Karla berdiri di tengah medan pertempuran yang penuh kegelapan. Pemangsa Utama kini ada di hadapannya, sosok yang lebih besar dari bayangannya, lebih menakutkan dari yang pernah dia bayangkan. Keheningan yang menekan membuat suasana semakin mencekam. Angin berhembus dengan keras, seolah-olah alam pun menyaksikan pertempuran ini, menghitung setiap detik yang berlalu, karena ini bukan hanya soal dunia yang terancam, tetapi juga soal dirinya sendiri.
Karla tahu bahwa dia tidak bisa mundur. Meskipun ada bagian dari dirinya yang meragukan pilihan ini, meskipun ada bagian dari dirinya yang mulai rapuh oleh kekuatan yang telah dia terima, dia harus bertarung. Dunia ini, keadilannya, dan dirinya—semua berada dalam garis depan pertempuran ini. Namun, dia tahu bahwa kemenangan bukan hanya soal menghancurkan musuh. Lebih dari itu, ini adalah soal mempertahankan kendali atas dirinya sendiri.
Pemangsa Utama tersenyum dengan penuh kebencian, matanya yang tajam memandangi Karla seolah dia tahu betul kelemahan yang ada dalam diri sang pemangsa. "Kamu sudah sampai di sini, Karla," suaranya menggelegar. "Tapi apakah kamu siap menghadapi dirimu sendiri?"
Karla menegakkan punggungnya, mengabaikan kata-kata Pemangsa Utama. "Aku tidak akan membiarkanmu menang," jawabnya dengan tegas. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang lebih dalam, sebuah ketakutan yang mulai merayap. Bagaimana jika Pemangsa Utama benar? Bagaimana jika dia bukan lagi Karla yang dulu, yang penuh harapan dan keinginan untuk melindungi dunia ini?
Pemangsa Utama mendekat, setiap langkahnya terdengar berat, seperti dentuman yang menggetarkan tanah. "Apa yang kamu harapkan, Karla? Kekuatanmu tak akan pernah cukup untuk mengalahkanku. Setiap kali kamu menggunakan kekuatan itu, kamu semakin kehilangan dirimu. Aku hanya datang untuk mengingatkanmu. Kamu sudah tidak ada lagi."
Karla merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Kekuatan yang dia gunakan mulai bergolak lebih kuat. Seakan-akan ada sesuatu yang mulai mengambil alih. Setiap kali dia mendengar suara Pemangsa Utama, semakin dalam dirinya terjerumus ke dalam kebingungan dan kegelapan yang mulai menguasai pikirannya.
Namun, dia tidak bisa berhenti. Apa pun yang terjadi, dia harus melawan.
Dengan cepat, Karla mengarahkan tangannya, memanggil kekuatan dalam dirinya. Energi gelap itu mengalir dengan deras, menciptakan gelombang kekuatan yang menakjubkan. Pemangsa Utama terhenti sejenak, menatap Karla dengan tatapan yang penuh minat. "Kamu mulai memahami kekuatan itu, Karla. Tapi kamu tahu, itu adalah perang yang tidak bisa kamu menangkan."
Tanpa menghiraukan kata-kata itu, Karla melancarkan serangan. Gelombang energi melesat dengan kecepatan luar biasa, menghantam Pemangsa Utama yang dengan mudah menghindar. Dia tertawa, suara yang terdengar begitu mengejek. "Kamu hanya memulai, Karla. Kamu akan tahu apa artinya kehilangan semuanya."
Karla merasa pertempuran ini bukan hanya fisik, tetapi juga pertempuran batin. Setiap serangan yang dia lepaskan membawa serta perasaan yang semakin mengganggu. Setiap ledakan kekuatan membuatnya semakin dekat dengan kegelapan dalam dirinya. Suara itu kembali, semakin keras, semakin menguasai pikirannya. Kamu tidak akan pernah bisa kembali. Kamu sudah terperangkap di dalam dirimu sendiri.
Namun, Karla tahu bahwa ini adalah saatnya. Dia harus bertarung, tidak hanya melawan Pemangsa Utama, tetapi juga melawan dirinya sendiri. Dia harus menjaga kendali atas kekuatan itu, jangan biarkan dirinya terjatuh ke dalam kegelapan yang mengancam.
Karla menggertakkan giginya, berusaha menenangkan kekuatan yang ada dalam dirinya. "Aku tidak akan menyerah," katanya dengan suara yang lebih tegas. "Aku tidak akan membiarkan diriku hilang."
Pemangsa Utama mendekat lagi, langkahnya semakin cepat. "Kamu sudah membuktikan dirimu, Karla," katanya dengan suara yang lebih dalam dan mengerikan. "Tapi ini adalah akhir. Kamu sudah berada di ujung jurang. Tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk menghentikanku sekarang."
