Rasa sakit itu datang lebih dulu.
Nyeri menusuk dari kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya baru saja dilempar dari lantai sepuluh dan mendarat dengan cara yang salah. Dadanya naik turun dengan napas tersengal, sementara jari-jarinya gemetar ketika mencoba menggenggam tanah di bawahnya.
Ardi mengerjapkan mata, dunia di sekitarnya tampak berputar sebelum akhirnya mulai fokus. Hijaunya dedaunan yang melambai tertiup angin, aroma tanah lembap yang terasa asing, dan suara gemericik air dari kejauhan—semuanya terlalu nyata untuk disebut mimpi.
"Ugh... apaan ini?" gumamnya, suaranya serak dan lemah.
Otaknya masih kacau. Yang terakhir ia ingat, ia berlari di tengah jalan, suara klakson nyaring menggema di telinganya, lalu... kosong.
Ardi mencoba bangkit, tapi rasa sakit di tubuhnya membuatnya mengerang dan terjatuh kembali ke tanah. Perutnya yang gempal bergetar ketika ia menahan napas, berusaha mengatasi rasa nyeri yang menjalar di sekujur tubuhnya.
Dia tidak mengerti apa yang terjadi.
Seharusnya dia masih berada di dunia nyata, dalam perjalanan ke sekolah. Tapi kini, ia malah terdampar di tempat asing, sendirian, tanpa petunjuk apa pun.
"Jangan panik... jangan panik..." bisiknya kepada diri sendiri, meskipun detak jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang.
Ia menatap langit biru di atasnya, mencoba mencari sesuatu yang familiar, tetapi yang ada hanyalah hamparan luas yang tak berujung. Sekelilingnya hanyalah alam liar—bukit hijau di kejauhan, hutan lebat yang tampak gelap dan dalam, padang rumput yang membentang luas, serta suara deburan ombak yang samar dari jauh.
Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sungai besar yang berkelok-kelok, membelah pulau ini seperti urat nadi yang mengalirkan kehidupan. Sungai itu tampak begitu jernih, dengan aliran air yang berkilauan diterpa cahaya matahari.
Ardi menelan ludah. Dia benar-benar bukan di tempat yang seharusnya.
Saat ia berusaha mencerna situasi, matanya tertuju pada tiga bangunan yang berdiri tidak jauh dari tempatnya terjatuh.
Satu bangunan adalah rumah dua lantai sederhana, terbuat dari batu dan kayu, dengan gaya arsitektur yang mengingatkannya pada rumah rakyat jelata di abad pertengahan Eropa.
Bangunan kedua adalah sebuah portal batu raksasa, dikelilingi oleh rune stone yang melayang dan bercahaya samar. Setiap simbol yang terukir di batu itu tampak seperti sesuatu yang pernah ia lihat di game dan anime, sesuatu yang memiliki kekuatan mistis.
Dan yang terakhir adalah sebuah toko kecil, hanya terdiri dari estalase kayu yang sederhana. Tapi anehnya, toko itu memancarkan aura yang begitu kuat hingga membuat bulu kuduknya berdiri.
Ardi menggigit bibirnya. Jantungnya berdegup kencang saat ia memaksa dirinya untuk berdiri, menahan nyeri yang masih terasa di seluruh tubuhnya.
Namun, sebelum ia sempat melangkah, sesuatu di pojok pandangannya menarik perhatiannya.
Sebuah ikon kecil berkedip di sudut penglihatannya—sesuatu yang sangat familiar baginya. Itu mirip dengan notifikasi dalam game.
"Ini... HUD?" gumamnya, kaget.
Naluri pertamanya adalah mencoba menyentuh ikon itu dengan jari, tapi tangannya hanya menembus udara. Tidak ada respon.
Namun, saat ia fokus dan membayangkan membuka ikon itu...
Ding!
Sebuah panel virtual tiba-tiba muncul di depannya, transparan namun jelas terbaca.
[Congratulations! You have experienced a Reincarnation and received a Second Chance.]
[To access the Virtual Menu, please say: "Menu."]
Ardi menatap panel itu dengan mata membelalak.
Otaknya terasa beku.
Jantungnya berdebar.
Tangannya gemetar.
Mulutnya terasa kering saat sebuah kenyataan mulai meresap ke dalam pikirannya.
Dia tidak sedang bermimpi. Dia tidak sedang dalam simulasi.
Dia benar-benar telah terisekai.
Rasa asing yang menyelimuti dunia ini begitu kuat. Namun, di antara segala ketidakpastian, akhirnya Ardi menemukan sesuatu yang familiar.
Dengan napas yang masih sedikit terengah, ia menatap ikon berkedip di sudut penglihatannya. Sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam dunia nyata, tetapi begitu umum dalam game dan anime yang sering ia tonton.
Sebuah senyum kecil terbit di wajahnya yang lelah.
Perlahan, dengan suara nyaris seperti bisikan, ia berkata, "Menu."
Ding!
Seketika, sebuah panel virtual muncul di hadapannya. Transparan, bercahaya samar, dan tertata dengan rapi—sama seperti antarmuka dalam game-game RPG favoritnya. Huruf-huruf putih bersih melayang di udara, menyajikan informasi dengan cara yang aneh tapi meyakinkan.
[Status Bar]
Name: Ardi Yuniarsyah
Main Job: -
Sub-class Job: -
HP: 10 / 10
Mana: 0 / 0
Status:
Strength: 4
Agility: 3
Durability: 3
Intelligence: 8
Luck: 5
Note: The average stat of an adult male is 5.
Skill List: -
[Population Data] (Locked)
[Buildings & Resources]
Simple Manor House (2 Floors)
The main building owned by Ardi Yuniarsyah.Serves as the center of his domain, granting access to the Building & Population System, as well as Live Maps.A small gift is available inside this building.
Celestial Gate
A mysterious magical portal capable of connecting to other dimensions, including games, anime, films, novels, and other imaginative works.
Cooldown: 30 days per activation.Grants access to the Quest System, featuring Daily Missions, Weekly Missions, and more.
Dimensional ShopA mystical shop that provides 30 random items available for purchase every 30 Days.
[Inventory]
[Cosmic Coin] – A special coin usable at the Dimensional Shop. (Quantity: 1000)[Newbie's Welcome Gift Box] – A starter gift containing essential items and a "Cheat" to assist in your new life.
[Goddess's Letter] – A letter from a Dimensional Goddess.
[Live Map]
A small HUD mini-map displaying Ardi's current location. Can be expanded via voice command or mental command.
Ardi menatap layar itu tanpa berkedip.
Sejenak, semua ketakutan dan kebingungan yang mencekam dirinya perlahan memudar.
Tangannya gemetar saat ia menggesek layar virtual itu, mengamati setiap detail dengan perasaan campur aduk. Tidak ada yang terasa nyata, tapi juga tidak ada yang terasa salah.
Dia benar-benar memiliki menu sistem—sesuatu yang hanya ada di cerita-cerita fantasi.
"…Hah." Ia tertawa kecil, sebuah tawa yang nyaris seperti helaan napas. "Gila, ini beneran kayak di isekai-anime..."
Sekali lagi, ia menatap panel itu dengan mata berbinar.
Jika ada sistem, berarti ada aturan. Jika ada aturan, berarti ada cara untuk bertahan hidup.
Di tengah dunia yang asing ini, setidaknya satu hal yang bisa ia andalkan telah muncul.
Dan itu lebih dari cukup untuk membuatnya tetap berharap.