Aku menghabiskan malam itu terjaga, duduk di kursi dengan secangkir kopi dingin yang sudah kulupakan. Luka-luka di tubuhku masih berdenyut, tapi aku tidak peduli. Ada hal lain yang lebih penting di pikiranku—pertarungan tadi.
Aku kalah.
Meski aku telah memberikan segalanya, pria itu tetap mendominasi. Namun, di balik kekalahan itu, ada satu hal yang membuatku bertahan: aku masih hidup. Dia bisa saja menghabisiku saat itu, tapi dia memilih untuk pergi.
Kenapa?
Aku memutar ulang setiap detik pertarungan dalam pikiranku, mencoba mencari pola atau kelemahan dalam gerakannya. Tapi aku tidak menemukan apa-apa. Dia seperti bayangan—cepat, tak terduga, dan hampir mustahil untuk disentuh.
Namun, ada sesuatu yang dia katakan sebelum pergi yang terus terngiang di kepalaku: "Kau akan tahu apa yang harus kau lakukan."
Apa maksudnya? Apa dia mencoba memberiku petunjuk? Atau itu hanya cara lain untuk mempermainkanku?
Aku mengepalkan tangan, menahan rasa frustrasi yang semakin menguasai diriku. Jika aku ingin mengalahkannya, aku harus lebih dari sekadar marah. Aku harus lebih pintar, lebih kuat.
Dan untuk itu, aku butuh jawaban.
---
Keesokan paginya, aku kembali ke perpustakaan. Kali ini, aku tidak hanya mencari informasi tentang Pemangsa Utama, tetapi juga tentang diriku sendiri. Jika aku adalah bagian dari dunia ini, maka harus ada sesuatu di dalam diriku yang bisa kugunakan untuk melawan.
Aku menemukan buku lain yang menarik perhatianku: "Jejak Pemangsa Baru." Di dalamnya, ada deskripsi tentang bagaimana pemangsa baru bisa menemukan kekuatan mereka melalui proses yang disebut "Penguasaan Bayangan."
"Bayangan dalam diri pemangsa baru adalah sumber kekuatan mereka, tetapi juga musuh terbesar mereka. Untuk menguasainya, pemangsa harus menghadapi ketakutan terdalam mereka sendiri. Hanya dengan mengatasi bayangan ini, mereka bisa mencapai potensi penuh mereka."
Aku membaca kalimat itu berulang kali, mencoba memahaminya. Apa artinya "menghadapi ketakutan terdalam"? Apakah itu sesuatu yang harus kulakukan secara fisik? Atau ini semua tentang mental?
Aku memutuskan untuk membawa buku itu pulang.
---
Malamnya, aku duduk di lantai kamar dengan buku terbuka di hadapanku. Aku mencoba memahami lebih banyak tentang konsep Penguasaan Bayangan.
Ada langkah-langkah tertentu yang dijelaskan dalam buku itu. Salah satunya adalah meditasi—proses memasuki pikiranku sendiri untuk menemukan bayangan itu.
Aku memutuskan untuk mencobanya.
Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba mengosongkan pikiranku. Awalnya, sulit untuk tetap fokus. Tapi perlahan, suara-suara di sekitarku memudar, digantikan oleh keheningan yang berat.
Kemudian, aku merasakan sesuatu.
Itu seperti sebuah kehadiran—gelap, dingin, dan mengintimidasi. Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa merasakannya, mengintai di sudut pikiranku.
"Siapa kau?" tanyaku, suaraku terdengar kecil di tengah keheningan itu.
Tidak ada jawaban. Tapi aku tahu dia ada di sana, menungguku.
Aku melangkah lebih dalam ke dalam pikiranku, mencoba menemukan sumber kehadiran itu. Dan akhirnya, aku melihatnya.
Bayangan itu memiliki bentukku, tapi matanya merah menyala, dan senyumnya penuh dengan kebencian.
"Apa ini?" tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya.
"Ini adalah dirimu," jawab bayangan itu, suaranya menggema. "Bagian dari dirimu yang kau coba sembunyikan. Ketakutan, kemarahan, keinginan—semua yang kau tolak."