Tiba-tiba, Karla merasa tubuhnya terhuyung. Kekuatannya yang semula terkendali mulai mengalir liar. Energi itu meluap, membentuk aura gelap yang melingkupi tubuhnya. Suara-suara dalam dirinya semakin menguat, menggema di setiap sudut pikirannya. "Kekuatan ini... tidak bisa dikendalikan," bisiknya, suaranya penuh keraguan.
Pemangsa Utama melihat momen itu dengan penuh keinginan. "Kamu sudah jatuh, Karla. Kamu hanya butuh satu langkah untuk menyerah pada kekuatan ini. Sama seperti aku. Sama seperti yang lainnya."
Namun, meskipun perasaan itu semakin kuat, meskipun ada bagian dari dirinya yang terasa semakin hilang, Karla tahu satu hal. Dia tidak bisa menjadi seperti Pemangsa Utama. Dia tidak bisa membiarkan dirinya menyerah pada kegelapan itu.
Dengan sekuat tenaga, Karla menarik energi yang ada dalam dirinya, berusaha menahan kekuatan yang semakin liar. Matanya terpejam, dan dengan suara penuh tekad, dia berkata, "Aku bukan kamu. Aku tidak akan terjatuh. Aku akan melawan."
Tiba-tiba, sebuah ledakan energi terjadi. Kekuatan itu meledak dari tubuh Karla, menciptakan gelombang yang dahsyat. Pemangsa Utama terhuyung, seolah terkejut dengan kekuatan yang tiba-tiba memuncak. Karla tidak tahu dari mana kekuatan itu berasal, tetapi saat itu juga, dia merasa tubuhnya terlepas dari cengkeraman kegelapan.
Dia melihat ke depan, menatap Pemangsa Utama yang kini tampak goyah. "Ini belum berakhir," katanya, suara penuh keyakinan.
Namun, Pemangsa Utama tertawa dengan suara yang menyeramkan, mengungkapkan senyum penuh penghinaan. "Kamu belum selesai, Karla. Perang ini belum dimulai dengan sesungguhnya."
Ledakan energi yang melanda tubuh Karla membuat tanah di sekitarnya bergetar hebat. Suara gemuruh yang mengiringi kekuatan dahsyat itu seolah menggema hingga ke ujung langit. Karla terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Tubuhnya merasa lelah dan hampir tak mampu menahan kekuatan yang telah dia lepaskan. Namun, dalam kegelisahan itu, ada rasa yang lebih dalam—rasa yang mengingatkan dirinya akan apa yang ada di ujung pertempuran ini.
"Apakah ini akhirnya?" Karla bergumam, napasnya terengah-engah. "Apakah aku sudah menjadi apa yang aku takuti?"
Pemangsa Utama berdiri dengan tenang di hadapannya, tubuhnya tidak terpengaruh oleh ledakan yang baru saja terjadi. Senyumnya tak berubah, penuh dengan kepercayaan diri yang mengerikan. "Karla," kata Pemangsa Utama dengan suara yang terdengar hampir tidak manusiawi, "kekuatanmu semakin besar, semakin liar. Tapi itu justru membuatmu lebih mudah dikendalikan. Kamu pikir kamu bisa mengalahkanku, tetapi kamu justru semakin dekat dengan kehancuranmu."
Karla menggigit bibirnya. Kata-kata itu melukai, meskipun dia tahu Pemangsa Utama hanya mencoba memanipulasi pikirannya. Dia tahu bahwa kekuatan yang dia miliki adalah pedang bermata dua. Jika dia tidak berhati-hati, kegelapan itu akan menyusup lebih dalam, menguasai pikirannya sepenuhnya. Tetapi jika dia berhenti melawan, dia akan kehilangan lebih dari yang bisa dia bayangkan.
"Ini bukan hanya tentang melawanmu, Pemangsa Utama," kata Karla, berusaha menenangkan perasaan kacau dalam dirinya. "Ini tentang siapa aku sebenarnya. Dan aku tidak akan membiarkan diriku terperangkap dalam permainan ini."
Pemangsa Utama tertawa pelan. "Kamu memang keras kepala. Tapi kamu tidak tahu apa yang sebenarnya kamu lawan. Kekuatanku jauh lebih besar daripada yang bisa kau bayangkan."
Karla menatapnya dengan tatapan penuh tekad. "Kekuatanmu mungkin besar, tetapi itu tidak mengubah kenyataan. Aku akan bertarung. Bukan hanya untuk dunia ini, tetapi untuk diriku sendiri."
Tiba-tiba, bayangan kelam menyelimuti Karla. Keinginan untuk menghentikan Pemangsa Utama semakin kuat, namun semakin dia berusaha untuk bertahan, semakin keras kekuatan gelap itu menyeretnya ke dalam dirinya. Dia bisa merasakannya—kekuatan itu bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam jiwanya sendiri.
