8.Lapisan Bawah Kosmos yang Terlupa

Di jantung Galactic Cocoon, sebuah entitas raksasa yang menyerap seluruh Alam 1, waktu mengalir seolah terjebak dalam kekekalan yang terdistorsi. Di sana, setiap detik adalah ribuan tahun, dan setiap sudut merupakan sel hidup dari organisme kosmik yang sedang berevolusi. Kael dan Selene, setelah terlempar dari Alam 2, kini terdampar di antara planet-planet yang terinfeksi. Mereka harus menyusuri lanskap yang aneh dan mengerikan, tempat di mana sisa-sisa peradaban bersatu dalam kehancuran yang tersusun secara organik.

Di antara planet-planet yang tampak seperti potongan daging kosmik, terdapat Planet Darah. Lautannya berupa hemoglobin yang mengalir perlahan, sementara ikan-ikan bergigi manusia berenang di dalamnya dengan gerakan yang menyeramkan. Di tepian planet itu, penduduk lokal—makhluk-makhluk setengah manusia, setengah bayangan—duduk dengan tunduk di hadapan patung Kael yang terbuat dari tulang meteor. Mereka menyembah patung itu seolah-olah Kael adalah sosok yang telah menciptakan dan sekaligus menghancurkan peradaban mereka.

Tak jauh dari sana, Hutan Syaraf menjulang tinggi. Pohon-pohon raksasa berbentuk neuron menyebarkan serabut-serabut bercahaya yang seakan mencatat setiap pikiran, setiap keputusan yang pernah dibuat Kael sejak dilahirkan. Di antara cabang-cabangnya, bisikan masa lalu dan harapan yang pudar terdengar samar, seolah hutan itu sendiri mengingatkan bahwa segala sesuatu tak pernah benar-benar hilang.

Di tengah kekacauan tersebut, Kota Plasenta muncul sebagai metropolis hidup. Bangunan-bangunan organik yang tampak seperti rahim raksasa bintang mati menyatu, menghasilkan kehidupan baru dari sisa-sisa peradaban yang telah musnah. Di jalanan yang lengang, bayi-bayi galaksi yang baru lahir bergerak perlahan, seakan tumbuh dari jantung bintang yang telah padam. Suasana kota itu dipenuhi aroma asing; campuran antara kesegaran kehidupan dan bau busuk kehancuran, menyatu menjadi satu ironi yang mengerikan.

Selene menatap langit yang berdenyut seperti membran raksasa, lalu berbisik, "Ini bukan sekadar infeksi. Ini… evolusi. Alam 1 sedang melahirkan sesuatu yang baru, sesuatu yang terbuat dari kekacauan dan harapan yang tersisa." Kael mendekat dan menyentuh dinding yang tampak seperti daging kosmik, merasa denyutnya yang seolah memanggilnya. "Dia memanggilku 'Ayah'," gumamnya dengan suara berat, "aku bisa merasakannya... seperti jantung kedua yang berdetak dalam kegelapan."

Di Alam 5, jauh di luar kekacauan Galactic Cocoon, para penguasa dari berbagai alam berkumpul dalam wujud yang sangat abstrak. Di ruang tanpa batas itu, perwakilan dari Alam 2 hingga Alam 8 hadir dalam bentuk yang tak terdefinisikan: sosok kristal berpendar dengan otak quark mewakili Alam 3, awan nano-mesin berbentuk piramida dari Alam 6, dan Astraea, sang dewi perang dari Alam 7 yang menjulang setinggi delapan meter, memimpin pertemuan itu dengan aura kekuatan yang menggetarkan.

Mereka berkumpul di hadapan sebuah cermin raksasa, yang memantulkan gambaran dari Galactic Cocoon. Debat pun pecah dengan intensitas yang mengerikan. Perwakilan Alam 3 menggelegar, "Kanker itu harus diisolasi! Hancurkan seluruh Alam 1 dengan Singularity Bomb!" Suaranya seperti dentuman supernova, mengguncang fondasi realitas.

