Titik Pertemuan

Langit malam kembali menjadi kanvas gelap, dihiasi bintang-bintang redup yang terkesan acuh. Aku melangkah dengan hati-hati di bawah naungan pohon-pohon besar, kembali ke hutan tempat semuanya dimulai. Napasku berat, dan udara dingin menusuk kulitku, tapi aku terus berjalan.

Ada sesuatu yang menarikku ke sini—dorongan yang tidak bisa kuabaikan. Apakah itu rasa penasaran? Atau mungkin kemarahan yang mendidih dalam diriku? Aku tidak tahu pasti. Tapi yang kutahu, malam ini aku akan menemukan jawaban.

---

Hutan terasa hidup dengan cara yang aneh. Setiap suara, setiap gerakan, semuanya tampak lebih jelas. Aku bisa mendengar hembusan angin melewati dedaunan, langkah-langkah kecil dari hewan yang bersembunyi, bahkan gemerisik tanah di bawah kakiku.

Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu. Suara langkah kaki, berat dan disengaja, datang dari arah yang berlawanan. Aku berhenti, tubuhku menegang, dan mataku mencari sumber suara itu.

"Kau kembali."

Suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang dibawa angin, tapi aku tahu itu dia—pria yang muncul di hutan beberapa hari lalu. Tubuhnya muncul dari balik bayangan, mata emasnya bersinar seperti sebelumnya.

"Kau tahu aku akan datang," kataku, mencoba terdengar tegar meskipun tubuhku gemetar.

Dia tersenyum kecil. "Tentu saja. Kau tidak punya pilihan, bukan?"

Aku mengepalkan tangan. "Aku ingin jawaban. Apa yang kau lakukan padaku? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Dia tertawa pelan, langkahnya semakin dekat. "Aku tidak melakukan apa-apa, Karla. Kau yang melakukannya sendiri. Kau adalah salah satu dari kami, kau hanya belum menyadarinya."

Aku mundur selangkah. "Aku tidak seperti kalian! Aku bukan pembunuh!"

Tatapannya berubah tajam, senyumnya memudar. "Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan pada malam itu? Pada rusa itu? Pada kelinci kecil yang kau buru? Kau bisa menyangkal sebanyak yang kau mau, tapi darah itu sudah mengalir dalam dirimu."

Kata-katanya menusuk seperti pisau. Aku mencoba melawan rasa bersalah yang kembali menguasai pikiranku, tapi dia terus berbicara.

"Kau tahu, semakin lama kau melawan, semakin menyakitkan ini akan menjadi. Kenapa kau tidak menerimanya saja? Bergabunglah dengan kami. Aku bisa mengajarkanmu segalanya."

Aku menatapnya dengan tajam. "Kenapa aku? Kenapa kau memilihku?"

Dia tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit rasa puas. "Aku tidak memilihmu, Karla. Kau dipilih oleh sesuatu yang jauh lebih besar dariku. Aku hanya kebetulan menemukannya lebih dulu."

Aku mencoba mencerna kata-katanya, tapi tidak masuk akal. "Apa maksudmu? Dipilih oleh apa?"

Dia mendekat, jaraknya kini hanya beberapa langkah dariku. Aku bisa melihat setiap detail wajahnya, termasuk bekas luka samar di pipinya. "Ada kekuatan di dunia ini, Karla. Kekuatan yang tidak bisa dipahami oleh manusia biasa. Dan kau... kau adalah bagian dari kekuatan itu. Darahmu tidak seperti manusia biasa. Itu sebabnya kau tidak bisa lari. Itu sebabnya kau akan selalu kembali ke sini."

Aku mundur, tapi tubuhku terasa berat. Kata-katanya mengunci gerakanku, seolah-olah dia memegang kendali penuh atas diriku.

"Tidak... aku masih punya pilihan," kataku dengan suara gemetar.

Dia mengangguk perlahan, seolah-olah menghormati keberanianku. "Kau memang punya pilihan. Tapi ingat ini, Karla: setiap pemangsa harus menghadapi dirinya sendiri pada akhirnya. Kau bisa melawannya sekarang, atau kau bisa menyerah nanti. Tapi kau tidak bisa menghindarinya selamanya."

Aku menatapnya dengan marah, mencoba mencari celah dalam logikanya. Tapi sebelum aku bisa membalas, dia melangkah mundur, kembali ke dalam bayangan.

"Kita akan bertemu lagi," katanya. "Dan saat itu, aku harap kau sudah siap untuk menerima kebenaran."

