Karla berdiri di tengah hutan yang sunyi, matanya masih terfokus pada Pemangsa Utama yang terhuyung mundur setelah serangannya. Satu pukulan yang berhasil memecah pertahanannya, dan itu memberinya secercah harapan. Tapi meskipun hatinya berdebar penuh kemenangan, ada rasa cemas yang menyelimuti pikirannya. Apa yang harus dia korbankan untuk melanjutkan pertarungan ini? Apa yang akan terjadi setelah ia mulai mengendalikan kekuatan yang begitu gelap ini?
Dia tidak bisa melupakan kata-kata Pemangsa Utama tadi—"Kau harus mengorbankan bagian dari dirimu yang paling berharga." Itu menghantui setiap langkahnya, setiap detik yang berlalu. Jika benar apa yang dikatakan pria itu, maka pertarungannya belum berakhir. Bahkan, mungkin baru saja dimulai.
"Pemangsa Utama," bisiknya pada dirinya sendiri. "Dia tahu lebih banyak dari yang aku kira. Apa yang akan terjadi jika aku mengendalikan lebih banyak kekuatan itu? Apa yang aku harus bayar?"
Bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Karla merasa berat di dadanya. Bayang-bayang yang mengikutinya sejak lama—bayang-bayang yang pernah dia coba hindari—kini mulai mendekat, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang ingin ia hadapi, tetapi juga yang ingin ia hindari.
---
Keputusan itu datang setelah beberapa malam berlarut dalam kekosongan. Karla kembali ke tempat yang dulu dia tinggalkan—sebuah gua yang terletak di puncak bukit, jauh dari pemukiman dan jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Gua ini adalah tempat dia pertama kali merasakan adanya kekuatan yang lebih besar dalam dirinya. Tempat yang terasa seperti pemanggilan.
Di dalam gua itu, udara terasa lebih berat, penuh dengan energi yang aneh. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan kuno yang tidak dapat dipahami dengan mudah. Semua itu seperti menunjukkan jejak-jejak peradaban yang telah lama hilang, yang sepertinya pernah menyembah sesuatu yang jauh lebih kuat dari manusia. Dan itu, mungkin, adalah jawabannya. Mungkin tempat ini memiliki rahasia yang bisa memberinya jawaban tentang bagaimana mengendalikan kekuatan gelap yang ada dalam dirinya.
Karla duduk bersila di tengah gua, memusatkan perhatian pada energi di dalam tubuhnya. Dia tidak bisa mengandalkan hanya kemarahan dan instingnya lagi. Dia harus lebih dalam, mencari keseimbangan antara gelap dan terang, menerima kenyataan bahwa ada bagian dari dirinya yang harus dibuka untuk mengendalikan Energi Kegelapan.
Dengan mata terpejam, dia mulai merasakan getaran yang lebih dalam di tubuhnya. Energi itu mulai bergerak, keluar dari pusatnya dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan setiap detaknya, setiap aliran yang semakin menguat. Namun, dalam kepadatan energi itu, ada sesuatu yang lebih menakutkan—sebuah bayangan yang semakin jelas. Bayangan dirinya sendiri. Karla yang lain.
Bayangan itu menatapnya dengan tatapan yang penuh kekuatan dan kegelapan. Wajahnya tidak terlihat sepenuhnya, namun Karla bisa merasakan aura yang memancar dari bayangan itu—keinginan untuk menguasai, untuk mengendalikan, untuk melahap segala sesuatu yang ada di sekitar. Itu adalah bagian dari dirinya yang paling dalam, yang selama ini dia coba abaikan.
"Apakah ini yang aku harus hadapi?" Karla bertanya dalam hati. "Bagian diriku yang telah lama terkubur?"
Bayangan itu mengangguk, kemudian berbicara dengan suara yang terdengar seperti bisikan angin yang berdesir di telinganya. "Kau sudah tahu, Karla. Kekuatan ini tidak akan pernah pergi. Kamu hanya bisa memilih—menerimanya atau terus melarikan diri. Kekuatan ini adalah bagian dari dirimu. Dan jika kau ingin mengalahkan Pemangsa Utama, kau harus menghadapinya."
Karla menggigit bibirnya. Ketakutan dan kebingungan menyelimuti jiwanya. Apa yang dimaksud dengan "menghadapinya"? Dan apa yang akan terjadi jika dia memilih untuk menerima bayangan ini? Apa yang akan dia korbankan?
Bayangan itu bergerak lebih dekat, menatap Karla dengan tatapan penuh tantangan. "Kau tahu apa yang harus kamu lakukan, Karla. Apa yang kau pikirkan—selama ini, hanya pertahanan. Tapi untuk menang, kau harus menyerahkan bagian dirimu yang paling berharga."
