7.Peradaban yang Tersekrup dalam Kegelapan

Di ruang putih tanpa batas, di mana waktu dan ruang melebur dalam kehampaan yang aneh, Kael berdiri terpaku di hadapan Lysandra asli. Wanita berambut perak itu, mengenakan baju perang yang terbuat dari cahaya murni, tampak seperti sosok hantu yang terjebak di antara realitas. Di baliknya, proyeksi ribuan galaksi berputar perlahan, masing-masing menyimpan peradaban yang pernah hancur oleh tangan Kael. Suaranya lembut namun penuh kesedihan, seakan mengundang Kael untuk merenungi dosa-dosa yang telah ia tabur.

"Lihatlah, Kael," bisik Lysandra sambil meraba bayangan galaksi spiral yang berputar. "Alam 1 hanyalah permulaan. Setiap kali kau membuka segel, alam semesta di bawahmu runtuh seperti domino. Bintang-bintang meledak, planet-planet terbelah menjadi kristal darah, dan makhluk-makhluk yang pernah berseru kini hanya tersisa bayang-bayang kehancuran."

Kael menatap proyeksi itu dengan mata yang kosong, seolah mencoba menghitung deretan kepingan kehancuran yang telah ia ciptakan. "Ini... karena aku?" tanyanya pelan, suaranya tersapu oleh keheningan ruang putih yang mengelilingi mereka.

Lysandra mendekat, tatapannya menyala oleh kemarahan sedih. "Kau pikir kekuatan Alam 9 hanya sekadar mainan? Setiap napasmu di sini adalah badai antimateri yang menggerakkan kehancuran di Alam 3, dan setiap detak jantungmu memicu supernova di Alam 5." Kata-katanya menggetarkan udara, menoreh luka di relung jiwa yang selama ini tersembunyi.

Tak lama kemudian, di Alam 2—Etherios Cosmos—getaran pertempuran antara Kael dan kekuatan bayangan dirinya mulai merembet ke dalam realitas fisik. Di sudut-sudut semesta, keajaiban dan kehancuran berjalan beriringan. Galaksi Andromeda 7X, yang dulu megah dan penuh harapan, kini hancur lebur oleh gelombang kejut quantum yang diciptakan oleh singularitas kecil yang lahir dari kekuatan Kael. Dua ratus miliar bintang padam seketika, menciptakan kehampaan yang menggulung seperti lautan gelap.

Di balik reruntuhan itu, Planetarium Nebula—gugusan planet yang pernah menjadi karya seni alam—berubah menjadi kuburan megah, setiap planet kini menjadi patung-patung beku yang seakan menangis dalam keheningan. Dan di sudut yang paling dalam, sebuah Blackhole Nursery, tempat kelahiran lubang hitam alami, terkontaminasi oleh energi hitam yang kau sebarkan, mengeluarkan jeritan mirip tangisan yang merintih, mengingatkan pada derita Davian.

Di tengah segala kerusakan itu, Selene, yang terdampar di reruntuhan kota quantum, mengamati semua melalui *soul mirror*. Wajahnya yang sudah tak lagi sempurna—tattoo hitamnya berdenyut, mata yang tampak menyimpan kepedihan abadi—menyaksikan kejatuhan peradaban dengan rasa ngeri. "Dia benar-benar menjalar seperti virus, Kael. Aku harus menghentikan ini... bahkan jika itu berarti aku harus merobek jiwaku sendiri," gumamnya, suaranya teredam oleh kesedihan dan tekad.

Sementara itu, di Alam 7, suasana semakin memanas. Pasukan Dinasti ke-7, yang dipimpin oleh Dewi Perang Astraea, berkumpul dengan wajah tegas dan penuh dendam. Di ruang megah yang terbuat dari marmer retak, Astraea mengamati kerusakan di Alam 1 dan Alam 2 melalui sebuah cermin raksasa, *Cermin Nasib*. Dengan pedangnya yang terhunus, ia menghardik dengan suara serak, "Selene telah ternoda! Keluarkan Pasukan Pemusnah! Hancurkan 10% galaksi di Alam 1 sebagai peringatan!"

Dalam hitungan jam, ratusan juta kapal perang Dinasti ke-7 muncul di tepi galaksi Bima Sakti. Mereka menembakkan senjata maut—**Starforge Missile**—yang mengubah bintang menjadi bom waktu, mengakibatkan ledakan demi ledakan. Dalam waktu singkat, sepuluh ribu bintang meledak, merantai reaksi nuklir yang menghanguskan ratusan ribu planet. Namun, di balik semua itu, setiap bintang yang mati justru memberi makan infeksi energi hitam, menyalakan api kehancuran yang tak terhentikan.

