Karla bangkit perlahan, tubuhnya masih terasa lemas setelah pertempuran batin yang begitu intens. Setiap langkahnya seperti menanggung beban dunia, dan meskipun kekuatan yang kini ada dalam dirinya terasa luar biasa, dia tahu bahwa harganya tidaklah murah. Perasaan kosong yang semakin mendalam membuatnya terombang-ambing antara rasa kemenangan dan penyesalan. Apa yang telah hilang? Dan apakah dia mampu menghadapi kegelapan yang baru saja dia buka dalam dirinya?
Udara di luar gua terasa lebih dingin dari biasanya, angin yang membawa aroma hutan basah menyentuh kulitnya yang dingin. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran yang bergejolak. Namun, di balik setiap detik yang berlalu, ada bayangan yang terus mengikuti—bayangan dari kekuatan yang telah dia terima, dan bayangan dari dirinya yang semakin mengabur.
Pemangsa Utama masih berada di luar sana, menunggu dengan penuh kesabaran, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi. Karla tahu bahwa pertarungannya belum berakhir. Bahkan, dengan kekuatan yang baru saja dia kendalikan, pertarungan itu baru saja dimulai. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai meragukan kemampuan untuk terus maju. Mengorbankan begitu banyak hanya untuk mendapatkan kekuatan itu—apakah itu sebanding dengan apa yang akan datang?
Dia berjalan menuju sebuah pohon besar di pinggir hutan, berhenti sejenak untuk memandangi pemandangan yang terbentang di depannya. Dedaunan yang berguguran, tanah yang basah oleh embun, semuanya terasa begitu jauh. Seperti dunia ini bukanlah tempatnya lagi.
Apakah aku siap menghadapi Pemangsa Utama?
Suara itu, suara dari bayangan yang terus mengganggunya, kembali muncul dalam pikirannya. "Kamu tahu, Karla. Ini hanya permulaan. Jika kamu ingin mengalahkannya, kamu harus siap memberikan lebih banyak. Lebih dari apa yang kamu bayangkan."
Karla meremas tangannya, berusaha menepis bisikan itu. "Aku sudah memberikan segalanya yang bisa kuterima. Tidak ada lagi yang bisa aku serahkan."
Bayangan itu tertawa, suara tawa yang terdengar menakutkan dan penuh penghinaan. "Kau pikir itu sudah cukup? Apa yang akan terjadi ketika kamu tak lagi memiliki pilihan selain menyerah atau kehilangan semuanya?"
Karla menutup matanya dan mengangkat wajahnya ke langit. Rasa sakit itu muncul lagi—perasaan kehilangan yang semakin besar. Namun di balik itu semua, ada perasaan yang lebih kuat. Keinginan untuk mengakhiri semua ini. Keinginan untuk mengalahkan Pemangsa Utama, meskipun dengan harga yang sangat tinggi.
---
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Karla semakin mendalami kekuatan gelap yang ada dalam dirinya. Ia berlatih dengan tekun, berusaha mengendalikan energi itu, memahaminya, dan memanfaatkan potensi penuhnya. Namun semakin ia berlatih, semakin dia merasa bahwa bayangannya tidak pernah benar-benar pergi. Setiap kali dia menggunakan kekuatan itu, ada perasaan yang semakin intens—sebuah perasaan seolah-olah dia bukan lagi dirinya sendiri.
Dia harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun dia bisa mengendalikan kekuatan itu, kekuatan itu juga mengendalikan dirinya. Dan semakin ia membuka dirinya untuk kekuatan itu, semakin sulit untuk kembali.
Sementara itu, Pemangsa Utama terus mengintai. Karla merasa keberadaannya seperti bayangan yang tidak bisa dia hindari. Setiap gerakannya seakan sudah dihitung oleh lawannya. Pemangsa Utama tahu betul apa yang Karla coba lakukan. Dan dia tahu, hanya dengan satu langkah salah, Karla bisa jatuh ke dalam kegelapan yang tak bisa dia kendalikan lagi.
Suatu malam, ketika bulan bersinar terang di langit yang gelap, Karla berdiri di tepi sungai yang mengalir deras. Suara air yang menghantam batu besar di tepiannya seolah menjadi musik yang menenangkan, namun dalam dirinya ada gelora yang tak bisa dia padamkan. Pemangsa Utama sudah terlalu dekat, dan Karla tahu, semakin lama dia menunda pertemuan itu, semakin besar risikonya.