Karla menatap bayangannya, perasaan cemas mencengkeram dadanya. Bagian diri yang paling berharga. Apakah itu berarti dia harus mengorbankan ingatannya? Mungkin masa lalunya? Atau lebih jauh lagi—apakah dia harus menyerahkan apa yang membuatnya menjadi dirinya sendiri?
Dia menutup mata dan mencoba menenangkan pikirannya. Suara bayangan itu kembali terdengar, lebih dalam dan lebih jelas.
"Jangan takut," katanya. "Ini bagian dari prosesmu. Kamu takkan pernah bisa mengalahkan Pemangsa Utama tanpa memahami kekuatan ini. Tanpa menguasainya sepenuhnya. Kau harus menerima kegelapan dalam dirimu dan menyalurkannya."
Karla menarik napas dalam-dalam. Jika ini adalah jalan yang harus dia ambil untuk menghentikan Pemangsa Utama, maka dia tidak punya pilihan lain. Tapi apakah dia siap untuk mengorbankan segalanya?
Tanpa kata-kata lebih lanjut, Karla mengulurkan tangannya. Dalam pikirannya, dia menggambarkan bayangannya yang lebih gelap, yang lebih kuat, menyatu dengan dirinya. Dalam hati, dia berkata pada dirinya sendiri—Aku akan menghadapi diriku yang sebenarnya.
---
Perubahan itu terjadi dengan cepat. Karla merasakan energi yang bergejolak di dalam tubuhnya, lebih besar, lebih kuat, lebih tak terkendali daripada sebelumnya. Itu adalah Energi Kegelapan yang selama ini disembunyikan, yang kini mulai menguasai dirinya. Tapi dia merasa, di balik semua itu, ada satu kekuatan yang lebih besar—keinginannya untuk mengendalikan kekuatan itu, bukan membiarkannya menguasai dirinya.
Ketika dia membuka matanya, dunia di sekitarnya tampak berbeda. Semua terasa lebih jelas, lebih tajam, bahkan setiap dedaunan yang bergerak, setiap angin yang berhembus, semuanya terasa lebih nyata. Tetapi ada rasa yang lebih berat di dadanya—sebuah pemahaman bahwa pengorbanan itu sudah dimulai.
Karla berdiri, merasa kuat dan siap. Kini dia tahu satu hal pasti: Dia harus melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan untuk dapat mengalahkan Pemangsa Utama. Tetapi, dia juga tahu bahwa dalam perjalanan ini, ada sesuatu yang akan hilang.
Pengorbanan itu bukan hanya sekedar kata-kata. Itu adalah kenyataan yang harus dia hadapi—dan dia harus siap menghadapi konsekuensinya.
Karla berdiri tegak di tengah gua, merasakan aliran energi yang semakin kuat, seolah-olah semua yang ada di sekitarnya bergetar dengan intensitas yang luar biasa. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan gelombang energi yang membanjiri setiap pori-porinya. Kali ini, ia tidak merasa takut. Malah, ia merasakan sebuah kekuatan yang begitu besar, begitu murni, meskipun berasal dari kegelapan.
Namun, semakin besar kekuatan itu, semakin terasa berat beban yang ada dalam dirinya. Rasa sakit yang sebelumnya ia hindari kini menjadi lebih jelas, lebih mengganggu. Karla tahu bahwa setiap kekuatan yang besar selalu datang dengan harga yang harus dibayar. Harga itu sekarang terasa lebih nyata dari sebelumnya. Ia harus mengorbankan sesuatu. Dan seiring dengan perasaan itu, kesadaran tentang apa yang harus ia korbankan mulai mengusik pikirannya.
Kehilangan dirimu. Begitu bisikan itu bergema di pikirannya. Kehilangan bagian dari jiwamu, bagian yang selama ini kau percayai sebagai dirimu sendiri.
Dia menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai bangkit. Setiap serat tubuhnya bergetar, baik karena kekuatan yang mengalir dalam dirinya, maupun karena ketakutan akan konsekuensi dari pilihan yang kini harus dihadapinya.
"Jangan takut, Karla," suara itu, suara bayangan gelap, kembali terdengar dalam benaknya. "Apa yang akan hilang tidak akan pernah kembali, tapi apa yang akan kamu dapatkan jauh lebih besar. Kekuatan ini tidak hanya untuk bertahan hidup. Ini adalah kekuatan untuk mengendalikan takdirmu."