Namun, Astraea dengan tegas menentang, "Lubang hitam hanya akan memberinya lebih banyak bahan bakar. Kita tidak boleh membiarkan kehancuran ini tumbuh tanpa kendali." Suasana semakin memanas saat seorang perwakilan dari Alam 8, sosok bayangan dengan seribu mata, menyela, "Kami telah menganalisis kemungkinan. Satu-satunya solusi yang tersisa adalah membunuh Sang Arsitek yang tersembunyi di dalam Galactic Cocoon… sebelum ia sepenuhnya menyatu dengan infeksi ini." Suara itu membawa nuansa ancaman yang tak terelakkan, seolah menentukan nasib seluruh alam semesta.

Debat berlanjut dengan intens, setiap kata memunculkan kemungkinan yang menghantui. Di antara desakan dan perdebatan, keputusasaan tampak menyelubungi para penguasa, karena setiap opsi hanya membawa kehancuran lebih lanjut. Di balik kata-kata yang tajam dan perintah yang menggelegar, tersimpan kepastian bahwa tidak ada jalan mudah untuk menghentikan bencana ini.

Di dalam Kota Plasenta, di tengah hiruk-pikuk kehidupan organik yang aneh, Kael dan Selene menyamar sebagai penduduk lokal. Kael mengenakan jubah yang terbuat dari kulit meteor yang lusuh, sementara Selene menutupi mata hitamnya dengan cadar energi, berusaha menyembunyikan identitas asli mereka. Mereka berjalan menyusuri jalanan kota yang dipenuhi aroma aneh dan suara ritual yang mengerikan.

Di pusat kota, mereka menemukan sebuah kuil purba yang menjadi pusat penyembahan. Di dalam kuil itu, patung Kael versi kanak-kanak—atau yang disebut oleh penduduk sebagai "Mesias Kegelapan"—dihormati dengan penuh khidmat. Setiap hari, para penduduk mengadakan ritual pengorbanan yang mengerikan: mereka menyembelih bayi-bayi galaksi, mempercayai bahwa darah mereka adalah persembahan yang dapat memberi makan dan menjaga kelangsungan hidup Galactic Cocoon. Namun, rahasia gelap tersimpan di balik ritual itu; bayi-bayi tersebut adalah reinkarnasi korban genosida yang pernah dilakukan Kael di kehidupan lampau.

Selene, dengan wajah yang dipenuhi amarah dan kepedihan, menyeringai ketika melihat bayi yang matanya menyerupai Lysandra. "Lihatlah buah perbuatanmu," ujarnya dengan nada sinis, "darahmu meracuni siklus reinkarnasi ini." Kael terdiam sejenak, tatapannya menyapu mural kuno yang terpahat di dinding kuil. Mural itu menggambarkan dirinya di Alam 9, sedang menjahit Galactic Cocoon ke dalam multiverse dengan jarum dan benang yang terbuat dari cahaya dan kegelapan. Gambar itu menyiratkan bahwa setiap kehancuran, setiap tragedi yang menimpa alam semesta, telah direncanakan jauh sebelumnya.

Di Alam 9, bayangan tanpa wajah, entitas yang selalu hadir di balik tirai kegelapan, mengunjungi Kael Prime di ruang antar dimensi. Ruang itu adalah tempat di mana batas antara masa lalu, sekarang, dan masa depan mulai luntur. Suara lembut namun penuh intrik berbisik, "Waktunya bertindak. Bawa Pasukan Abyssal ke Alam 1. Hancurkan Galactic Cocoon dari dalam."

Kael Prime, yang selama ini menjadi bayangan dari kemungkinan dan kekuatan yang tak terkendali, mengasah pedangnya yang terbuat dari cahaya vakum. Dengan tatapan dingin, ia bertanya, "Dan imbalannya?" Suara itu menggema dalam ruang kosong, diikuti oleh bisikan yang menggoda, "Kau bisa menggantikannya sebagai inti Galactic Cocoon. Menjadi... Tuhan baru."