Aku mundur selangkah, merasa tubuhku gemetar. "Aku tidak seperti itu."
Bayangan itu tertawa, dingin dan penuh ejekan. "Benarkah? Lalu kenapa kau ada di sini? Kenapa kau merasa begitu marah, begitu takut? Karena kau tahu ini adalah dirimu yang sebenarnya."
Aku mengepalkan tangan, mencoba melawan rasa takut yang semakin mendalam. "Aku bukan monster."
Bayangan itu mendekat, senyumnya semakin lebar. "Kau bisa menyangkalnya sebanyak yang kau mau. Tapi kau tahu, pada akhirnya, kau tidak bisa melarikan diri dariku. Kau adalah aku."
Aku merasakan sesuatu dalam diriku retak, seperti dinding yang perlahan runtuh. Kata-katanya terasa begitu nyata, begitu benar.
Tapi kemudian, aku ingat sesuatu.
Aku mengingat pria di hutan, bagaimana dia mencoba mengendalikanku. Dan aku mengingat tekadku—janji yang kubuat pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan menyerah.
"Aku mungkin adalah bagian dari dirimu," kataku, suaraku lebih tegas. "Tapi kau bukan segalanya. Aku lebih dari ini."
Bayangan itu terdiam, matanya menyipit. "Apa maksudmu?"
"Aku mungkin punya ketakutan, kemarahan, dan keinginan. Tapi aku juga punya keberanian, harapan, dan kekuatan untuk melawan. Kau bukan aku. Kau hanya bagian dariku."
Bayangan itu terlihat marah, tapi sebelum bisa mengatakan apa-apa, aku melangkah maju, menatapnya langsung.
"Aku mengakui keberadaanmu," kataku. "Tapi kau tidak akan mengendalikan aku."
Dan dengan itu, bayangan itu memudar, meninggalkan hanya kegelapan yang damai.
---
Aku membuka mataku, napasku terengah-engah. Tubuhku basah oleh keringat, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Aku merasa lebih ringan, lebih bebas.
Aku tidak tahu apakah ini berarti aku telah menguasai bayanganku sepenuhnya. Tapi aku tahu ini adalah langkah pertama.
Dan sekarang, aku siap untuk menghadapi pria itu sekali lagi.
Hari-hari setelah meditasi itu terasa berbeda. Aku merasa seperti seseorang yang baru lahir—lebih ringan, lebih sadar. Setiap langkah yang aku ambil terasa lebih pasti, lebih dalam, seolah-olah dunia di sekitarku mulai berubah, dan aku mulai melihatnya dengan cara yang baru. Bayangan yang dulu mengintai pikiranku kini hanya sebuah bagian dari diriku yang bisa kuterima dan kendalikan.
Namun, meskipun aku merasa lebih kuat, aku tahu ini bukanlah akhir dari perjalanan. Proses ini hanya permulaan. Aku harus kembali ke hutan, kembali berhadapan dengan pria itu, dengan Pemangsa Utama yang telah membangunkan sisi gelap dalam diriku.
Kali ini, aku tidak akan mundur.
---
Malam itu, aku kembali ke hutan. Suasana terasa lebih gelap daripada biasanya, dan udara dingin menyusup ke dalam tulang. Tapi kali ini, aku tidak merasa takut. Aku merasa tenang, meskipun ada sebuah ketegangan yang menggantung di udara.
Aku melangkah lebih dalam, setiap langkahku terasa lebih mantap, lebih pasti. Aku tidak mencari perkelahian, tetapi aku tahu itu akan datang. Pria itu akan datang, dan aku harus siap.
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki. Berat, penuh perhitungan, dan kali ini, aku tidak terkejut. Aku sudah tahu siapa yang datang.
"Kau datang lagi," katanya, suara rendahnya menembus kegelapan.
Aku menatapnya. "Aku tidak datang untuk mendengarkan omong kosongmu. Aku datang untuk mengakhiri ini."
Dia tersenyum, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam senyumnya—sesuatu yang lebih serius, lebih mengancam. "Mengakhiri? Karla, kau tahu apa yang kau katakan?"