Karla menutup matanya dan menarik napas panjang. Dalam kegelapan gua yang semakin pekat, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan itu. Ia merasa seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang jauh lebih dalam daripada dirinya, jauh lebih misterius. Bayangan itu, yang kini menjadi bagian dari dirinya, semakin menguat. Ia tahu, satu-satunya cara untuk mengalahkan Pemangsa Utama adalah dengan mengalahkan dirinya sendiri—mengatasi ketakutannya, melawan bayangannya yang lebih gelap.
"Aku harus menguasai diriku," bisiknya, dengan suara yang terdengar lebih tegas. "Aku tidak akan menjadi seperti Pemangsa Utama. Aku akan mengendalikan kekuatan ini."
Saat itu, sebuah perasaan aneh menyelubungi tubuhnya. Kekuatan itu, yang kini mengalir bebas, mengisinya dengan energi yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia merasa seperti api yang membakar, seperti angin yang menerjang—tidak bisa dihentikan. Namun di sisi lain, ada rasa kosong yang menggerogoti. Ada bagian dari dirinya yang merasa hilang, seperti ada sesuatu yang telah ia berikan tanpa bisa ditarik kembali.
Karla membuka matanya dan melihat bayangan gelap itu berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan yang penuh tantangan. "Kau sudah siap, Karla?" suara itu kembali terdengar, namun kali ini lebih dalam, lebih menyeramkan. "Kekuatan ini tidak akan pernah kembali ke tempatnya yang semula. Kamu akan menjadi lebih kuat, tapi kamu juga akan kehilangan dirimu sendiri."
Karla menatap bayangannya dengan penuh tekad. "Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku akan mengendalikan kekuatan ini, tidak peduli apa yang harus aku korbankan."
Dengan satu langkah mantap, Karla mulai bergerak. Setiap gerakan terasa lebih terkoordinasi, lebih pasti. Energi gelap yang sebelumnya mengalir tanpa arah kini bisa dia kendalikan, membentuk dirinya menjadi kekuatan yang lebih terarah, lebih terfokus. Di dalam dirinya, ada perasaan yang kuat—kekuatan yang selama ini tersembunyi, kini muncul ke permukaan.
Tapi semakin dia mengendalikan energi itu, semakin dia merasa kehilangan sesuatu. Ada sensasi seperti mengikis bagian dari dirinya yang tak bisa dijelaskan. Setiap gerakan, setiap pemikiran, seolah berpengaruh pada dirinya sendiri. Dan itu terasa seperti bagian dari jiwanya sedang terlepas, satu demi satu.
Apa yang akan aku jadi setelah ini? pikirnya, seiring perasaan itu semakin kuat. Apa yang akan hilang dalam diriku?
Bayangan itu mulai mendekat. Kali ini, ia tidak lagi berbicara. Hanya ada senyum tipis yang mengembang di wajah bayangan itu. Senyum yang penuh dengan keangkuhan dan kemenangan. Seolah bayangan itu tahu apa yang sedang dirasakan Karla.
"Kau tidak bisa lari dariku, Karla," bisik bayangan itu. "Kamu sudah memanggilku. Kamu sudah membuka jalan ini. Dan kamu tidak akan bisa menutupnya kembali."
Karla menggertakkan giginya. "Aku tidak akan menjadi seperti kamu. Aku akan mengalahkanmu."
Dengan penuh tekad, Karla menggenggam erat tangannya, merasakan energi yang terfokus dalam dirinya. Kali ini, ia tidak lagi merasakan ketakutan atau keraguan. Ia hanya merasakan kekuatan, energi, yang siap untuk digunakan. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan energi itu ke udara, mengarahkannya pada bayangan gelap yang semakin dekat.
Tapi begitu energi itu keluar, ia merasakan efek samping yang tak terduga. Sebagian dari energi itu bukan hanya tentang kekuatan, melainkan tentang pengorbanan. Dan Karla merasakannya—energi yang meledak itu seperti membakar sebagian dari jiwanya. Sebagian dari dirinya yang seharusnya tetap ada, hilang begitu saja, menyatu dengan kekuatan yang tidak bisa dikendalikan.
Ketika bayangan itu terhempas, Karla jatuh tersungkur, napasnya terengah-engah. Kepalanya berputar, dan tubuhnya terasa lemas. Ia merasa seolah-olah seluruh kekuatannya telah habis digunakan. Tapi di balik kelelahan itu, ada sesuatu yang lebih besar yang menyatu dalam dirinya. Sesuatu yang mengerikan, yang mengingatkannya pada apa yang telah hilang.
Dia menatap tangan yang kini gemetar. Setiap gerakan terasa lebih berat. Dalam dirinya, ada kekosongan yang semakin besar. Ia tahu—energi yang baru saja ia kendalikan tidak hanya menguatkan fisiknya, tetapi juga mengubah dirinya, mengorbankan sesuatu yang lebih dalam.