Dan begitu saja, dia menghilang.

---

Aku berdiri di sana, sendirian di tengah hutan. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku. Dipilih? Kekuatan kuno? Apa yang dia maksud?

Aku memutuskan untuk tidak tinggal lebih lama. Langkahku berat saat aku kembali ke rumah, tapi ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku merasa lebih sadar, lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekitarku.

Ketika aku sampai di rumah, aku duduk di meja makan, mencoba menyusun semua yang telah kuketahui sejauh ini. Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab, tapi aku tahu satu hal: ini belum selesai.

Aku membuka buku yang kubawa dari perpustakaan dan membaca lebih dalam. Aku menemukan bab tentang "Pemangsa Baru"—mereka yang baru saja terbangun. Di sana tertulis bahwa proses transformasi tidak pernah sepenuhnya selesai sampai pemangsa menerima takdir mereka.

Tapi ada satu paragraf yang membuatku berhenti.

"Ada yang percaya bahwa pemangsa baru bisa memutuskan takdir mereka dengan memburu dan mengalahkan Pemangsa Utama yang membangunkan mereka. Namun, risikonya besar. Jika mereka gagal, mereka akan kehilangan kendali atas diri mereka sendiri dan sepenuhnya menjadi budak kegelapan."

Hatiku berdebar. Apakah ini satu-satunya cara? Mengalahkan pria itu?

Aku menutup buku itu dengan keras, mencoba menenangkan pikiranku. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu jawabannya. Jika aku ingin bebas, aku harus melawannya.

Dan malam itu, aku membuat keputusan.

Aku akan menghadapi pria itu. Aku akan menemukan cara untuk melawan. Dan aku akan membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar pemangsa.

Malam itu menjadi semakin dingin, angin bertiup membawa bisikan yang nyaris terdengar seperti jeritan. Aku duduk di kursi di sudut kamar, memandang jendela yang tertutup tirai tebal. Tubuhku lelah, tetapi pikiranku tidak berhenti bergerak. Keputusan yang telah kubuat malam itu di hutan terus menghantuiku.

Aku tahu apa yang harus kulakukan. Jika pria itu benar-benar tahu jawabannya, aku harus menghadapinya. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku melawan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mengerti?

Kata-kata dalam buku itu kembali menghantuiku: "Pemangsa baru harus mengalahkan Pemangsa Utama yang membangunkan mereka." Tapi aku bahkan tidak tahu apa artinya "mengalahkan." Apakah itu pertarungan fisik? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang harus kulakukan?

Aku memejamkan mata, mencoba menemukan keberanian. Malam itu terasa seperti pertempuran di dalam diriku sendiri. Ada suara kecil di kepalaku yang memohon agar aku menyerah, untuk menerima takdirku sebagai salah satu dari mereka. Tapi ada suara lain—lebih keras, lebih tegas—yang mengatakan bahwa aku masih punya pilihan.

---

Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk kembali ke perpustakaan tua. Kali ini, aku harus mencari tahu lebih banyak tentang pria itu—siapa dia, dan bagaimana dia bisa memiliki kendali seperti itu atas diriku.

Saat aku tiba di perpustakaan, wanita tua di meja resepsionis menatapku dengan penuh perhatian. "Kembali lagi?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku butuh informasi lebih banyak. Tentang... pemangsa."

Dia mendesah pelan, lalu melambaikan tangannya. "Rak yang sama seperti sebelumnya. Tapi berhati-hatilah, nak. Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui."

Aku mengangguk dan menuju ke rak yang ditunjukkannya. Buku-buku di sana terasa seperti memancarkan aura gelap. Aku mengambil sebuah buku dengan judul "Pemangsa Utama: Pemimpin dalam Kegelapan."

Aku membuka halaman-halamannya dengan cepat, mencari sesuatu yang bisa membantuku. Salah satu bab menarik perhatianku: "Silsilah Para Pemangsa." Di dalamnya, tertulis bahwa Pemangsa Utama adalah makhluk pertama yang diberkahi kutukan ini, dan mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan pemangsa baru dengan "membangunkan" manusia yang memiliki darah istimewa.