Di Alam 9, bayangan tanpa wajah, entitas purba yang telah lama tersembunyi, mulai bergerak. Dengan penuh perhitungan, ia mengaktifkan Para Penjaga yang Tertidur. Di antara kegelapan, tiga sosok bangkit:

- Yang pertama muncul dari inti galaksi elips raksasa, tubuhnya tersusun dari percikan supernova yang berdenyut.

- Yang kedua terbangun dari dalam nebula hitam, wujudnya bagai kumpulan lubang hitam yang menyatu dalam simfoni kehancuran.

- Yang ketiga, lahir dari sisa-sisa Big Bang, berwujud materi gelap dengan mata yang berpendar seperti antimateri.

Misi mereka satu: Pembersihan Total. Ledakan demi ledakan menghapus galaksi-galaksi, menelan peradaban dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Di Alam 4, tiga galaksi spiral lenyap ditelan Penjaga Pertama, sementara di Alam 6, peradaban makhluk kristal yang telah berkembang ribuan tahun musnah oleh teriakan mengerikan Penjaga Kedua. Di Alam 1, lengan Bima Sakti pun terpelintir, terseret oleh gravitasi yang tak terelakkan dari Penjaga Ketiga.

Kembali ke Alam 2, Kael, yang kini membawa sisa-sisa kekuatan dan luka batin dari pertempuran yang tak terhitung jumlahnya, kembali melangkah dengan bantuan Lysandra. Namun, tubuhnya tampak setengah transparan, efek samping dari kekuatan yang telah merusak hukum realitas. Di hadapannya, Selene, yang separuh jiwanya telah terkorupsi oleh infeksi hitam, menunggu dengan pedang terhunus. Tatapannya tajam, penuh kemarahan dan duka yang mendalam.

"Kau lihat apa yang kau lakukan, Kael?!" teriak Selene, suaranya pecah di tengah debu dan kehancuran. "Galaksi-galaksi mati, peradaban hancur, semuanya karena kecerobohanmu!"

Kael menatap tangan yang kini tampak seperti bayangan, merasa bahwa setiap gerakan kecilnya telah menuliskan tragedi baru. "Mereka akan mati lebih cepat jika aku tidak bertindak," jawabnya dengan nada dingin, meskipun di dalam hatinya berkecamuk perasaan bersalah dan putus asa. Di telapak tangannya, segel-segel Alam 2 berpendar samar, seolah mengisyaratkan nasib yang telah ditentukan oleh kekuatan yang lebih tinggi.

Di saat itulah, bayangan tanpa wajah dari Alam 9 muncul di atas jembatan realitas, seolah mengirim pesan dari balik tabir kekosongan. Dengan suara yang penuh teka-teki, ia berbisik, "Kita semua hanyalah pion dalam permainan-Nya. Namun, kini kau, Kael, harus menghancurkan papan catur itu." Kata-kata itu menggema, menembus setiap lapisan jiwa dan memaksa Kael untuk merenung tentang peran sejatinya dalam kehancuran yang telah ia ciptakan.

Dalam momen yang mengerikan itu, Selene merapat, menatap Kael dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kita tidak bisa terus berlari. Semuanya telah mencapai titik balik. Entah kau mau menghancurkan dunia ini atau menyelamatkannya, pilihan ada di tanganmu." Suaranya lembut, namun penuh tekad, seolah mencoba menarik Kael kembali dari ambang kehancuran total.

Di antara reruntuhan realitas, seolah alam semesta sendiri menahan napas, dan dalam keheningan yang menegangkan, ledakan dahsyat mengguncang Alam 2. Sebuah blackhole kecil terbentuk, menelan hampir sepertiga dari seluruh realitas yang ada, menyedot segala sesuatu ke dalam kegelapan yang tak terhingga. Kael terpental dari posisinya, tubuhnya terombang-ambing di antara dimensi yang saling bertabrakan, sedangkan Selene terkapar, tak berdaya menghadapi kekuatan yang mulai menguasai segala sesuatu.

Di ruang putih yang seketika berubah menjadi medan pertempuran antara bayangan dan diri sejati, Kael perlahan mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang tersisa. Dengan tekad yang nyaris mustahil, ia mengangkat tangannya, dan di dalamnya tersimpan secercah cahaya—sebuah harapan yang tersisa meski berada di ambang kehancuran. Dalam tatapan mata yang penuh kebingungan dan keputusasaan, ia berbisik, "Aku tidak akan membiarkan segalanya berakhir begitu saja."

