini sepenuhnya hitam—tanda bahwa infeksi yang tak bisa dibalikkan telah menyusup ke dalam jiwanya.

Di tengah kekacauan itu, koloni makhluk mirip Davian mengkristal menjadi monumen hitam, sebuah peringatan abadi bagi mereka yang pernah mengabaikan konsekuensi kekuatan. Suara mereka yang serempak seakan memanggil, "Ayah, kami menunggumu..." Menggema dalam ruang-ruang kosong, menyatu dengan deru ledakan dan bisikan dewa-dewa yang terlupakan.

Di suatu sudut Alam 9 yang tersembunyi, bayangan tanpa wajah tertawa pelan sambil menambahkan satu kepingan baru di papan catur kosmik, sebuah kepingan hitam yang menyerupai wajah Selene. Suara halus namun tegas terdengar, "Tahap kedua telah usai. Saatnya menghidupkan Para Penjaga yang Tertidur."

Sementara itu, dalam kegelapan blackhole, Kael asli terbangun di sebuah ruang putih yang tak berujung. Di hadapannya, seorang wanita berambut perak—Lysandra, yang nyata dan berbeda dari bayangan yang pernah dikenalnya—menangis, sambil mengulurkan pedang yang berkilauan. Suaranya lembut namun penuh dengan keputusasaan dan harapan, "Sudah cukup, Kael. Mari kita akhiri semua ini."

Di tengah kekacauan dan pertarungan di antara kemungkinan, kota-kota quantum terus berubah, membentuk realitas baru yang tidak terduga. Seluruh Alam 2 seolah menjadi arena permainan catur kosmik, di mana setiap langkah, setiap gerakan, memiliki konsekuensi yang mengguncang nadi semesta. Dalam bayangan, setiap kepingan yang jatuh, setiap bidak yang terhitung, adalah cermin dari dosa-dosa yang tak termaafkan dan harapan yang rapuh.

Kael, dengan kekuatan yang mulai mengalir di antara retakan jiwanya, berusaha bangkit dari kehancuran yang hampir menelan dirinya. Dalam kekosongan putih yang tak berujung itu, ia menemukan secercah pengertian tentang arti kekuatan dan penebusan. Namun, jalan yang harus ditempuh masih panjang, dan bayangan masa lalu serta kehadiran Kael Prime sebagai penantang abadi terus menghantui setiap langkahnya.

Di atas jembatan transparan di kota quantum, Selene yang kini tersisa dengan luka dan bayangannya sendiri berdiri, memandang ke depan dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apakah ini awal dari akhir, ataukah akhir hanyalah sebuah awal baru?" tanyanya lirih, seolah mencoba mencari jawaban di antara riak-riak sungai waktu yang terus mengalir mundur.

Di sana, di antara reruntuhan realitas yang terus berubah, takdir mereka tersulam dengan benang-benang takdir yang rapuh namun kuat, mengingatkan bahwa dalam setiap kegelapan selalu ada secercah cahaya yang menunggu untuk ditemukan. Dengan tekad yang kian menguat, Kael dan Selene melangkah bersama, meski bayangan masa lalu dan kemungkinan yang tak terhitung menghantui setiap gerakan mereka.

Dan di ruang putih yang hening, di mana waktu dan ruang seakan berhenti, Lysandra menatap Kael dengan air mata yang bercampur harapan dan penyesalan, sambil berkata, "Kita harus terus berjalan, meski jalan ini penuh dengan keputusasaan. Karena di balik setiap pecahan realitas, masih ada janji untuk bangkit."

Di balik langit yang tersusun dari bilangan dan persamaan, di tengah kota quantum yang tak terhingga kemungkinan, pertempuran antara bayangan dan diri sejati baru saja dimulai.