Aku membaca lebih lanjut, dan di sana aku menemukan deskripsi tentang ciri-ciri Pemangsa Utama:

1. Mata mereka bercahaya emas saat berada dalam gelap.

2. Mereka memiliki kemampuan untuk berbicara langsung ke pikiran pemangsa baru.

3. Mereka tidak bisa sepenuhnya dihancurkan kecuali oleh pemangsa lain.

Hatiku berdebar saat membaca poin terakhir. Jadi, jika aku ingin bebas dari kendalinya, aku harus menghadapi dia langsung.

Tapi kemudian, ada catatan tambahan yang membuatku merinding: "Pemangsa Utama memiliki kekuatan untuk melihat ke dalam jiwa pemangsa baru. Mereka dapat menemukan ketakutan terdalammu dan menggunakannya untuk melawanmu."

Aku menutup buku itu dengan keras, napasku terengah-engah. Jika aku ingin menghadapi dia, aku harus mempersiapkan segalanya.

---

Malam berikutnya, aku kembali ke hutan. Kali ini, aku tidak merasa takut. Aku merasa marah. Aku merasa cukup muak dengan semua ini—semua kebingungan, semua kontrol yang dia miliki atas diriku.

Hutan terasa lebih gelap dari biasanya. Udara malam begitu dingin hingga menusuk kulitku. Aku melangkah lebih dalam, mencari pria itu.

Dan seperti yang kuduga, dia muncul. Dari balik bayangan pepohonan, tubuhnya tampak lebih tinggi dan lebih mengintimidasi dibanding sebelumnya.

"Kembali lagi, Karla?" katanya dengan nada yang sama seperti sebelumnya—nada meremehkan.

Aku menatapnya dengan tajam. "Kali ini aku tidak datang untuk mendengarmu bicara. Aku datang untuk melawan."

Dia mengangkat alis, senyumnya tipis dan dingin. "Melawan? Apa kau yakin? Kau bahkan belum sepenuhnya memahami siapa dirimu."

"Aku tidak peduli. Aku hanya tahu satu hal: aku tidak ingin menjadi seperti kau. Aku tidak ingin menjadi monster."

Tatapannya berubah. Kali ini ada kilatan marah di matanya. "Kau menganggapku monster, Karla? Kau pikir kau lebih baik dariku? Kau tidak berbeda. Cepat atau lambat, kau akan menyadarinya."

Aku mengepalkan tangan, merasa darahku mendidih. "Aku lebih baik dari ini. Dan aku akan membuktikannya."

Dia tertawa kecil, langkahnya maju mendekat. "Baiklah, Karla. Kalau itu yang kau inginkan. Tapi jangan salahkan aku jika kau menyesal."

---

Pertarungan dimulai dengan tiba-tiba. Dia melompat ke arahku dengan kecepatan yang sulit dipercaya, tapi entah bagaimana, aku bisa menghindarinya. Tubuhku bergerak sendiri, instingku mengambil alih.

Aku membalas serangannya, menggunakan kekuatan yang baru kusadari aku miliki. Tanganku mencengkeram bahunya, mencoba menjatuhkannya ke tanah, tapi dia lebih kuat dariku. Dia melepaskan diri dengan mudah dan melompat ke udara, mendarat di belakangku.

"Kau cepat belajar," katanya, suaranya dipenuhi rasa puas.

Aku tidak menjawab. Aku menyerangnya lagi, kali ini dengan semua kekuatan yang kumiliki. Kami bertarung di tengah hutan, tubuh kami bergerak begitu cepat hingga hampir tidak terlihat oleh mata manusia biasa.

Tapi meskipun aku melawan dengan sekuat tenaga, dia tetap lebih unggul. Dia memegang kendali penuh atas pertarungan ini, dan aku mulai merasa lelah.

"Kau tidak akan menang, Karla," katanya sambil mendorongku ke tanah. "Kau belum siap. Dan kau tahu itu."

Aku tergeletak di tanah, napasku berat. Tapi meskipun tubuhku terasa sakit, aku tidak menyerah. Aku menatapnya dengan penuh tekad.

"Ini belum selesai," kataku dengan suara gemetar.

Dia memandangku dengan ekspresi datar, lalu berbalik dan berjalan menjauh. "Kita akan bertemu lagi. Dan saat itu, kau akan tahu apa yang harus kau lakukan."

Dia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkanku sendirian di tengah hutan.

---

Malam itu aku pulang dengan tubuh penuh luka, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Aku merasa lebih kuat, lebih sadar akan siapa diriku.

Aku tahu ini bukan akhir. Ini baru permulaan.

Dan aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menemukan cara untuk mengalahkannya—apa pun yang diperlukan.