"Ya, aku tahu. Aku sudah cukup mendengarkan. Sudah cukup takut. Sekarang, aku siap."
Dia tertawa, suara itu menggema di antara pohon-pohon. "Kau merasa lebih kuat sekarang? Apakah bayanganmu sudah membiarkanmu mengendalikan diri?"
Aku tidak menjawab. Sebaliknya, aku melangkah maju, menatapnya dengan tajam. "Aku tidak datang untuk bicara. Aku datang untuk bertarung."
Tatapannya mengeruh, dan tanpa peringatan, dia melompat ke arahku dengan kecepatan yang hampir tidak bisa aku ikuti. Namun, kali ini, aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan pergerakannya, membaca langkahnya. Aku menghindar dengan gesit, tubuhku bergerak hampir otomatis, seperti sudah terbiasa.
Dia terhenti sejenak, memperhatikan reaksiku. "Bagus. Kau lebih baik dari yang kukira. Tapi itu masih belum cukup."
Dengan gerakan cepat, dia menyerang lagi, tapi kali ini aku siap. Aku merespons dengan pukulan yang kuat, mengarahkannya tepat ke tubuhnya. Dia menghindar, tapi aku sudah berada di posisiku yang lebih baik, siap untuk gerakan selanjutnya.
Kami bertarung tanpa kata-kata, gerakan kami begitu cepat dan terkoordinasi, seperti dua kekuatan alam yang saling berbenturan. Namun, aku merasakan perubahan dalam diriku. Tubuhku lebih ringan, pikiranku lebih tajam, dan yang paling penting—aku tidak lagi terhanyut oleh ketakutan atau kebingungan. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tahu siapa aku.
Dia melompat mundur, memberi kami sedikit ruang untuk bernapas. "Ini benar-benar mengejutkan," katanya dengan suara rendah, hampir seperti pujian. "Ternyata kau memang lebih dari yang kukira."
Aku berdiri tegak, napasku teratur meskipun adrenalin masih mengalir deras dalam darahku. "Aku sudah tidak takut lagi."
"Tidak takut? Atau tidak tahu apa yang sebenarnya kau hadapi?"
Aku menatapnya dengan tajam, tidak membiarkan kata-katanya meragukan diriku. "Aku tahu persis apa yang kau inginkan. Tapi aku tidak akan memberikannya. Aku tidak akan menjadi milikmu."
Dia tertawa pelan, menggelengkan kepala. "Kau berpikir aku ingin menguasaimu, Karla? Tidak. Aku hanya ingin melihat sampai sejauh mana kau bisa melawan takdirmu. Sejauh mana kau bisa bertahan dalam kegelapan ini."
Aku menatapnya, mataku penuh tekad. "Aku sudah cukup berada dalam kegelapan. Sekarang, saatnya untuk keluar."
Tiba-tiba, dia menghilang, melesat ke dalam bayangan seperti sebelumnya, dan aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya kali ini—sesuatu yang lebih... takut.
"Ini belum berakhir, Karla," suaranya terdengar jauh, melayang di antara pepohonan. "Kau akan menyadari bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi. Tidak ada jalan keluar."
Aku tidak menjawab. Sebaliknya, aku melangkah maju, terus berjalan ke dalam kegelapan hutan.
---
Beberapa hari berlalu sejak pertarungan itu, dan meskipun aku merasa lebih kuat, aku tahu bahwa itu hanya awal dari perjalanan yang lebih panjang. Pemangsa Utama itu bukanlah musuh yang mudah dikalahkan. Dia memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang bisa kumengerti, dan mungkin kekuatannya lebih dari sekadar fisik.
Tapi aku juga tahu satu hal pasti—aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berjuang, mencari cara untuk menghentikan takdir ini.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tetapi satu hal yang aku pelajari dalam pertemuan itu adalah bahwa aku tidak sendirian. Dalam kegelapan itu, aku bisa menemukan cahaya—cahaya dalam diriku sendiri yang akan membimbingku menuju kemenangan.
Dan jika aku harus menghadapi pria itu lagi, aku akan lebih siap.