"Jangan lari, Karla," suara itu muncul lagi. "Pemangsa Utama sudah menunggumu. Kekuatan yang kamu miliki akan memudahkanmu, tapi kamu harus siap dengan harga yang harus dibayar."
Karla menatap bayangannya di permukaan air. Wajahnya yang tercermin tampak lebih keras, lebih tajam. Apa yang telah dia lakukan pada dirinya sendiri? Apa yang telah dia serahkan demi kekuatan ini? Dia bisa merasakan setiap pergerakan kekuatan dalam tubuhnya, merasakan bagaimana setiap gerakan itu menjadi semakin lancar, semakin kuat. Tapi pada saat yang sama, dia merasakan ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak akan pernah bisa dia temukan lagi.
Dia mengangkat wajahnya, menatap bulan dengan tatapan yang lebih dalam. "Aku tidak bisa mundur," katanya pada dirinya sendiri. "Aku tidak akan membiarkan Pemangsa Utama menguasai dunia ini."
Dengan satu gerakan, Karla menggerakkan tangannya, memanggil kekuatan yang ada dalam dirinya. Sekali lagi, energi gelap itu mengalir, melingkupi tubuhnya, mengalir ke setiap serat tubuhnya. Kali ini, tidak ada keraguan dalam dirinya. Dia tidak akan membiarkan dirinya terjebak dalam kegelapan.
Namun, saat kekuatan itu mencapai puncaknya, dia merasakan perasaan yang lebih aneh. Ada sebuah suara di dalam dirinya—suara dari bayangannya—yang seolah memperingatkan. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Karla? Apa yang akan kamu hadapi?"
Karla menatap ke depan, matanya penuh tekad. "Aku akan menghentikannya," jawabnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. "Aku akan mengalahkan Pemangsa Utama. Tidak peduli apa yang harus aku korbankan."
Tapi di balik kata-kata itu, ada ketakutan yang semakin membesar. Dia tahu, setiap langkah yang dia ambil, semakin dalam dia terjebak dalam kegelapan yang sulit untuk dikendalikan. Pemangsa Utama bukan hanya musuh yang harus dia hadapi, tetapi juga cermin dari dirinya yang hilang.
Karla berdiri di tepi sungai, gemuruh aliran air yang deras seperti melodi yang mencekam. Dia merasa tubuhnya semakin terisi oleh kekuatan yang dia peroleh, namun di saat yang sama, ada rasa hampa yang membuncah dalam dirinya. Setiap kali kekuatan itu mengalir lebih dalam, setiap kali dia menggunakannya untuk berlatih dan mengasah kemampuannya, semakin dia merasakan bahwa bagian dari dirinya yang dahulu penuh harapan dan keyakinan, kini mulai terkikis perlahan.
Pemangsa Utama sudah mendekat. Bayangannya melintas di setiap sudut pikirannya. Karla tidak bisa lagi menghindar. Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Semua persiapan yang dia lakukan, semua pelatihan yang dia jalani, membawa dia ke titik ini—saat di mana dia harus menghadapi dirinya sendiri, menghadapi musuh yang tak hanya mengancam dunia, tetapi juga jiwanya.
Tiba-tiba, dia merasakan perubahan yang tajam dalam aliran energi yang ada dalam tubuhnya. Seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di luar kendali, sesuatu yang mulai menariknya kembali ke kegelapan yang telah dia coba hindari. Karla menutup matanya, berusaha menenangkan pikiran yang kacau.
"Tidak," bisiknya, "Aku tidak akan terjatuh. Aku harus bertahan. Aku harus melawan."
Namun, suara itu, suara yang sama yang mengganggu dirinya sejak pertama kali dia membuka kekuatan ini, kembali terdengar dengan lebih kuat.
Lihatlah dirimu, Karla. Kekuatan yang kau cari tak akan pernah membiarkanmu kembali seperti semula. Kau sudah kehilangan dirimu sendiri.
Karla menggertakkan giginya, mencoba untuk menepis suara itu. Namun, semakin keras dia berusaha menolak, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dirinya kini berbeda. Keinginan untuk mengalahkan Pemangsa Utama membuatnya terjerumus lebih dalam ke dalam jurang yang gelap. Dan semakin dia berjuang, semakin dia merasa kehilangan kendali.
Dia membuka matanya dan melihat pantulan dirinya di permukaan air. Wajahnya tidak lagi menunjukkan keraguan atau rasa takut. Justru, di balik mata itu ada kedalaman yang jauh lebih gelap. Seperti ada dua sisi yang bertarung dalam dirinya—sisi yang ingin menghentikan Pemangsa Utama dan sisi yang mulai dipengaruhi oleh kegelapan kekuatan itu.
Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Karla? suara itu kembali mengganggu. Kamu pikir kamu bisa mengalahkan Pemangsa Utama? Kamu pikir kamu bisa menguasai kekuatan ini tanpa kehilangan dirimu?
Karla menarik napas panjang dan menatap langit malam yang sepi. Angin berhembus pelan, dan seolah-olah alam pun mengerti kegelisahan dalam dirinya. Kekuatan yang selama ini dia kendalikan mulai terasa semakin nyata—terlalu nyata. Dia bisa merasakan setiap aliran energi itu merayap ke dalam jiwanya, dan semakin lama, semakin sulit untuk membedakan antara siapa dirinya dan siapa yang dia coba lawan.
"Apakah aku harus menghentikan semuanya?" Karla berbisik pada dirinya sendiri, merasakan kedalaman pertanyaan yang tak bisa dijawab. "Apakah aku harus menyerah pada apa yang telah kuperoleh untuk kembali menjadi diriku yang dulu?"
Namun, bayangan Pemangsa Utama kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan dia tentang alasan dia berada di sini—untuk melindungi dunia ini, untuk menghentikan kejahatan yang mengancam. Pemangsa Utama tidak akan berhenti, dan jika dia tidak bertindak sekarang, dia akan kehilangan lebih banyak lagi.
Karla menatap sungai dengan tatapan penuh tekad. Di dalam dirinya, ada dua kekuatan yang saling berperang: satu yang menginginkan pengendalian penuh atas kekuatan gelap ini, dan satu lagi yang mencoba untuk melepaskan diri dari belenggu kegelapan itu. Namun, dia tahu satu hal—pertempuran ini tidak hanya tentang melawan Pemangsa Utama. Ini adalah pertempuran untuk mempertahankan siapa dirinya, untuk memastikan bahwa dia tidak akan tenggelam dalam kegelapan yang semakin menguasai dirinya.
Dengan suara yang lebih tegas, Karla berkata, "Aku akan melawan, apapun yang terjadi. Tidak peduli berapa banyak yang harus aku korbankan. Aku tidak akan biarkan Pemangsa Utama menang."
Tiba-tiba, perasaan itu datang dengan cepat. Suara itu, bayangan itu, seolah ingin merenggut kendali darinya. Namun, kali ini, Karla tidak mundur. Dia menggenggam erat tangannya dan memusatkan seluruh kekuatan yang ada dalam dirinya. Setiap serat tubuhnya bergetar dengan energi yang dahsyat, dan dengan satu gerakan cepat, dia mengarahkan energi itu ke depan—ke arah bayangan yang semakin jelas dalam pikirannya.
Kekuatan itu meledak dengan dahsyat, tetapi bukan hanya energi yang melesat keluar—ada sesuatu yang lebih dalam yang ikut terkoyak. Karla merasa jiwanya terpecah, seolah-olah bagian dari dirinya yang paling dalam ikut terseret dalam ledakan kekuatan itu. Namun, meskipun ada rasa sakit yang begitu tajam, dia tahu bahwa dia tidak bisa mundur. Ini adalah titik tanpa jalan kembali.
Bayangan Pemangsa Utama kini muncul di hadapannya, berdiri di tengah kegelapan yang semakin pekat. Tatapan mereka saling bertemu—dua kekuatan yang saling bertarung. Namun, kali ini, Karla tidak merasa takut. Dia tahu bahwa dia memiliki kekuatan yang lebih besar dalam dirinya. Kekuatan yang bisa menghancurkan bukan hanya Pemangsa Utama, tetapi juga dirinya sendiri jika dia tidak hati-hati.
Pemangsa Utama tersenyum dengan penuh penghinaan. "Kekuatan itu tidak akan cukup untuk mengalahkanku, Karla," katanya, suara yang dalam dan menggema di sekitar mereka. "Kamu mungkin memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi kamu sudah terperangkap dalam jaring yang kamu buat sendiri."
Karla menatap Pemangsa Utama dengan tatapan yang lebih tajam. "Aku tidak akan menyerah," katanya dengan suara yang penuh tekad. "Aku akan mengalahkanmu."
Tapi, di dalam dirinya, Karla tahu—pertempuran ini tidak hanya tentang kekuatan. Ini adalah pertempuran untuk menjaga siapa dirinya, untuk memastikan bahwa kegelapan tidak akan menghancurkan segala yang dia percayai.