Pemangsa Utama mulai bergerak, langkahnya semakin cepat dan penuh ancaman. "Karla," katanya, "aku tahu kamu merasa kehilangan kendali. Kamu sudah hampir sampai pada titik itu. Apa yang kamu takuti bukan hanya aku, tetapi dirimu sendiri. Kamu takut bahwa kamu sudah menjadi seperti aku."
Karla menggertakkan giginya. "Aku bukan kamu," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah pada kegelapan itu."
Namun, suara itu, suara yang telah lama mengganggu pikirannya, kembali terdengar lebih jelas. Kamu sudah jauh dari yang dulu, Karla. Kekuatan ini tak akan pernah memberi ampun. Kamu tidak bisa melawan takdir.
Karla merasa tubuhnya semakin terbenam dalam perasaan itu. Kegelapan itu merayap di setiap sudut pikirannya. Namun, di saat yang sama, ada suara lain yang muncul—suara yang berasal dari dalam dirinya, dari hati yang dulu penuh dengan harapan.
"Tidak," Karla berbisik pada dirinya sendiri, matanya terbuka lebar. "Aku tidak akan menjadi seperti dia. Aku tidak akan membiarkan kegelapan mengendalikan diriku."
Dengan satu gerakan cepat, Karla mengarahkan tangannya ke depan, memanggil kekuatan yang ada dalam dirinya. Kali ini, bukan hanya kekuatan gelap yang dia keluarkan, tetapi juga cahaya yang lebih kuat—cahaya yang berasal dari keinginannya untuk bertahan, untuk melawan, untuk tidak kehilangan siapa dirinya.
Gelombang cahaya itu menyelimuti Pemangsa Utama, menciptakan ledakan yang begitu besar hingga membuat langit seakan terbelah. Pemangsa Utama terhuyung mundur, terkejut dengan serangan itu. "Ini... ini tidak mungkin," katanya, suara kebingungannya terasa jelas.
Karla merasakan kelegaan sesaat. Untuk pertama kalinya, dia merasa bisa mengendalikan kekuatan itu. Namun, perasaan itu hanya berlangsung sejenak. Kekuasaan gelap yang lebih kuat mulai mengalir kembali, mencoba merenggutnya dari dalam. Karla merasakan tubuhnya mulai gemetar. Keinginan untuk mengalahkan Pemangsa Utama kembali menggema, tetapi sekarang, dia harus menghadapi kenyataan—kekuatan yang dia gunakan tidak hanya mengalir dari luar dirinya, tetapi juga dari sisi gelap yang ada dalam hatinya.
Dia harus memilih. Melawan kegelapan, atau menerima kenyataan bahwa dia sudah menjadi bagian darinya.
Pemangsa Utama tertawa dengan penuh kemenangan. "Lihat, Karla. Kamu sudah sampai di titik ini. Tidak ada jalan keluar. Kamu adalah bagian dariku sekarang."
Karla menatap Pemangsa Utama dengan tatapan yang penuh kebencian. "Tidak. Aku tidak akan terjatuh."
Namun, tubuhnya terasa lemah, seolah-olah kekuatan itu sudah hampir menguasai dirinya sepenuhnya. Dia terjatuh ke lutut, tubuhnya terasa seolah-olah dibebani oleh beban yang tak tertahankan. Kegelapan itu mengelilinginya, berusaha menelan semua harapan yang masih ada dalam dirinya.
Di saat yang paling gelap, Karla mendengar suara yang berbeda—suara dari dalam dirinya, dari ingatan tentang masa lalu, tentang alasan dia berjuang. "Aku bukan bagian dari kegelapan ini," katanya, suara itu tegas dan penuh tekad. "Aku memilih untuk bertahan."
Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Karla berdiri kembali. Dalam satu gerakan, dia mengarahkan tangannya ke Pemangsa Utama, memanggil semua kekuatan yang ada dalam dirinya. Kali ini, bukan hanya gelap atau terang yang dia keluarkan, tetapi keseimbangan antara keduanya.
Pemangsa Utama terhuyung mundur, tak mampu menahan kekuatan itu. "Karla... kamu...!" Sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, ledakan energi itu menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa, membuatnya terjatuh ke tanah, tak mampu bergerak.
Karla terengah-engah, tubuhnya hampir tak sanggup menahan kelelahan. Namun, dia tahu—pertarungan ini belum selesai. Meskipun Pemangsa Utama sudah terjatuh, masih ada banyak hal yang harus dia hadapi. Dia harus terus berjuang, tidak hanya untuk dunia ini, tetapi untuk jiwanya sendiri.
Karla menatap langit yang mulai cerah, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ada harapan yang kembali.