Di sudut gelap Alam 3, terdengar suara serak yang berbisik dari balik reruntuhan: "Ayah, mengapa kau tinggalkan kami?" Suara itu berasal dari koloni makhluk yang telah berevolusi, bayangan masa kecil Kael yang kini berubah menjadi entitas yang mengerikan, dengan wajah-wajah yang mengingatkan pada masa lalu yang penuh luka. Teriakan mereka seakan menuntut keadilan atas setiap dosa yang pernah dilakukan, dan setiap kepingan kehancuran itu menjadi saksi bisu dari penderitaan yang tak terucapkan.

Di tengah kekacauan tersebut, di antara gemuruh ledakan dan jeritan angin kosmik, Lysandra berdiri dengan air mata bercampur harapan dan penyesalan. Di antara ruang putih dan hitam yang tak berujung, ia memandang Kael dengan tatapan yang penuh arti. "Kita harus terus berjalan, Kael. Walaupun dunia ini telah hancur, masih ada secercah harapan yang bisa kita bangun kembali." Suaranya lembut namun tegas, seolah mengundang Kael untuk memilih jalan yang berbeda, meski bayang-bayang masa lalu terus menghantui.

Sementara itu, di Alam 9, bayangan tanpa wajah memasang bidak terakhir di papan catur kosmik. Dengan tenang, ia menyusun kepingan-kepingan kecil—patung kecil yang menyerupai wajah Kael dan Selene yang saling menyakiti—sebagai simbol dari konflik yang akan datang. "Langkahmu dapat diprediksi, Kael. Namun, permainan baru saja dimulai," gumamnya, suaranya mengalir seperti angin yang membawa kutukan.

Di balik langit yang tersusun dari bilangan dan persamaan, kota-kota quantum terus bergeser, menciptakan realitas yang baru di setiap detik. Di atas jembatan transparan, Selene, yang kini terkulai dengan luka yang mendalam, menatap ke depan dengan mata yang tampak penuh pertanyaan. "Apakah ini awal dari akhir, ataukah akhir hanyalah sebuah awal baru?" tanyanya lirih, suaranya melayang bersama riak-riak sungai waktu yang mengalir mundur.

Di ruang putih yang hening, di mana segala sesuatu tampak menunggu untuk didefinisikan kembali, Kael mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang tersisa dalam dirinya. Dengan tangan yang masih bergetar, ia menggenggam pedang hitamnya—simbol dari kekuatan yang telah memberinya keabadian sekaligus kutukan. "Aku harus memilih jalan ini, walaupun setiap langkah berarti pengorbanan dan kehancuran," bisiknya, seolah menyatakan bahwa meski dunia telah terbenam dalam kegelapan, ada secercah tekad yang tak akan pernah padam.

Di balik cakrawala yang kini dipenuhi oleh bayangan ancaman dan harapan yang samar, nasib Kael dan Selene tersulam dengan benang-benang takdir yang rapuh namun kuat. Di setiap hembusan angin kosmik, setiap tetes darah yang tumpah, tersimpan janji untuk bangkit dan melawan—meski harus melalui lautan duka dan pengorbanan yang tak terhingga.

Lysandra mendekat, mengulurkan tangan ke arah Kael yang kini terbaring di antara reruntuhan realitas, dan dengan suara penuh kelembutan, ia berkata, "Sudah cukup, Kael. Mari kita akhiri semua ini, walaupun harus mengorbankan segalanya. Biarkan peradaban yang tersekrup dalam kegelapan ini menjadi saksi bahwa kita, meski terluka, masih berani melawan."

Di antara deru ledakan yang masih menggema dan riuhnya kosmos yang tak teratur, Kael mengangkat kepalanya perlahan. Mata yang tampak setengah hilang oleh kegelapan kini berkilat dengan tekad. "Kita akan bangkit dari kehancuran ini, Selene. Kita akan menulis ulang nasib alam semesta—walaupun itu berarti kita harus mengorbankan diri kita sendiri."

Dengan kata-kata itu, di ruang putih tanpa batas, Kael dan Lysandra bergabung dalam keheningan yang penuh arti, sementara Selene yang tersisa menatap ke depan dengan harapan yang masih menyala meski samar. Di balik tiap retakan ruang dan waktu, pertempuran antara bayangan dan kenyataan baru saja dimulai, menandakan babak baru dalam kisah yang tak akan pernah usai.

Di akhir peradaban yang tersekrup dalam kegelapan, di mana setiap pecahan realitas menorehkan duka dan keabadian, mereka berjalan bersama—menerjang badai kosmik, menantang keputusasaan, dan berjanji bahwa meskipun dunia telah hancur, cahaya harapan akan selalu menyala, menuntun mereka ke masa depan yang tak terduga