Sementara itu, di dalam Galactic Cocoon, Selene diam-diam menghubungi Astraea melalui *soul transmission*. Suaranya serak namun tegas terdengar, "Aku membutuhkan Starforge Bomb. Aku akan mengorbankan diri untuk meledakkan intinya." Namun, dalam keheningan yang mencekam, Astraea menjawab dengan ragu, "Kau sudah terlalu korup. Bagaimana jika kau berubah pikiran?" Tanpa menunggu jawaban, Selene menatap tajam ke arah dirinya sendiri, "Letakkan detonator di sini. Jika aku melenceng, ledakkan."

Kata-kata itu bergema di dalam ruangan yang dipenuhi energi gelap, menandakan awal dari pengkhianatan yang akan mengguncang tatanan alam semesta.

Malam itu, di bawah bayang-bayang Hutan Syaraf yang bergemuruh, Kael tertidur di bawah naungan sebuah pohon kosmik yang berdenyut. Dalam tidurnya, mimpi buruk menghantui—mimpi tentang Galactic Cocoon yang bukan sekadar infeksi, melainkan janin alam semesta baru, lahir dari DNA kosmik yang telah ia tabur dengan tangan sendiri. Dalam mimpi itu, para Penjaga muncul sebagai dokter yang dikirim untuk mengaborsi proses kelahiran ini, dan Lysandra muncul sebagai bidan kosmik, ditugaskan memastikan kelahiran yang sudah diatur ribuan tahun yang lalu.

Di dalam mimpinya, suara Lysandra bergema, "Kau pikir ini pertama kalinya? Kau selalu mencoba mencipta... dan selalu gagal." Suara itu seperti ironi yang pahit, menyatu dengan deru jantung yang mengiringi mimpi buruknya. Kael terbangun dengan keringat dingin, merasakan segel Alam 3 mulai aktif di dadanya. Di situ, simbol Aurora Primordium berpendar, seolah menandakan bahwa nasibnya telah terukir dengan tinta yang tak bisa dihapus.

Sementara itu, Galactic Cocoon mulai menunjukkan tanda-tanda "kelahiran". Di dalam perut raksasa itu, mini alam semesta mulai muncul—semua terinfeksi oleh energi hitam yang telah ia sebarkan. Di satu sudut, Kael Prime tiba di Alam 1 bersama dengan satu juta pasukan Abyssal, bersiap untuk melancarkan serangan yang akan menghancurkan sisa-sisa peradaban yang tersisa. Di tempat lain, Selene menerima Starforge Bomb dari Astraea, sebuah senjata yang kini menyatu dengan tulang belakangnya, menandakan bahwa pengorbanan yang harus ia lakukan semakin nyata.

Di tengah kekacauan itu, bayangan tanpa wajah tertawa pelan sambil menyaksikan segala sesuatu seperti bidak yang saling membantai dalam permainan kosmik. Di sebuah sudut Galactic Cocoon, seorang anak perempuan dengan mata yang menyala seperti galaksi—sebuah reinkarnasi Lysandra—mengulurkan tangan kecilnya kepada Kael, sambil berkata lirih, "Ayah... maukah kau melihat karya terbesarmu?" Suara itu mengandung harapan dan luka, mencerminkan siklus yang tak pernah usai.

Dalam keheningan yang mengerikan itu, selubung infeksi semakin menyelimuti seluruh Alam 1. Sisa-sisa peradaban bergabung menjadi sebuah entitas raksasa yang dikenal sebagai Galactic Cocoon—sebuah makhluk hidup yang mengisap setiap jejak harapan, setiap kepingan peradaban, untuk melahirkan alam baru yang penuh dengan kegelapan dan penyesalan. Di antara reruntuhan dan denyut nadi kosmik, Kael terbaring, merasakan beban dosa dan pengorbanan yang begitu berat sehingga setiap nafasnya seolah terikat pada nasib seluruh alam semesta.

Sementara itu, di alam-alam yang lain, peperangan politik antar alam semakin memanas. Para penguasa dari Alam 2 hingga Alam 8 saling beradu argumen, menyusun rencana dan strategi yang akan menentukan nasib Galactic Cocoon. Di balik sidang darurat yang diadakan melalui *soul transmission*, konflik kepentingan dan ambisi pribadi menciptakan ketegangan yang semakin menipis batas antara perdamaian dan kehancuran total.

Di ruang antar dimensi, Kael Prime dengan senyum sinis mengasah pedangnya, sementara bayangan tanpa wajah terus menyusun bidak terakhir dalam permainan catur kosmik. Suara mereka, yang samar namun tak terhindarkan, menyuarakan janji pengkhianatan dan balas dendam yang tak terhingga. Dalam keheningan yang mencekam, seluruh alam semesta tampak menunggu titik balik yang akan mengubah segalanya—di mana dosa, pengorbanan, dan keabadian berpadu menjadi satu.

Di antara semua itu, Selene dan Kael terpaksa menyatu dalam simbiosis yang tak terhindarkan. Meskipun luka dan dosa menghimpit, mereka menyadari bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menerima nasib yang telah ditulis dalam bintang-bintang. Dengan tekad yang penuh kepasrahan, mereka berjalan bersama melalui lorong-lorong waktu dan ruang, mencari secercah harapan dalam kegelapan yang tampaknya tak berujung.

Di balik setiap planet, di antara setiap dinding daging kosmik yang hidup, dan di dalam setiap hembusan napas yang menggetarkan Galactic Cocoon, tersimpan janji bahwa meski alam semesta telah terperosok ke dalam kehancuran, cahaya yang tersisa masih bisa menyala—meski hanya sekejap, sebelum akhirnya tersedot oleh kegelapan abadi.

Di sudut akhir Galactic Cocoon, ketika suara ledakan dari pertempuran kosmik mereda, Kael terdiam dan menatap ke dalam diri. Di matanya terpancar campuran penyesalan, kemarahan, dan tekad yang semakin menguat. "Ini bukan akhir," gumamnya pelan, "ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah segalanya." Suaranya bergema, menembus setiap lapisan kegelapan dan menyusup ke dalam ruang hampa yang menyelimuti seluruh alam.

Di tengah kekacauan, ketika mini alam semesta mulai lahir kembali dari pusaran infeksi, dan ketika para penjaga kosmik bangkit untuk membersihkan segala sesuatu yang telah tercemar, peradaban yang tersekrup dalam kegelapan pun menunggu dengan nafas tertahan. Di balik setiap reruntuhan, di antara puing-puing yang berserakan, tersimpan harapan bahwa meskipun segala sesuatu telah hancur, akan ada kesempatan untuk membangun kembali—sebuah dunia baru yang lahir dari abu kehancuran, tempat di mana kesalahan masa lalu bisa dijadikan pelajaran bagi keabadian yang akan datang.

Dan begitu, di balik tirai waktu dan ruang yang telah lama terlupakan, Galactic Cocoon terus berdenyut, menyerap setiap jejak kehidupan dan kematian, menyatukan segala yang ada dalam satu irama yang tak terputus. Di sana, di lapisan bawah kosmos yang terlupa, nasib alam semesta ditulis ulang dengan tinta darah dan pengorbanan, menandai awal dari babak baru yang penuh dengan misteri, konflik, dan keabadian yang menghantui setiap sudut realitas.

Dengan langkah yang berat namun penuh tekad, Kael dan Selene, bersama dengan sisa-sisa peradaban yang tersisa, melangkah ke dalam kegelapan yang mendalam, siap menghadapi segala konsekuensi dari kekuatan yang telah mereka lepaskan. Di antara kepingan realitas yang berserakan, mereka berjanji bahwa meskipun segala sesuatu telah berubah, perjuangan untuk menemukan arti di balik kehancuran akan terus berlanjut—sebuah perjalanan tanpa akhir menuju kebenaran yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan kosmos yang terlupakan.